07 February 2015

Movie Review: Project Almanac (2015)


“Whatever we did had some crazy ripple effects.”

Saya suka dengan film tipikal seperti Project Almanac ini, film yang sejak awal tidak menjadikan penontonnya untuk menaruh ekspektasi yang tinggi, kemudian ketika ia hadir ia tidak mencoba menampilkan segala sesuatu dengan upaya utama untuk memberi impresi agar mereka tampak pintar, film yang bahkan tanpa malu-malu dengan berani melakukan hal-hal konyol yang akan membuat penonton bergumam “stupid”, tapi juga merupakan film akan membuat anda bergumam “yeah, itu hiburan yang baik” ketika ia telah berakhir terlepas dari hal-hal minus yang baru saja ia ciptakan. Project Almanac: process, hit and miss, but still an okay simple and stupid time-travel adventure.

David Raskin (Jonny Weston) merupakan seorang remaja cerdas yang sedang mengajukan permohonan beasiswa untuk dapat masuk ke MIT, sumber dari kedatangan sebuah amplop yang ia buka bersama adik perempuannya, Christina (Virginia Gardner), dua orang sahabatnya Quinn Goldberg (Sam Lerner) dan Adam Le (Allen Evangelista), serta ibunya Kathy Raskin (Amy Landecker) yang kala itu hendak pergi untuk menghadiri interview. Tapi ternyata isi didalam amplop tersebut merupakan sebuah kombinasi antara baik dan buruk yang membuat David mulai mencoba altenatif lain untuk dapat mewujudkan ambisi yang ia miliki. 

Berawal dari sebuah camcorder yang ia temukan bersama adiknya, David melihat sebuah kejanggalan didalam video ulang tahunnya yang ketujuh hasil rekaman mendiang ayah mereka. David menemukan sesosok aneh di cermin yang ia sinyalir merupakan pantulan dari dirinya sendiri. Hal tersebut menuntun mereka ke sebuah gudang dimana tersimpan sebuah kotak kecil aneh lengkap dengan beberapa blue print ciptaan ayahnya dahulu, benda yang sangat mereka yakini merupakan sebuah mesin waktu. Ya, terbukti memang dari hasil trial dan error benda tersebut mampu memindahkan dan menghilangkan sebuah objek, namun tindakan ceroboh yang David lakukan terutama terkait wanita muda bernama Jessie Pierce (Sofia Black D'Elia) menghasilkan sebuah kekacauan dalam timeline yang telah eksis.


Tidak serta merta datang dengan zero expectation memang terlebih dengan kesuksesan yang pernah dihasilkan oleh film dengan tipe yang sama berjudul Chronicle, tapi ketika melangkah keluar dari studio film yang sulit untuk ditampik punya banyak lubang di berbagai bagian pada struktur yang ia miliki ini secara mengejutkan berhasil memberikan rasa cukup puas. Ya, terasa aneh memang karena jika menilik cerita ia tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar special, anda bisa temukan di film dengan tema serupa sebut saja konflik akhir terkait timeline yang mirip dengan film time travel terbaru About Time, kemudian metode found footage yang ia gunakan sendiri sangat kental terasa seperti sebuah upaya untuk mengikuti jejak Chronicle, dan tidak cukup sampai di situ karakter juga secara individual tidak punya pesona yang memukau.

Lantas apa menjadikan Project Almanac pada akhirnya berhasil menyajikan sebuah hiburan yang menarik? Simplicity dengan eksekusi yang berani, mungkin itu jawaban paling sederhana. Ada sesuatu yang menarik dari metode yang diterapkan oleh Dean Israelite pada debutnya ini, ia seperti tidak takut untuk memasukkan ide-ide liar yang ia miliki ketika melakukan eksekusi pada cerita, ia tahu ada resiko besar dari pilihan yang ia ambil namun sikap berani tersebut ternyata cukup mampu memberikan penonton sebuah cerita yang dinamis sehingga segala minus tidak jatuh kedalam level unforgivable. Kesan eksperimen sangat terasa di film ini, masukkan sebuah konflik paling klasik, karakterisasi seadanya termasuk kisah cinta yang terkesan dipaksa, kemudian bangun mereka dengan cara dokumenter yang paling klasik pula, kemudian warnai mereka dengan segala kekacauan lewat gerak cepat yang sangat mudah untuk anda nilai sebagai gimmick yang mencoba menipu.


