25 February 2014

Movie Review: Winter's Tale (2014)


Apa hal yang paling membuat anda merasa jengkel ketika menyaksikan film bertemakan cinta? Hal-hal klise yang ia hadirkan? Tidak masalah jika itu dikemas dengan baik dan sanggup menebar daya tarik. Bagaimana dengan permainan emosi? Bayangkan sebuah kisah cinta yang punya cerita tidak berkembang, sebuah romansa tanpa tenaga sehingga apa yang ia hadirkan terus saja berteman dengan kata datar dan hambar. Itu yang dimiliki oleh film ini, Winter's Tale, this is not a true love, this is an impotent love story.   

Peter Lake (Colin Farrell), merupakan seorang yatim piatu yang dengan status imigran asal Irlandia kemudian memaksanya untuk bekerja pada seorang pria obsesif yang selama ini mengasuhnya, pria yang juga merupakan demon gangster, Pearly Soames (Russell Crowe), sebagai seorang mekanik dan juga pencuri. Namun suatu ketika hubungan mereka berubah menjadi kelam akibat sebuah keputusan yang diambil oleh Peter, yang serta merta langsung memaksa Pearly memerintahkan anak buahnya untuk menangkap kembali Peter. 

Hebatnya Peter berhasil selamat berkat bantuan dari seekor kuda putih ajaib. Kuda putih tersebut ternyata tidak hanya menjadi pelindung bagi Peter, namun juga membawa ia menemukan cinta. Wanita cantik itu bernama Beverly Penn (Jessica Brown Findlay), tapi sayangnya romansa diantara mereka harus menemui rintangan, baik itu dari penyakit yang diderita Beverly, hingga upaya lain dari Pearly yang cemas jika kelak Peter akan memperoleh kekuatan magis dari Beverly.


Walaupun ia rilis di bulan februari, satu dari dua bulan diawal tahun yang menjadi waktu bagi para produsen melakukan wide release pada produk yang mereka anggap kurang menjanjikan, sulit untuk menampik daya tarik yang dimiliki oleh Winter’s Tale. Kisah yang diadaptasi dari novel rilisan tahun 1983 karya Mark Helprin ini ditangani oleh Akiva Goldsman dibagian naskah, yang sekaligus menjadi debut perdananya sebagai sutradara, sosok yang meraih Oscar melalui kesuksesan A Beautiful Mind. Kemudian kita punya Colin Farrell yang mampu tampil memikat di warna old story pada Saving Mr. Banks, Russell Crowe yang tidak perlu anda pertanyakan, serta Jessica Brown Findlay yang tentu saja sudah akrab dengan period drama seperti ini. 

Nah, jika ekspektasi anda sama seperti saya, maka turunkan segera, atau mungkin buang sejauh mungkin jika anda mampu. Ketimbang menjadi sebuah drama fantasi bertemakan cinta yang syahdu dan merdu, Winter’s Tale lebih terasa seperti sebuah melodrama yang dipenuhi dengan kepalsuan, bertaburkan hal klise yang bukannya tampil menarik namun justru melelahkan, terus berteman dengan aksi manipulasi yang celakanya selalu berakhir hampa. Ini kacau, saya bahkan merasa bingung nilai positif apa yang harus dijabarkan, karena sekalipun diawal ia cukup mampu membentuk setting tahun 1900-an dengan baik, serta skor mumpuni dari Hans Zimmer, tidak ada sisi menarik dari Winter’s Tale yang dapat diurai untuk menopang keseimbangan dalam penilaian. It’s a mess.

Jika menaruhnya kedalam bentuk yang sederhana, menyaksikan Winter's Tale seperti menonton opera dari boneka tanpa nyawa. Itu mengapa saya merasa ini mungkin akan terasa lebih menarik jika dibentuk menjadi sebuah film animasi, sehingga tindakan melempar konflik tanpa penjelasan lebih dalam yang Akiva Goldsman lakukan dapat dimaafkan, bahkan berbagai hal ganjil dan tak logis disengaja tidak akan menjadi sebuah masalah yang besar. Dua hal tadi merupakan minus mayor yang dimiliki oleh film ini, ia seperti terbebani oleh plot yang terus menerus mencoba tampil sentimental sebagai upaya pendekatan pada emosi penonton, yang celakanya disisi lain tidak disokong dengan pondasi yang tebal, semua tipis, dari narasi, power imajinasi, hingga karakterisasi.


Kekacauan yang ia miliki tidak berhenti sampai disitu, karena tidak perlu waktu lama sejak ia dimulai anda akan dengan mudah akan merasakan kehadiran tumpukan konflik yang tidak bergerak. Ada banyak materi menarik tentang cinta yang potensial, namun sayangnya mereka selalu stuck, tidak ada progress yang mumpuni sekalipun ia terus menampilkan transisi antar zaman dalam gerak mondar-mandir kota New York era modern dengan situasi di abad 19 dan 20. Tidak ada penjelasan, Akiva Goldsman seperti bingung hendak membawa Winter’s Tale kemana, penonton yang telah terbebani dengan segala informasi yang ia berikan secara bertahap itu justru pada akhirnya harus terjebak dalam alur berbelit-beli penuh dengan narasi canggung dan kikuk. Winter’s Tale seperti bom yang siap meledak. 

Ya, semua upaya yang ia berikan tanpa Akiva Goldsman sadari justru menjadikan Winter’s Tale lebih terasa seperti ujian kesabaran bagi penontonnya, ketimbang sebuah hiburan drama fantasi penuh imajinasi. Tidak cekatan dan kurang tangkas, ini akan menarik jika anda menggunakan Winter’s Tale untuk menguji seberapa mampu anda menyaksikan roman cengeng tanpa emosi yang menjemukan, sebuah film yang kurang punya rasa peduli pada penontonnya, menganggap mereka pintar untuk mengurai sendiri materi yang ia berikan, sebuah tindakan yang justru jauh dari kesan pintar karena sejak awal ia tidak memberikan pondasi yang kokoh yang berbagai elemen cerita. 

Divisi akting sendiri dapat dikategorikan menyedihkan. Colin Farrell mencoba begitu kuat untuk menyampaikan emosi yang berkecamuk di pikiran karakternya terutama lewat tatapan mata, namun sangat sedikit yang bekerja dengan baik. Ini karena sejak awal kita sudah sulit untuk merasakan karakternya klik dengan cerita, konflik yang ia punya dengan Russell Crowe juga terasa datar, tidak ada ketegangan akibat waktu tampil bersama yang begitu minim. Motivasi Crowe sendiri tidak kuat, karakterisasi yang ia miliki tipis. Jessica Brown Findlay juga tampil mengejutkan, ia menjadikan karakter yang tidak jauh berbeda dengan yang ia mainkan di Downton Abbey terasa membosankan. Scene stealer menjadi milik Jennifer Connelly. 


Overall, Winter’s Tale adalah film yang tidak memuaskan. Sebuah kisah cinta antar zaman, seharusnya potensi besar itu mampu menciptakan ruang bermain yang begitu besar untuk mengekplorasi kreativitas dari materi-materi klise yang pasti hadir. Namun Akiva Goldsman mengambil langkah yang berbeda, ia ingin ini menjadi super sentimental, yang celakanya tidak ia sertai dengan sebuah pondasi yang kokoh, dari narasi, karakterisasi, hingga jalinan emosi dengan penontonnya. Jika anda bertanya apa yang menarik dari film ini, maka jawaban saya adalah kuda putih itu, kehadirannya tak pernah gagal mencuri atensi. Hanya itu.



0 komentar :

Post a Comment