30 September 2014

Movie Review: Frank (2014)


"Chinchilla! Chinchilla!"

Apa sih musik itu? Nada yang bisa membuat kamu bergoyang tanpa peduli jika suara vokal yang terselip disampingnya terasa mengganggu karena tidak sejalan dengan irama? Atau justru kumpulan nada yang membingungkan namun mampu menyentuh emosi pendengarnya? Apa sih musisi itu? Manusia dengan tampang menarik yang mudah meraih atensi sekalipun ia punya suara standard yang dimiliki banyak orang? Atau justru sosok dengan penampilan kurang menarik namun mampu membawa pendengar hanyut dalam lantunan suaranya yang merdu? Hal tadi merupakan perdebatan yang menarik, antara bisnis dan kenikmatan bermusik, Frank, clever satire whose lose their consistency.

Jon (Domhnall Gleeson) punya mimpi yang sangat besar untuk menjadi seorang musisi, ia lebih sering memikirkan nada-nada serta lirik yang menarik ketimbang pekerjaan kantornya ketika ia berada dalam perjalanan pulang, sebuah kebiasaan yang sepertinya mendapat perhatian dari dewi fortuna. Suatu ketika Jon duduk di tepi pantai dan tiba-tiba menyaksikan polisi sedang berupaya menyelamatkan seorang pria yang mencoba bunuh diri, pria yang menjadi jalan bagi Jon untuk masuk kedalam sebuah band setelah bertemu dengan Don (Scoot McNairy), yang mengatakan band miliknya yang bernama Soronprfbs sedang memerlukan keyboardist baru.

Tentu saja tawaran tersebut diterima oleh Jon, yang langsung meminta ijin kepada kantor dan berharap akan memperoleh pengalaman baru dengan melakukan gig bersama Soronprfbs. Celakanya apa yang telah menantinya jauh lebih besar dari perkiraan Jon, dimana ia telah ditunggu oleh empat orang musisi keras kepala yang sedang menyusun album mereka, sekelompok manusia berperawakan aneh dibawah pimpinan vokalis Frank (Michael Fassbender) yang selalu menginginkan kesempurnaan dalam musik mereka, tidak peduli musik tersebut mudah dinikmati orang lain ataupun mudah untuk dijual.


Hal pertama yang terlintas di pikiran saya sejak pertanyaan “You play C, F and G?” itu muncul adalah ini akan menjadi sebuah kritik yang menyenangkan kepada dunia musik. Ya, sebuah kritik, bagaimana ketika “soul” tidak lagi menjadi hal paling penting bagi banyak musisi sekarang ini dalam menciptakan lagu, cukup dengan nada familiar, modifikasi kecil di sana-sini, kemudian sebisa mungkin menarik atensi agar karya mereka dapat menjadi sensasi yang besar. Sebut saja seperti youtube yang berulang kali digunakan oleh Lenny Abrahamson dalam menggambarkan dua dunia yang berbeda dari kisah yang ditulis oleh Jon Ronson dan Peter Straughan ini. Apakah hanya dengan tahu nada dasar, punya penampilan dan wajah yang menjual, kemudian ciptakan image yang menarik, anda sudah bisa menjadi musisi?

Ya, apakah dengan kombinasi gitar dan suara yang selalu menyimpang dari irama, namun punya banyak follower di twitter anda sudah dapat dikategorikan sebagai seorang pekerja seni? Hal tadi yang menjadikan Frank seperti sebuah bom kecil tapi tampil dengan terus berupaya melemparkan kesan absurd pada penontonnya. Bersama alur yang sesekali bergerak random kita diajak untuk mengeksplorasi fantasi tentang popularitas, diselimuti dengan karakter yang depresi, berputar-putar bersama Frank dan rekan-rekannya yang tidak pernah sekalipun melepaskan kesan unik dan gila, memadukan synthesizer dengan lirik aneh yang sempat mencuri emosi, ditemani dengan aksi tarik menarik antara Jon dan Clara yang secara stabil menjaga perdebatan tentang visi mereka terhadap musik dan keberhasilan untuk tidak hilang dari atensi.