Hasilnya? Cukup menyenangkan. Penyebab utamanya terletak pada bagaimana fokus perlahan bergeser dengan cukup halus, seperti ada beberapa babak dimana masing-masing dikemas dengan efektif meskipun jika berbicara kualitas tidak semuanya berhasil tampil memikat. Dari beasiswa di awal tadi, kemudian kita dibawa masuk kedalam proses yang uniknya mampu meninggalkan kesan yang cukup kuat, lalu bergeser menuju kembali ke masa lalu, dan di tutup dengan hal paling klasik lainnya, masalah karena cinta. Ya, mereka terjalin dengan cukup baik dibalik segala kesesakan yang Israelite ciptakan sehingga meskipun ada lompatan didalam narasi fokus di masing-masing tetap eksis dan tidak tenggelam dibalik aksi mondar-mandir yang cukup ketat itu. Saya sangat suka dengan bagian proses, ketika semuanya masih dikemas dengan simple mengandalkan impuls remaja dilengkapi aksi aneh bahkan gila mereka, bagian yang punya lelucon hit yang cukup melimpah.

Namun dengan mengatakan simplicity sebagai kunci kemampuan Project Almanac memberikan sebuah hiburan yang menarik bukan berarti ia tidak pernah mencoba untuk tampil sedikit rumit. Hal tersebut terjadi di paruh akhir, dan ketika upaya itu muncul anda akan dengan mudah merasakan perubahan dari rasa fun yang ia tampilkan. Ketika mencoba menjadi sedikit lebih kompleks film ini terasa goyah, bukan dalam skala kecil namun cukup besar, narasi mulai terasa seolah terjebak dan stuck serta mulai tampak seperti bertele-tele, dan penyebabnya adalah kesederhanaan yang menjadi kunci kesuksesannya tadi. Babak akhir sangat mengandalkan simpati dan empati penonton pada karakter dan masalah yang mereka hadapi, hal yang celakanya di bagian awal seperti sudah diperlakukan oleh Dean Israelite seperti anak tiri. Ketika lima orang itu bersatu mereka terasa fun, teamwork oke dan saling menyokong, namun ketika narasi mulai mengandalkan satu individu untuk sendirian menggerakkan cerita ini mulai terasa hambar.


Benar, hambar, dan seperti gerak cepat dari permainan kamera yang punya potensi menjadikan penonton merasa pusing itu Project Almanac juga dengan sangat cepat kehilangan pesona dan fun yang ia miliki sebelumnya. Apa yang ia alami seperti remaja yang sedang pesta kemudian mabuk dan setelah itu mulai bingung ingin menyelesaikan pesta mereka dengan cara seperti apa. Ketika David mulai berususan dengan timeline di situ pula Project Almanac mulai keluar dari lintasan yang sudah terbentuk dengan nyaman sejak awal, ketika kita dibawa untuk masuk ke masalah hubungan antara obsesi dan konsekuensi dan kemudian beralih ke cinta, mereka terasa datar, mereka tidak punya kedalaman yang mampu menyambung hal-hal menyenangkan di awal tadi untuk menciptakan konklusi yang lebih serius dengan punch yang kuat.


Overall, Project Almanac adalah film yang cukup memuaskan. Ketika ia masih murni mengandalkan situasi untuk mencuri atensi penontonnya film ini masih berhasil memberikan sebuah hiburan yang oke, mondar-mandir gerak cepat beserta gimmick yang dengan tepat, terlebih dengan sokongan teamwork yang mampu menutupi minus karakter secara individu serta kesederhanaan konflik yang sedang berlangsung, serta tidak berupaya menjadi tampak ilmiah kelas berat. Tapi sayangnya kesederhaan itu pula yang menjadi boomerang  bagi film ini, karakterisasi yang lemah menjadikan babak akhir terasa goyah dan kurang menarik. Hit and miss, but still okay.








3 comments :

  1. Good review. Project Almanac is a science friction and full of thrill based movie.

    ReplyDelete
  2. Aku punya pertanyaan, apakah benar ayahnya david yaitu ben merupakan david sendiri?

    ReplyDelete