23 February 2014

Movie Review: Pompeii (2014)


Coba lihat poster diatas, sepasang kekasih yang bercumbu ketika sebuah gunung sedang meletus. Ridiculous? Pasti, namun bukannya formula seperti itu menjadi sesuatu yang sangat ampuh untuk dijual? Hadirkan kisah romansa yang sangat menuntut permainan emosi diantara karakter, kemudian tempatkan mereka ditengah himpitan bencana yang dengan setia secara perlahan terus menebar ancaman. Opsinya hanya dua, hit or miss. Pompeii, when Gladiator stuck in Titanic.    

Ketika ia masih muda, Milo (Kit Harington) harus kehilangan seluruh keluarganya ketika pada tahun 62 sedang berjalan upaya membuka rute perdagangan dari kota Roma. Kala itu Milo menjadi satu-satunya korban selamat, walaupun pada akhirnya ia tertangkap dan kemudian menjadi budak, dan 17 tahun kemudian tumbuh menjadi seorang gladiator tangguh dengan julukan The Celt, dan menjadi jagoan di berbagai turnamen. Namun sebuah nasib baik menghampiri Milo ketika sedang berada dalam perjalanan menuju Pompeii dan berawal dari sebuah insiden terkait kuda penarik kereta.

Milo bertemu dengan Cassia (Emily Browning), putri cantik anak seorang pria terpandang di kota Pompeii bernama Severus (Jared Harris). Celakanya Cassia ternyata juga telah menjadi incaran dari seorang pria yang mencoba membuka jalan dengan menggunakan intrik politik dan investasi dengan Severus, Senator Corvu (Kiefer Sutherland), sosok penting bangsa Romawi, bangsa yang oleh Milo dan rekannya sesame gladiator, Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje), telah menjadi sasaran dari misi balas dendam mereka. Masalahnya adalah, ia harus memilih hal tadi atau cinta dibalik ancaman dari Gunung Vesuvius yang telah bergemuruh.


Mungkin hal pertama yang sebaiknya anda lakukan sebelum menyaksikan Pompeii adalah mencoba mencari tahu filmography dari sang sutradara, Paul W. S. Anderson, dan akan lebih mudah bagi mereka yang sebelumnya telah mencicipi karya Anderson. Ini masih sama, semua ciri khas dari Anderson bahkan kelemahan yang pernah saya tuliskan di Resident Evil: Retribution kembali hadir di disaster-adventure yang diambil dari kisah nyata ribuan tahun yang lalu ini. Monoton, itu yang utama, setelah itu kita akan masuk kedalam sebuah penceritaan yang berantakan selepas bagian pembuka, ditemani dengan berbagai humor yang gagal dalam eksekusi serta penempatan yang kerap kali kurang tepat, serta naskah yang dangkal berisikan karakter-karakter yang tidak mampu memberikan daya tarik.

Namun ada satu hal yang menarik disini, semua kelemahan tadi tampil dalam kuantitas yang dapat dikatakan jauh lebih minim jika dibandingkan dengan apa yang Paul W. S. Anderson berikan pada Mortal Kombat, Alien vs. Predator, Death Race, hingga Resident Evil. Ya, walaupun tetap saja menjadi sebuah hiburan yang jauh dari kata memuaskan namun dalam kapasitas super minim ada unsur fun yang secara mengejutkan hadir dalam kisah super predictable ini (ya, kita semua sudah tahu bagaimana nasib warga Pompeii akan berakhir), dan jika harus dibandingkan dengan film-film terdahulu miliknya Pompeii berhasil menjadi karya terbaik Anderson sejauh ini. Oke, sepertinya cukup untuk pembahasan singkat dari pergerakan positif yang diberikan Paul W. S. Anderson, mari mengurai plus dan minus film ini.

