16 March 2014

Movie Review: The Wind Rises (2013)


“I loved you since the wind brought you to me.”

Apakah film animasi memang diciptakan hanya untuk penonton berusia muda? Pertanyaan tersebut tentu tidak akan menemukan sebuah jawaban yang konkret, namun sekilas dapat kita nilai bersama dari apa yang dilakukan oleh mayoritas film animasi, mengusung visi dan misi skala ringan seperti tema keluarga dan kasih sayang sehingga menghalanginya untuk tampak sedikit lebih kompleks yang sesungguhnya dapat menambah nilai positif. Hal tersebut yang menjadikan karya terakhir dari master animasi, Hayao Miyazaki, ini terasa impresif, berani walaupun harus menjadi segmented. The Wind Rises, an art house animation, there’s an explosion on screen, there’s an explosion on emotion. Gorgeous!!

Tidak seperti ukuran kota tempat ia tinggal yang kecil, Jiro Horikoshi (Hideaki Anno) memiliki hal yang menjadi bagian dari semua anak-anak dalam kapasitas yang sangat besar, impian. Majalah berbahasa Inggris, kamus, hingga sosok desainer pesawat terbang asal Italia bernama Giovanni Battista Caproni (Nomura Mansai) telah menjadi bagian dari fantasi yang ingin ia wujudkan. Jiro berhasil, ia telah berkuliah di bidang teknik mesin, bahkan sudah menimba ilmu hingga ke Jerman. Namun kegagalan terus menemaninya, hingga Jiro memutuskan untuk kembali ke Jepang.  

Celakanya keputusan tersebut memberi polemik besar bagi Jiro. Jiro bertemu dengan Naoko Satomi (Miori Takimoto), yang pada tahun 1923 pernah ia selamatkan pada tragedi gempa bumi Kanto. Cinta mereka mulai mekar dan mulai bergerak menuju jenjang yang lebih serius. Sayangnya Naoko menolak untuk bergerak lebih jauh karena masih cemas pada penyakit yang ia miliki, dan meminta Jiro menunggu hingga ia pulih. Tapi nasib berkata lain, karena disisi lain Jiro justru mulai menemukan jalan untuk mewujudkan impiannya selama ini, mendesain sebuah pesawat terbang.  


Sinopsis tadi dan kombinasi yang ia lakukan bersama judul yang digunakan akan dengan sangat mudah menciptakan sebuah gambaran umum tentang apa yang penonton peroleh dari The Wind Rises, karya terakhir dari salah satu legenda di dunia animasi, Hayao Miyazaki. Perang dunia, pesawat, dan cinta, memang benar ketiganya menjadi unsur utama pembentuk cerita, namun The Wind Rises pada faktanya tidak sesederhana itu. Ini seperti sebuah rangkuman dari proses kehidupan seseorang, dari dunia nyata kemudian masuk ke alam mimpi, ditemani kisah berisikan tekad, usaha, obsesi, kegagalan, kerja keras, hingga jalinan cinta lengkap dengan pilihan dan resiko yang ia punya. Materi-materi tadi dibangun dengan totalitas dan rasa percaya diri yang tinggi oleh Hayao Miyazaki, dan akan dengan mudah menjadikan penonton tidak begitu terpaku pada isu terkait “killing machines” yang banyak diperdebatkan itu.

Yap, menghipnotis, dari kualitas tampilan visual memang tidak ada sebuah gebrakan baru dari Studio Ghibli, penonton akan mendapatkan kualitas yang mereka harapkan hingga detail. Namun ada sebuah kesejukan yang menarik pada sisi struktur dan nada cerita, ia fokus, tenang, dan lembut, terus menemani pergerakan alur cerita sembari menyimpan sesuatu yang lebih besar dibaliknya. Ini adalah sebuah isu dan kisah kompleks dibalik karakter sederhana, sebuah kebalikan dari apa yang selama ini identik dengan Miyazaki yang kerap bermain bersama karakter kompleks penuh warna-warni dan magis untuk mengusung kisah dan isu yang sederhana. Something yang memang kurang begitu familiar, sedikit keluar dari pattern yang selama ini menjadi ciri mereka, namun justru akan terasa mengasyikkan bagi mereka yang menjadi bagian dari pasar penonton sasaran.


