15 July 2014

Movie Review: No Tears for the Dead (2014)


"How do you say don't kill me in English?"

Tidak peduli ia tampil kompleks dengan jajaran masalah dari A hingga Z, atau justru hanya sebatas sebuah film yang membahas dampak dari rusaknya rautan pensil ketika ujian pada masa depan seorang pelajar, yang penonton cari sederhana, hiburan yang menyenangkan. Film ini mencoba menghadirkan hal yang pertama tadi, tapi sayangnya justru hal sederhana yang berhasil menyelamatkan muka mereka sebagai sebuah kesatuan. No Tears for the Dead (Wooneun Namja), make sure you can control the story before you make a complex movie.

Seorang pria bernama Gon (Jang Dong-Gun) masih terus dihantui oleh masa lalu kelam nya terkait perlakuan dari sang ibu ketika ia pindah ke Amerika Serikat. Tekanan serta lingkungan yang salah menjadikan Gon tumbuh menjadi seorang pembunuh berdarah dingin dan tergabung didalam organisasi kejahatan. Gon merupakan seorang hitman yang sangat handal, namun pada sebuah misi didalam sebuah klub ia melakukan satu kesalahan yang sangat fatal, Gon tidak sengaja membunuh seorang gadis kecil tak berdosa yang merupakan anak dari salah satu kliennya.

Rasa bersalah dan malu langsung menjadikan Gon mengambil keputusan untuk berhenti menjadi seorang hitman, namun sang boss berkata lain. Peristiwa sebelumnya itu ternyata telah menciptakan masalah yang melibatkan konspirasi yang lebih besar, akibatnya Gon diminta untuk melaksanakan sebuah tugas yang dijanjikan merupakan tugas terakhir baginya, pulang ke tanah kelahirannya Korea dan kemudian membunuh seorang wanita yang berprofesi sebagai seorang risk manager bernama Mo-gyeong (Kim Min-hee), wanita yang merupakan ibu dari anak perempuan yang Gon bunuh sebelumnya.


Sedikit bingung untuk menjelaskan apa alasan utama yang menjadikan film yang ditulis dan di sutradarai oleh Lee Jeong-beom ini sebagai sesuatu yang menarik pada tahap awal, adanya The Man from Nowhere di filmography miliknya, atau sosok Jang Dong-gun yang sukses melelehkan hati wanita di A Gentleman's Dignity, mungkin pula Kim Min-hee yang kuat dalam memancarkan emosi penuh kesedihan karakter yang ia mainkan. Sebut saja anda memilih salah satu dari tiga opsi yang tersedia tadi maka hasil akhir yang akan anda dapatkan mungkin tidak akan begitu buruk. Sayangnya hal yang sama tidak terjadi ketika mereka digabungkan menjadi satu kesatuan.

Potensi tentu saja ada, apalagi dengan tema standard sekalipun sangat besar kemungkinan hadirnya sebuah dramatisasi yang setidaknya berada pada level cukup baik dari film-film Korea. No Tears for the Dead juga punya itu dengan sektor terkuat terletak pada rasa kehilangan yang dialami oleh Mo-gyeong pada putrinya yang juga menjadi awal dari perluasan cerita menjadi sebuah konspirasi kejahatan yang rumit. Ya, rumit, dan ini yang menjadi masalah dari No Tears for the Dead, ia seperti di set oleh Jang Dong-gun untuk tidak sekedar menjadi thriller acton berbasis drama sederhana yang terkesan biasa, harus sesak, harus kompleks, banyak konflik yang menimbulkan tanda tanya yang juga membawa masuk bencana.

Sangat suka pada film yang kompleks, tapi juga dengan sebuah syarat mereka di berikan perlakuan yang baik. Disini tidak, dibiarkan mondar-mandir dengan gerak liar dalam narasi yang tidak pernah terasa ketat, perputaran plotline yang kasar seperti terus berupaya untuk membuat penontonnya sibuk menebak tapi sayangnya tidak disertai dengan semangat yang menarik. Upaya sinematik yang mencoba untuk tampil stylish juga tidak mampu menyelamatkan cerita yang sangat lemah dan kurang menarik dalam hal motivasi ini, kombinasi studi karakter dengan plot berbelit-belit yang menodai kesan heroik anti-hero karakter, serta adrenalin pumping yang bergaya tapi sayangnya selalu terasa kekurangan nyawa.


Showdown di bagian akhir harus diakui mampu memberikan sebuah tontonan yang cukup menarik, tapi proses atau jalan ketika penonton di bawa menuju kesana itu yang miskin daya tarik. Terlalu berambisi, andai unsur crime dengan pengulangan pada sosok penjahat yang membosankan penuh hiruk pikuk show-off itu ditekan kuantitasnya, kemudian fokus ditaruh pada perjuangan internal dan eksternal Gon dengan bantuan Mo-gyeong, ini mungkin dapat menjadi sebuah action-thriller yang simple dan menarik, karena pada dasarnya dapat dikatakan dua aktor utama yang dimiliki oleh Jang Dong-gun punya kemampuan untuk mengaduk-aduk cerita dengan permainan drama yang intens mengandalkan emosi.

Seperti yang disebutkan di awal tadi, mereka yang memilih salah satu dari tiga opsi itu sebagai alasan menyaksikan film ini dua diantaranya mungkin tidak akan begitu merasakan kekecewaan yang besar. Saya datang karena Kim Min-hee, aktris yang saya kenal pertama kali pada Hellcats (thanks to So-hee), dan kembali memberikan emosi yang memuaskan seperti yang ia terakhir lakukan di Very Ordinary Couple. Begitupula dengan Jang Dong-Gun dengan gejolak jiwa yang cukup meyakinkan. Masalahnya terletak pada akting disekitar mereka, Brian Tee, Kim Joon-Sung, serta Kim Hee-Won tidak punya karakter yang memiliki alasan yang kuat didalam cerita dibalik pengulangan yang konsisten mereka hadirkan.


Overall, No Tears for the Dead (Wooneun Namja) adalah film yang cukup memuaskan. Kalimat “untung saja” hadir ketika film telah selesai, karena tidak seperti lagu Smooth Operator dibagian awal film ini tidak punya sebuah petualangan yang halus, kinerja yang kurang memuaskan pada perputaran narasi dengan masalah dalam plot yang kurang intes dan berbelit-belit tanpa disertai motivasi serta semangat yang menarik itu mampu diselamatkan oleh sisi drama yang justru mampu menghadirkan emosi yang menarik hanya dengan menggunakan masalah yang sederhana.









0 komentar :

Post a Comment