Sebenarnya ide cerita yang dibangun oleh Janet Scott Batchler, Lee Batchler, dan Michael Robert Johnson terasa cukup tepat, dimana ketimbang menggambarkan bagaimana peristiwa erupsi gunung Vesuvius terjadi mereka justru menaruh fokus pada drama romantic terkait sebuah perjuangan cinta terlarang antara dua insan yang harus terpisahkan kelas sosial, dan kemudian menaruh bencana tersebut sebagai variabel pendukung yang selalu menghantui alur cerita dan terasa seperti sebuah alarm yang siap berdering kencang. Familiar bukan? Ya, Titanic. Namun perbandingan diantara keduanya cukup sampai pada batas kesamaan konsep yang diusung, karena pada sisi eksekusi apa yang di hasilkan sangat jauh berbeda.


Sama seperti apa yang diberikan James Cameron pada Jack Dawson, di paruh pertama kita akan diajak untuk melihat perjuangan Milo sebagai fokus utama, seraya turut membangun elemen cerita lainnya dengan gerak cepat. Nah, disini masalahnya, semua materi pada sektor cerita seperti coba dikemas dengan sangat sederhana, baik itu terkait konflik yang melibatkan pemerintahan, hingga jalinan emosi diantara dua tokoh utama. Hasilnya, ini hambar, datar, drama percintaan yang seharusnya mencuri posisi terdepan justru tampak seperti sekumpulan boneka tanpa nyawa yang bersiap menghadapi ajal mereka. Tidak ada simpati, kita tidak peduli pada nasib mereka, mereka tidak mampu memanfaatkan kondisi dari letusan yang secara sengaja telah ditunda sekuat tenaga itu.

So, ketika gunung itu meletus, kondisi yang seharusnya penuh rasa haru itu justru terasa hampa, bahkan ketika momen itu tiba saya harus tertawa ketika mendengar seorang penonton berkata “wah, semuanya mati” dengan nada sarkasme. Seharusnya ini menjadi sebuah gambaran bagaimana warga Pompeii mengisi kehidupan mereka sebelum letusan, untuk menarik empati penonton, bukannya justru masuk kedalam narasi super sempit yang dipenuhi omong kosong dan hal cheesy dan pada akhirnya justru hanya mencoba membuka jalan bagi kehadiran adegan aksi over the top. Sudah tahu ini film yang bodoh, lantas mengapa anda mengharapkan sesuatu yang pintar pada cerita?

Pertanyaan tadi mungkin akan hadir. Memang benar ini dapat menjadi hiburan bodoh yang menyenangkan, namun yang menjadi masalah adalah cerita romansa itu yang merenggut kesenangan potensial tersebut, hal yang sebenarnya menjadi nilai plus bagi Pompeii dan mungkin menjadi sumber utama unsur fun, terlebih pada gunung berapi dan tsunami. Dari divisi akting bahkan tidak ada yang tampil dalam kapasitas yang baik, semua datar. Tidak ada chemistry yang menjadi hal wajib pada tipikal cerita seperti ini dari Kit Harington dan Emily Browning, mereka tidak punya ruang akibat script yang kacau. Bahkan Kiefer Sutherland yang diberikan tugas menjadi sisi hitam tidak tampil baik, ia mencoba serius namun jatuhnya menjadi sesuatu yang terasa lucu.


Overall, Pompeii adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah perjuangan bertemakan cinta dalam menghindari kematian sesungguhnya menjadi sebuah materi yang sangat potensial untuk dijual, namun dengan syarat mampu memberikan nyawa pada karakter dan cerita serta menarik atensi, simpati, dan empati penonton pada mereka. Itu yang tidak dimiliki oleh Pompeii, aksi menunggu dalam kisah berbelit-belit tanpa dinamika yang mumpuni, dengan unsur fun yang sangat minim. Paul W. S. Anderson mengambil langkah yang tidak tepat, berupaya menggambarkan sebuah kisah yang menuntut permainan emosi dibalik penggunaan formula style over substance. Miss.



0 komentar :

Post a Comment