The Wind Rises ibarat sebuah film art-house dalam bentuk animasi. Itu mengapa diawal ada kata segmented, bahkan ini mungkin terasa cukup berat bagi penonton remaja yang akan dengan mudah kehilangan minat mereka. Ini bukan film animasi yang punya daya untuk menjangkau dan memuaskan setiap kelas penonton karena ia tidak menawarkan kisah ringan dengan balutan humor klasik dalam narasi gerak cepat penuh dinamika cerita yang menyenangkan, sebuah jawaban atas pertanyaan sederhana yang telah identik dengan dunia animasi. Ini kompleks, dalam cerita yang terus bergerak stabil pada level yang ia ciptakan sejak awal, hal yang juga mungkin menjadi sumber utama rasa jenuh dan monoton, dibalik warna cantik dilayar Miyazaki justru dengan penuh rasa sabar terus berupaya mengajak penontonnya untuk merasakan bagaimana rumitnya sebuah sistem yang dihadapi manusia.

Ketimbang dituntun dalam penceritaan yang menjelaskan hingga akhir disini penonton akan diberikan kebebasan bermain bersama interpretasi yang mereka miliki, menyerap cerita terkait proses kehidupan dan kemudian menganalisa ide-ide kuat dalam nada gelap yang Miyazaki lemparkan pada berbagai sisi cerita, mulai dari sejarah hingga kisah cinta klasik dangkal namun kokoh yang lebih banyak tampil lewat ekspresi sederhana karakter. Kisah cinta yang dihadirkan disini sebenarnya juga terasa unik, memiliki power yang bersifat kumulatif, hal yang akan membuat penonton yang sejak awal tidak berhasil menemukan clue dari potensi elemen itu untuk hadir kemudian (walaupun sulit jika menilik poster), dan lebih fokus kepada hal terkait perang dan pesawat ketimbang memberikan investasi emosi secara bertahap, akan merasakan drama percintaan itu sebagai sesuatu yang tidak dibangun dengan baik, terasa datar bahkan cenderung hambar.


Apakah serumit itu? Ya, ini rumit karena sejak awal ia memang ingin menjadi rumit. Cara termudah untuk menikmati The Wind Rises adalah mencoba klik dengan irama yang ia ciptakan sejak awal dan terus dipakai hingga akhir, karena kisah dengan tema familiar yang kerap bergerak mondar-mandir penuh lompatan waktu ini tidak pernah mencoba bergerak terlalu jauh untuk menjadi sebuah ceramah moral penuh kepalsuan, pada dasarnya bahkan ia punya materi yang sangat menarik. Dari semangat, kreatifitas, mereka dibentuk dengan kapasitas dan tingkat kepadatan yang mumpuni, menggambarkan kehancuran dan kerusakan dengan indah namun disisi lain mengerti bagaimana cara menghadirkan sebuah refleksi yang menyayat hati dan emosi dalam gairah penuh syahdu serta lembut dan menyentuh dengan tingkat sentimentalitas yang terasa pas.

Ini akan terlalu panjang jika harus ikut membahas sisi cerita seperti proses dari pengembangan Mitsubishi A6M Zero yang terus terjaga dengan baik daya tariknya, kisah Jiro Horikoshi yang secara mengejutkan cukup inspiratif, kombinasi yang ia lakukan bersama pergeseran random yang imajinatif, serta pendekatan lembut dari Hayao Miyazaki pada dua elemen utama cerita tanpa pernah lupa untuk menempatkan isu kecil lainnya untuk terus berada didalam radar atensi para penontonnya. The Wind Rises memang tidak se-energik film-film Miyazaki lain seperti Howl's Moving Castle, Porco Rosso, Princess Mononoke, bahkan tidak sebesar My Neighbor Totoro dan Spirited Away, namun dibantu kinerja mumpuni dari pengisi suara seperti Hideaki Anno dan Miori Takimoto, teknik narasi yang Miyazaki ciptakan seperti menghancurkan dinding pembatas, sebuah ekspansi yang membuka ruang baru bagi dunia animasi untuk dieksplorasi.


Overall, The Wind Rises (Kaze Tachinu) adalah film yang memuaskan. Sedikit keluar dari ciri khas yang ia punya, Hayao Miyazaki justru mengambil pilihan berani dan kemudian menjadikan film yang ia katakan menjadi karya terakhirnya ini sebagai sebuah penutup yang mengejutkan. Ini adalah kumpulan proses kehidupan manusia dalam kumpulan teknik dengan tingkat kesulitan yang tinggi: merubah kisah konvensional bukan hanya menjadi menarik seperti The Aviator namun juga imajinatif dan cerdas, mewarnainya dengan dramatisasi yang tetap mampu mempertahankan keindahan kemasan tanpa tampil berlebihan, memberikan sengatan emosi yang cantik lewat pendekatan yang lembut, dan dibungkus dalam narasi dengan pergeseran random yang menyenangkan. Captivating.






0 komentar :

Post a Comment