28 September 2014

Movie Review: The Equalizer (2014)


"What do you see when you look at me?"

Ada yang mengatakan bahwa psikologis merupakan salah satu titik terlemah manusia, salah satu bagian penting tubuh kita yang jika terganggu dapat menghasilkan ledakan yang berbahaya, fungsi mental yang dapat mengubah puppy menjadi monster, seorang pendiam yang selalu tampil tenang seketika berubah menjadi makhluk buas yang siap menghancurkan segala sesuatu yang membuatnya tidak bahagia. Hal tersebut menjadi basis dari thriller sederhana ini, The Equalizer, a dark and modern Robin Hood story.

Jam tangan mungkin menjadi benda favorit pria dengan perawakan misterius bernama Robert McCall (Denzel Washington), ia selalu tampak presisi dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari, dari bangun pagi dan sarapan, kemudian berkerja di Home Mart, bercanda bersama rekan kerjanya Ralphie (Johnny Skourtis), setelah pulang mengunjungi sebuah restoran lokal tempat dimana ia membaca buku dengan sebungkus teh yang bahkan telah ia persiapkan dengan sangat rapi dari rumah, yang duduk manis di samping segala peralatan makan yang telah Robert susun sesuai posisi yang ia inginkan.

Namun suatu ketika pola kehidupan dari pria yang mengidap OCD kelas berat ini harus berubah. Sumbernya adalah seorang pelacur muda bernama Teri (Chloë Grace Moretz), sosok yang selama ini selalu menyempatkan berbasa-basi dengannya ketika singgah di restoran lokal tadi, gadis yang sesungguhnya sangat tidak senang dengan pekerjaan yang ia lakukan terlebih dengan perlakuan germonya yang berasal dari Rusia. Robert McCall berupaya untuk memberikan Teri keadilan, tapi celakanya ada pria lain bernama Teddy (Marton Csokas) yang merasa tindakan Robert sebagai sesuatu yang tidak adil.


The Equalizer adalah sebuah kemasan guilty pleasure terbaru, sederhananya mungkin seperti itu. Ini adalah hiburan yang akan sulit membuat penontonnya mengatakan ia sebagai sesuatu yang benar-benar baik secara keseluruhan, tapi dilain sisi sanggup memberikan petualangan dangkal yang mengajak mereka untuk bersenang-senang, dari kisah yang dibalik kesan rapi ketika ia terbangun sesungguhnya hanya melakukan mondar-mandir yang sempit, mengubah tema balas dendam sederhana menjadi sebuah aksi kepahlawanan yang selalu menonjolkan kesan bad-ass di posisi terdepan, thriller oktan tinggi yang digerakkan dengan kecepatan yang sesekali menenangkan, bahkan kita punya sedikit unsur studi karakter pada sosok Robert McCall yang seperti benar-benar tidak ingin berbagi layar di bagian awal itu.

Pada dasarnya The Equalizer adalah kemasan pemalas, pada cerita. Kisah yang ditulis oleh Richard Wenk itu tidak menghasilkan kedalaman yang menarik pada sektor script, kita diberikan pria dengan masa lalu suram, kita tahu ia selalu dihantui rasa cemas dalam sikap tenangnya, dan mudah untuk memperkirakan akan ada ledakan skala besar ketika orang-orang dengan tipikal seperti itu mulai habis kesabarannya. Untung saja mereka terbentuk dengan sangat efektif ditangan Antoine Fuqua, yang mayoritas berkat rutinitas dari karakter yang dibentuk dengan sabar, sebuah perkenalan yang menghabiskan banyak waktu sebelum masuk kedalam aksi kejar layaknya tikus dan kucing yang klasik itu, sebuah keputusan yang tepat karena ia berhasil membuat penonton merasa dekat dengan karakter utama.


Sejak awal hal tersebut sepertinya telah menjadi strategi dari Antoine Fuqua, karena pada dasarnya ia ingin menjadikan ini sebagai sebuah arena one man show, ya seperti Liam Neeson dengan Taken. Hasilnya positif, karena segala permasalahan yang ia miliki tidak berhasil memberikan gangguan yang begitu besar pada kenikmatan penonton berkat kemampuan Denzel Washington untuk menjadikan karakternya seperti sebuah mesin yang tak terkalahkan, aksi menghabisi para penjahat (yang juga dibentuk dengan baik) dipenuhi berbagai shocking moment dengan kebrutalan dan kekerasan ekstrim yang tidak malu-malu ketika tampil. Kesediaan anda untuk menghabiskan waktu bersama masa lalu suram karakter di paruh pertama yang ditemani dengan sepinya apartement itu seperti terbayar lunas ketika ia mulai berubah kedalam mode agresif.

Kata terakhir itu dapat pula mewakili The Equalizer, sebuah kisah balas dendam yang terus mampu dipompa daya tariknya dengan cara variatif, sehingga meskipun terkesan berantakan dan mungkin terasa tanpa tujuan, atensi penonton tidak pernah lepas dari cengkeraman mereka dimana kita seperti terus dibuat menanti karena berpikir akan ada sesuatu yang besar di bagian akhir yang akan dilakukan pria yang selalu selangkah lebih cepat dibanding musuh-musuhnya itu. Ada dinamika cerita yang segar disini, kadang ia melambat, kadang ia bergerak sangat cepat, dengan sokongan berbagai gambar yang mampu menyuntikkan intensitas yang efisien mereka mampu menghalangi agar kesan monoton yang tersebar didalam cerita itu untuk tidak bergerak lebih jauh mendekati penontonnya.

Ya, ada kesan monoton yang hadir disini, penyebabnya adalah perputaran yang ia berikan dalam proses menuju finale itu. Tidak dapat dikatakan buruk memang, ibaratnya seperti bermain tarik dan ulur dengan penonton, nilai minus dari substansi yang tipis ia tutupi dengan style yang manis. Hasilnya, ada sebuah keseimbangan secara keseluruhan, kadang kita melihat karakter merenung, kadang kita akan dikejutkan dengan cara ia menggunakan palu dan bor listrik selain fungsi utamanya untuk menancapkan benda tajam, bahkan sebuah adegan menggunakan racun yang sederhana itu bisa tampak menarik, semua berkat keputusan awal untuk menjadikan ini sebagai sebuah one man show, membekali tokoh utama dengan karakterisasi yang mumpuni, dan kemampuan Denzel Washington untuk membungkus kemudahan yang ia miliki itu untuk menjadi sebuah aksi bersenang-senang. 


Overall, The Equalizer adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah hiburan yang selama dua jam mampu mempermainkan penontonnya dengan efektif dan variatif. Terkadang ia terasa monoton, terkadang pula ia membuat mata kita terbuka lebar sembari tersenyum dengan aksi brutal yang total, ia juga punya minus pada cerita meskipun akhirnya ditutup dengan karakterisasi yang mumpuni dan membuat karakter punya pesona yang menarik. Keseimbangan itu yang akhirnya menjadikan ini sebagai sebuah kemasan guilty pleasure, ia tidak kuat secara keseluruhan, tapi ia berhasil memberikan petualangan yang cukup menyenangkan.



0 komentar :

Post a Comment