20 March 2014

Movie Review: Alan Partridge: Alpha Papa (2013)


"People sack people, people people please people."

Ibarat sebuah presentasi, tidak peduli seberapa tinggi kualitas dari materi yang anda miliki semua pada akhirnya akan menjadi runyam ketika tidak di eksekusi dengan mumpuni, dari penceritaan yang tidak dibarengi dengan rasa percaya diri serta menyebabkan maksud dan tujuan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Kebalikan dari hal tadi dialami oleh film ini, dangkal, sempit, klasik, namun berhasil menyajikan sebuah presentasi penuh percaya diri yang mampu menghadirkan nyawa menyenangkan sehingga berhasil menjadikan materi minim tadi sebagai sebuah petualangan yang menyenangkan. Alan Partridge: Alpha Papa.

North Norfolk Digital, sebuah stasiun radio di kota Norwich, berencana untuk melakukan sedikit pembaharuan seiring masuknya beberapa konglomerat multinasional kedalam struktur manajemen kepemilikan, dan akan berubah nama menjadi Shape. Sayangnya salah satu tindakan yang akan mereka ambil bukan hanya perubahan pada tingkat atas, namun ikut pula menjangkau sistem dibawahnya, termasuk pada penyiar (DJ). Hal tersebut yang mencuri atensi dari Alan Partridge (Steve Coogan), seorang DJ senior yang sudah sangat terkenal.

Dengan penuh rasa percaya diri Alan masuk kedalam ruang rapat, berupaya untuk memberikan masukkan berupa ide. Celakanya ia mendapatkan fakta bahwa ia juga menjadi salah satu orang yang terancam, dengan opsi lainnya Pat Farrell (Colm Meaney), rekan DJ dan juga sahabatnya. Pada akhirnya Alan memang selamat dari ancaman pemecatan, namun tidak dari sebuah bahaya yang disebabkan oleh Pat. Pat murka dan mengambil alih control North Norfolk Digital, menyandera beberapa orang, dan meminta Alan sebagai negotiator antara dirinya dengan polisi.


Alan Partridge: Alpha Papa adalah film yang berhasil membuktikan bahwa nilai minus yang diciptakan oleh cerita yang terasa kurang mumpuni mampu diatasi dengan kehadiran karakter penuh jiwa dalam penceritaan yang dinamis tanpa pernah kehilangan kemampuan untuk menarik atensi penonton. Pada dasarnya materi yang dibentuk bersama oleh Neil Gibbons, Rob Gibbons, Steve Coogan, Armando Iannucci, dan Peter Baynham ini tidak mencerminkan betapa banyak orang yang berkontribusi dalam proses membentuknya, sempit, dangkal malah, dan setelah masuk ke inti utama penonton hanya disuguhkan oleh sebuah petualangan berputar-putar yang seolah sengaja mengulur waktu untuk sebuah konklusi yang juga sama klisenya.

Namun ada yang berbeda disini, sebuah feel dari pure comedy, eksekusinya bahkan dapat dikatakan berhasil menjangkau level cerdas. Dibalik ruang cerita yang sempit dan dangkal tadi hadir sebuah alur cerita yang mengalir dengan stabil, struktur cerita kokoh dengan editing yang seperti paham betul bagaimana menghadirkan penempatan materi sehingga setiap hal kecil yang ia punya bergabung menjadi sebuah kesatuan yang mengasyikkan dalam gerak cepat. Ya, ini juga yang menjadi nilai plus dari Alan Partridge: Alpha Papa, ia bergerak cepat namun disisi lain Declan Lowney bukan hanya mampu menjaga cerita agar tampil konsisten, namun ikut serta menciptakan sebuah kepadatan yang pas.

Hal tersebut yang menjadikan film ini terasa unik. Alan Partridge: Alpha Papa tidak mencoba untuk menjadi sebuah kemasan yang megah dan pintar, dengan berani tampil bodoh dan mungkin akan membuat beberapa penontonnya kesal dengan materi-materi klasik yang konyol, tapi ia mampu menghadirkan apa yang penonton harapakan dari sebuah film komedi klasik, mudah di ikuti, penuh dengan killer joke yang luas dan nada gelap serta satir, dialog tajam disertai ad-lib yang efektif, hingga beberapa one-liner yang menarik untuk dijadikan sebuah quote. Mereka semua disatukan dalam sebuah script yang efisien dengan tempo cepat yang tidak pernah kehilangan momentum pada konteks menghadirkan tawa.


Ya, hanya dalam menghadirkan tawa, karena seperti yang disebutkan pada bagian awal beberapa bagian dari cerita terasa kurang memuaskan dibalik kombinasi joke dan gag yang mumpuni itu. Ada beberapa sub-plot yang kurang kuat, dan menyebabkan kehadiran mereka terasa mengganggu bahkan tidak perlu karena sejak awal sudah tidak dibekali dengan sebuah kedalaman materi yang setidaknya cukup baik, seperti kisah cinta yang melibatkan Angela Ashbourne (Monica Dolan), dan juga hubungan Alan dengan sang asisten, Lynn Benfield (Felicity Montagu). Mereka yang menjadi sumber kerap goyahnya momentum cerita, apalagi konflik yang bertemakan sebuah kemalangan itu kurang berhasil menarik simpati dan empati penontonnya.

Tapi apakah mereka merusak? Tidak, hanya sebatas mengganggu bagi penonton yang mungkin sedikit sensitif.  Bahkan bagi mereka yang tidak memperoleh kondisi tersebut ini akan menjadi sebuah petualangan dangkal yang tidak pernah kehilangan energi secara total, penuh nada cerah dengan gerak licin yang terasa pas. Apalagi dengan kinerja Steve Coogan yang gemilang, ia mampu membentuk Alan Partridge agar mudah diterima terlebih bagi mereka yang tidak begitu mengenal karakternya, serta menyajikan sisi lucu dan eksentrik secara padu lengkap dengan one-punch dialog yang memberikan tawa hingga ekspresi penuh kesan witty yang menyenangkan. Kombinasinya dengan pemeran lain juga berhasil menjaga kepadatan kisah sehingga tidak menjadi sebuah presentasi dangkal yang menjengkelkan.


Overall, Alan Partridge: Alpha Papa adalah film yang memuaskan. Saya selalu percaya bahwa materi cerita berkualitas dari sebuah komedi adalah bonus, karena yang kita cari adalah tawa, dan tawa dapat hadir dari hal sederhana yang konyol dan dangkal jika mampu dibentuk dengan tepat dan jauh dari kesan menjengkelkan. Itu yang dimiliki oleh film ini, dipenuhi dengan materi kurang penting, bahkan mereka dapat diselesaikan hanya dalam setengah durasinya yang sebesar 90 menit itu, tapi ia mampu memberikan hasil yang memuaskan dengan menyajikan eksekusi yang padat, efektif, dan juga efisien. Lucu, dan itu cukup. Segmented. 







0 komentar :

Post a Comment