"People sack people, people people please people."
Ibarat sebuah presentasi, tidak peduli seberapa tinggi
kualitas dari materi yang anda miliki semua pada akhirnya akan menjadi runyam
ketika tidak di eksekusi dengan mumpuni, dari penceritaan yang tidak dibarengi
dengan rasa percaya diri serta menyebabkan maksud dan tujuan tidak dapat
tersampaikan dengan baik. Kebalikan dari hal tadi dialami oleh film ini,
dangkal, sempit, klasik, namun berhasil menyajikan sebuah presentasi penuh
percaya diri yang mampu menghadirkan nyawa menyenangkan sehingga berhasil
menjadikan materi minim tadi sebagai sebuah petualangan yang menyenangkan. Alan Partridge: Alpha Papa.
North Norfolk
Digital, sebuah stasiun radio di kota Norwich, berencana untuk melakukan sedikit pembaharuan seiring
masuknya beberapa konglomerat multinasional kedalam struktur manajemen
kepemilikan, dan akan berubah nama menjadi Shape. Sayangnya salah satu tindakan
yang akan mereka ambil bukan hanya perubahan pada tingkat atas, namun ikut pula
menjangkau sistem dibawahnya, termasuk pada penyiar (DJ). Hal tersebut yang
mencuri atensi dari Alan Partridge (Steve
Coogan), seorang DJ senior yang sudah sangat terkenal.
Dengan penuh rasa percaya diri Alan masuk kedalam
ruang rapat, berupaya untuk memberikan masukkan berupa ide. Celakanya ia
mendapatkan fakta bahwa ia juga menjadi salah satu orang yang terancam, dengan opsi
lainnya Pat Farrell (Colm Meaney),
rekan DJ dan juga sahabatnya. Pada akhirnya Alan memang selamat dari ancaman
pemecatan, namun tidak dari sebuah bahaya yang disebabkan oleh Pat. Pat murka
dan mengambil alih control North Norfolk
Digital, menyandera beberapa orang, dan meminta Alan sebagai negotiator
antara dirinya dengan polisi.
Alan Partridge: Alpha Papa adalah film yang berhasil
membuktikan bahwa nilai minus yang diciptakan oleh cerita yang terasa kurang mumpuni mampu diatasi dengan kehadiran karakter penuh jiwa dalam penceritaan
yang dinamis tanpa pernah kehilangan kemampuan untuk menarik atensi penonton.
Pada dasarnya materi yang dibentuk bersama oleh Neil Gibbons, Rob Gibbons, Steve Coogan, Armando Iannucci, dan Peter Baynham ini tidak mencerminkan
betapa banyak orang yang berkontribusi dalam proses membentuknya, sempit,
dangkal malah, dan setelah masuk ke inti utama penonton hanya disuguhkan oleh
sebuah petualangan berputar-putar yang seolah sengaja mengulur waktu untuk
sebuah konklusi yang juga sama klisenya.
Namun ada yang berbeda disini, sebuah feel dari pure
comedy, eksekusinya bahkan dapat dikatakan berhasil menjangkau level cerdas.
Dibalik ruang cerita yang sempit dan dangkal tadi hadir sebuah alur cerita yang
mengalir dengan stabil, struktur cerita kokoh dengan editing yang seperti paham
betul bagaimana menghadirkan penempatan materi sehingga setiap hal kecil yang
ia punya bergabung menjadi sebuah kesatuan yang mengasyikkan dalam gerak cepat.
Ya, ini juga yang menjadi nilai plus dari Alan
Partridge: Alpha Papa, ia bergerak cepat namun disisi lain Declan Lowney bukan hanya mampu menjaga
cerita agar tampil konsisten, namun ikut serta menciptakan sebuah kepadatan
yang pas.
Hal tersebut yang menjadikan film ini terasa unik. Alan Partridge: Alpha Papa tidak mencoba
untuk menjadi sebuah kemasan yang megah dan pintar, dengan berani tampil bodoh
dan mungkin akan membuat beberapa penontonnya kesal dengan materi-materi klasik
yang konyol, tapi ia mampu menghadirkan apa yang penonton harapakan dari sebuah
film komedi klasik, mudah di ikuti, penuh dengan killer joke yang luas dan nada
gelap serta satir, dialog tajam disertai ad-lib yang efektif, hingga beberapa
one-liner yang menarik untuk dijadikan sebuah quote. Mereka semua disatukan
dalam sebuah script yang efisien dengan tempo cepat yang tidak pernah kehilangan
momentum pada konteks menghadirkan tawa.
Ya, hanya dalam menghadirkan tawa, karena seperti yang
disebutkan pada bagian awal beberapa bagian dari cerita terasa kurang memuaskan
dibalik kombinasi joke dan gag yang mumpuni itu. Ada beberapa sub-plot yang
kurang kuat, dan menyebabkan kehadiran mereka terasa mengganggu bahkan tidak
perlu karena sejak awal sudah tidak dibekali dengan sebuah kedalaman materi
yang setidaknya cukup baik, seperti kisah cinta yang melibatkan Angela Ashbourne (Monica Dolan), dan
juga hubungan Alan dengan sang asisten, Lynn
Benfield (Felicity Montagu). Mereka yang menjadi sumber kerap goyahnya
momentum cerita, apalagi konflik yang bertemakan sebuah kemalangan itu kurang
berhasil menarik simpati dan empati penontonnya.
Tapi apakah mereka merusak? Tidak, hanya sebatas
mengganggu bagi penonton yang mungkin sedikit sensitif. Bahkan bagi mereka yang tidak memperoleh
kondisi tersebut ini akan menjadi sebuah petualangan dangkal yang tidak pernah
kehilangan energi secara total, penuh nada cerah dengan gerak licin yang terasa pas. Apalagi
dengan kinerja Steve Coogan yang
gemilang, ia mampu membentuk Alan
Partridge agar mudah diterima terlebih bagi mereka yang tidak begitu
mengenal karakternya, serta menyajikan sisi lucu dan eksentrik secara padu lengkap
dengan one-punch dialog yang memberikan tawa hingga ekspresi penuh kesan witty
yang menyenangkan. Kombinasinya dengan pemeran lain juga berhasil menjaga
kepadatan kisah sehingga tidak menjadi sebuah presentasi dangkal yang
menjengkelkan.
Overall, Alan
Partridge: Alpha Papa adalah film yang memuaskan. Saya selalu percaya bahwa
materi cerita berkualitas dari sebuah komedi adalah bonus, karena yang kita
cari adalah tawa, dan tawa dapat hadir dari hal sederhana yang konyol dan
dangkal jika mampu dibentuk dengan tepat dan jauh dari kesan menjengkelkan. Itu yang dimiliki oleh film ini, dipenuhi dengan materi kurang
penting, bahkan mereka dapat diselesaikan hanya dalam setengah durasinya yang
sebesar 90 menit itu, tapi ia mampu memberikan hasil yang memuaskan dengan
menyajikan eksekusi yang padat, efektif, dan juga efisien. Lucu, dan itu cukup. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment