15 June 2014

Review: How to Train Your Dragon 2 (2014)


"We are the voice of peace, and bit by bit we will change this world."

Dapat dengan mudah menemukan jawaban “ingin melakukan yang lebih baik lagi dari pencapaian sekarang” pada pertanyaan “apa yang ingin kamu lakukan selanjutnya?” dari orang-orang yang berhasil menuai kesuksesan. DreamWorks juga ingin melakukan hal yang sama dan sukses melindungi andalan terbaru mereka empat tahun lalu ini untuk tidak jatuh seperti penerus Madagascar dan menyulapnya menjadi serupa dengan Sherk 2, sekuel yang lebih baik dari pendahulunya. How to Train Your Dragon 2, when The Empire Strikes Back, Avatar, and Game of Thrones blended in enchanting and engaging beautiful young adults animation world. Summer 2014 real deal so far.

Disaat sahabatnya Fishlegs (Christopher Mintz-Plasse), Snotlout (Jonah Hill), si kembar Tuffnut (T.J. Miller) dan Ruffnut (Kristen Wiig), serta kekasihnya Astrid (America Ferrera) sedang sibuk dengan naga mereka dalam sebuah perlombaan, Hiccup (Jay Baruchel) justru asyik berpetualang bersama sang soulmate Toothless, berlatih terbang solo sembari mencoba menemukan tempat-tempat baru yang belum ada di peta miliknya. Memang setelah lima tahun berselang hanya kedamaian yang tercipta diantara bangsa Viking dengan para naga, hal yang kemudian menjadikan Stoick (Gerard Butler) mulai berani berpikir lebih jauh.

Stoick menilai bahwa Hiccup tinggal sedikit lagi telah siap untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin Berk, keinginan yang sayangnya tidak mendapat respon positif dari Hiccup. Namun fokus mereka seketika berubah setelah Hiccup bertemu dengan seorang pemburu naga, Eret (Kit Harington), sosok yang membuka mata Hiccup bahwa ternyata banyak pengendara naga lain diluar Berk, mengenalkannya kepada Drago Bludvist (Djimon Hounsou) sang pemimpin pemburu naga, dan juga Valka (Cate Blanchett) yang berada di sisi berbeda dengan perlindungan Alpha dragon bernama Bewilderbeast.


Sangat wajar memang merasa waspada pada How to Train Your Dragon 2 terlebih dengan kesuksesan besar yang dihasilkan oleh penampilan perdana pendahulunya empat tahun lalu, tapi jika memutar sikap realistis menjadi bernada optimis di sisi lain How to Train Your Dragon 2 sebenarnya justru juga punya dua hal penting yang ingin di miliki oleh sebuah sekuel, pondasi yang kuat dan potensi yang besar. Tugas yang di miliki oleh How to Train Your Dragon 2 sebenarnya seimbang, sulit tapi mudah, mereka perlu dipoles pada beberapa bagian kecil yang belum begitu bersinar di film pertama bersama dengan penambahan materi baru namun harus disertai penempatan yang cermat. Hasilnya cahaya itu semakin berkilau.

Apresiasi besar layak diberikan kepada Dean DeBlois, di langkah awal ia mampu menjadikan kisah yang telah tertidur empat tahun itu membangunkan kembali memori penontonnya dengan rasa yang segar seolah mereka baru menyaksikan film pertama beberapa minggu atau bulan yang lalu, kemudian menarik kembali posisi kita untuk merasa dekat bersama karakter lengkap dengan keterlibatan pada permasalahan yang mereka hadapi. Dan dari sana ia mulai beraksi, memperluas dunia Hiccup dan Berk, bukan hanya sebatas menambahkan naga-naga baru dengan bentuk yang lucu dan imut, namun juga lewat sebuah langkah berani dengan menyuntikkan sedikit materi berat seperti sebuah pertarungan besar untuk memperdalam dan memperkuat semua elemen film.


Itu mengapa How to Train Your Dragon 2 terasa mengasyikkan, ia tidak hanya sebatas sebuah pengulangan yang berputar kembali dan terjebak dalam pop culture dunia animasi dengan murni menjual karakter-karakter imut mereka, tapi mencampur budaya tadi dengan visi yang kuat dalam misi yang jelas untuk membawa mereka bergerak kedepan. Sederhananya, ini adalah salah satu contoh yang solid bagaimana sebuah sekuel dibuat, mampu mengembangkan materi yang sudah ada dengan mengekplorasi bagian baru disertai dengan aksi menebar konsentrasi yang terjaga dengan baik di elemen pembentuknya. Kombinasi tadi menciptakan sebuah keseimbangan yang memberikan setiap bagian miliknya kesempatan sama rata untuk sesaat mengambil panggung utama, dari cerita dan visual, serta dramatisasi tanpa merusak kenikmatan adegan aksi.