Kombinasi diatas tadi merupakan sesuatu yang sulit untuk anda tolak, pertanyaan yang serius dan berat namun dikemas dengan ringan sembari bergerak dengan cara bersenang-senang, kekonyolan yang menarik tanpa menjadikan misi yang ia bawa tidak tampil sama menariknya. Tapi ada satu masalah besar yang menghalangi Frank untuk meraih potensi tertingginya, konsistensi daya tarik yang dihasilkan oleh Lenny Abrahamson pada cerita. Semua nilai plus yang disebutkan tadi akan anda temukan di paruh pertama, dalam skala yang sangat kuat, tapi semakin jauh anda melangkah bersama karakter yang punya kedalaman cukup mumpuni itu, semakin dalam anda terjebak bersama aksi quirky Frank yang mempesona itu, semakin lemah pula fokus yang akan anda rasakan pada kritik yang ia bawa sejak awal tadi.

Hal tersebut sangat disayangkan, karena sejak awal selain manusia berkepala besar yang diambil dari karakter Frank Sidebottom itu, isu terkait dunia musik tadi juga menjadi salah satu hal paling menarik dari film ini. Eksplorasi yang Lenny Abrahamson lakukan mulai terasa lemah ketika kita mulai masuk ke formula konvensional di babak ketiga, sikap perfectionist dari karakter yang seharusnya menjadikan sindiran terhadap bisnis musik itu semakin terasa tajam justru memudar. Terlalu berlebihan memang mengatakan babak tersebut sebagai sesuatu yang pointless, tapi ketika telah keluar dari hutan mereka mulai kehilangan apa yang sebelumnya menjadikan mereka terasa mengasyikkan, pancaran energi yang seperti kehabisan pasokan, seperti kereta api uap yang mulai kehabisan stok kayu dan menjadikan penumpang merasa bosan dengan gerak lambatnya.


Tapi nilai minus tadi mungkin tidak akan memberikan efek yang begitu besar jika sejak awal anda sepenuhnya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Frank. Ya, seperti yang disebutkan tadi ada dua hal yang menarik disini, dan jika anda tidak begitu mempersoalkan masalah pada hal terkait dunia musik tadi, perjalanan ini akan terasa menyenangkan, terlebih dengan penampilan mumpuni dari pada aktor. Dua pemain band jelas sebagai tempelan, dan Scoot McNairy berhasil menghantarkan tekanan sebagai musisi dengan baik, begitupula dengan Maggie Gyllenhaal dengan pendirian teguhnya itu. Domhnall Gleeson tampil manis sebagai nahkoda, terutama pada cara ia membangun konflik, hal yang juga dilakukan dengan baik oleh bintang utamanya, Michael Fassbender, berhasil menjadikan Frank tampak eksentrik hanya dengan gerak tubuh yang meyakinkan itu.


Overall, Frank adalah film yang cukup memuaskan. Frank adalah sebuah kemasan satir yang cerdas namun gagal menjadikan pesan yang bawa terasa kuat di bagian akhir, semua akibat konsistensi dan fokus pada isu utama yang tidak terbangun dengan mumpuni. Menyenangkan memang, mereka lucu dibalik kesan aneh, terasa hangat dengan aksi gila yang mereka tampilkan, tapi sayangnya pertanyaan terkait seni dan kesuksesan yang mereka berikan sejak awal tidak di tutup dengan tajam. Menyenangkan? Ya. Memuaskan? Cukup.



2 comments :

  1. Frank, 7.5-8 lah mas rory, a well-made entertainment. harus diakui kalau diakhir fil kurang greget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi saya kurang greget-nya bukan cuma di bagian akhir. :)

      Delete