17 June 2014

Review: Words And Pictures (2014)


"Is a man worth more than his words, a woman worth more than her pictures?"

Kalimat “If you can't make it good, make it 3D” sebenarnya bukan satu-satunya “sarkasme” di dunia film, ada solusi lain yaitu dengan menggunakan aktor dan aktris yang punya sejarah baik dan telah mendapatkan pengakuan di bidang akting untuk menjadikan kemasan standard tampak menjanjikan. Saya adalah salah satu korban dari solusi terakhir itu, murni tertarik pada Words and Pictures karena ada nama Juliette Binoche dan Clive Owen didalamnya. Dan, well, well. 

Dina Delsanto (Juliette Binoche), seorang guru kesenian yang dihormati namun kini mulai menemukan kesulitan untuk berekspresi di atas kanvas akibat penyakit yang ia derita, sesungguhnya punya ketertarikan dua arah dengan Jack Marcus (Clive Owen), mantan penulis yang kini menjadi guru bahasa dengan ketertarikan yang begitu besar pada kata-kata. Yang memisahkan mereka ada idealism masing-masing, masih percaya bahwa salah satu gambar dan kata pasti berada di level yang lebih baik, yang akhirnya menciptakan kompetisi diantara mereka dengan melibatkan para siswa didalamnya. 


Ini klise banget sebenarnya, premis tadi itu seperti menjadi sebuah pengalih perhatian penonton pada kemasan yang pada dasarnya hanyalah sebuah rom-com standard, tapi yang sedikit membedakan adalah ada potensi yang menarik disini terlebih ketika kita mulai diajak untuk melihat perdebatan cerdas dan menyenangkan yang melibatkan permainan kata dari dua tokoh utama yang juga tidak bisa dipungkiri jadi salah satu alasan lain penonton untuk menyisihkan waktu mereka. Bagi mereka yang punya alasan dengan saya seperti diatas tadi mungkin akan mendapatkan sedikit rasa puas. 

Chemistry Clive Owen dan Juliette Binoche terasa cukup manis disini, bagaimana frustasi dan perjuangan bisa mereka tampilkan dengan baik dan menjadikan masing-masing karakter mereka punya sisi menarik. Pertempuran diantara mereka juga meskipun tidak kuat tapi tidak jatuh menjengkelkan dan kosong, ada tarik dan ulur lucu untuk perlahan-lahan membuat satu sama lain yang awalnya sama-sama keras mencair dan menyatu dalam hubungan asmara (klise sih ya, predictable lagi, jadi spoiler tidak masalah). Yang jadi masalah itu elemen lain disekitar mereka, tidak mampu membantu menyelamatkan tujuan tidak penting film ini dari kesan menjengkelkan. 


Masalah awalnya ada di naskah yang ditulis oleh Gerald Di Pego, dari karakterisasi yang lemah terutama pada para siswa yang kelihatan kayak boneka, terus subplot kurang begitu penting dan juga tanpa tujuan itu yang sering dibentuk Fred Schepisi juga dengan fokus dan konsistensi yang lemah. Jadinya Words and Pictures seperti berputar-putar sambil menunggu hasil akhir, dari gesekan antara dua tokoh utama sampai pada makna dan semangat yang dibawa dari perjuangan dua karakter itu juga akhirnya terasa biasa, tidak ada alur yang mampu membuat kita terus tertarik, beberapa bahkan dangkal. 


Words and Pictures mungkin bisa jadi contoh terbaru bagaimana dua pemeran dengan kualitas baik dan telah memberikan kinerja yang maksimal dengan dialog cerdas dan aksi saling ejek yang menarik tetap saja tidak mampu menjadikan sebuah film tampil sangat memuaskan. Words and Pictures terasa biasa karena script yang kurang kuat, dan tidak mampunya ia menciptakan eksekusi di beberapa bagian untuk menjauhkan status predictable dan klise agar tidak mengganggu melalui sebuah penceritaan yang menarik. 








0 komentar :

Post a Comment