Seperti sebuah rollercoaster, naik dan turun, cepat dan lambat, tawa dan sedih, dan itu menyatu dengan pas tanpa terasa canggung. Dean DeBlois seperti sadar bahwa How to Train Your Dragon telah punya akar yang kuat sehingga ia berani mengambil resiko dalam menerapkan ide kreatif yang ia punya, dari permainan emosi dengan kualitas yang bahkan terasa jauh lebih baik jika harus dibandingkan dengan beberapa drama rilisan terbaru, hingga hal klise skala kecil seperti pengulangan sikap Ruffnut yang terpesona pada Eret. Dalam narasi yang cerdas dengan berani mereka ia push tapi dengan menempatkan limit yang tepat, sehingga tidak ada rasa overdo yang menggerus kesan bijak dari isi cerita yang tetap terasa ramah bagi keluarga dengan pesan seputar persahabatan, kesetiaan, dan keluarga melalui sudut pandang remaja.


Apakah How to Train Your Dragon 2 itu rumit? Tidak, fokusnya memang terletak pada mengembangkan karakter dan hubungan diantara mereka sehingga sedikit tampil lebih padat, namun warna-warni itu tetap hadir dilengkapi dengan sajian visual yang bukan hanya memukau namun juga dengan tingkat keindahan dan kompleksitas yang sama menariknya dengan cerita yang tematis itu. Tidak ada yang terasa biasa pada sisi “kewajiban” sebuah film animasi ini, desain dan visual (yang menggunakan Roger Deakins sebagai visual consultant) selalu memukau ketika giliran mereka tampil tiba, aksi terbang dan jatuh bebas ditemani latar pemandangan yang indah, ada sensasi yang maksimal dan memikat tanpa mencuri atensi secara berlebihan berkat pergeseran kembali pada cerita dan humor yang terasa presisi.

How to Train Your Dragon 2 membuat saya rindu dengan Toy Story series. Memang belum dapat menyandingkan mereka secara sejajar, tapi HTTYD2 menjadi bukti bahwa DreamWorks Animation dapat menciptakan film yang mendekati kualitas Pixar, menyampaikan pesan kuat dan berkualitas sembari tetap memegang teguh tugas utamanya sebagai sebuah animasi, yang imo terasa kurang di Shrek franchise dan Kung Fu Panda, charming tanpa menjadi berlebihan dan annoying. Hal itu juga terbantu kinerja pengisi suara yang selain berhasil menjadikan karakter mereka terasa energik juga mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang mereka miliki untuk menyuntikkan nyawa pada setiap sequence, dari sukacita dan kebahagiaan hingga emosi dengan nada kelam. 


Overall, How to Train Your Dragon 2 adalah film yang memuaskan. Sebuah presentasi yang padat, kuat, seimbang, terkontrol, dan berani, ia tidak hanya ingin kembali sebatas untuk memberikan hiburan dalam kuantitas dan kualitas yang sama besar, namun ia juga ingin menjadi lebih besar dan kompleks tanpa harus kehilangan kenikmatan yang diberikan pendahulunya. Seperti sebuah bandul, kita diajak oleh Dean DeBlois untuk secara berkala berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya dengan energi yang menyenangkan, dari drama terkait persahabatan dan keluarga dengan bobot emosi yang lembut, sisi ringan seperti adegan aksi yang memukau serta humor yang manis, mereka disatukan dengan halus. Ah, cantik.







2 comments :

  1. it deserve 9, IMO.
    kualitas animasi mantep, storyline kuat, plot yang maenin emosi penonton, well done.
    nice review, btw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buat aku sih nilai 9 di animasi itu standardnya Toy Story series sama Spirited Away, dan 8,75 untuk animasi seperti Up, Wall-E, Finding Nemo, dan My Neighbor Totoro. Selevel kok, kualitas animasi keren dan storyline yang kuat, tapi belum sekelas. :)

      Delete