09 December 2013

Movie Review: Mood Indigo (2013)


Mengapa sebuah film yang mengusung lebih dari dua genre tampak sangat menarik? Jawabnya sederhana, karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka punya rasa percaya diri yang kuat. Tidak perlu terlalu jauh, contohnya tahun lalu ada Silver Linings Playbook dan Moonrise Kingdom yang mampu melebur komedi, drama, dan romance menjadi sebuah kemasan yang mengasyikkan. Film ini punya tiga unsur tadi, dan menambahkan fantasi didalamnya, Mood Indigo (L'Écume des jours), when Michel Gondry lost in his fantasy.

Colin (Romain Duris) adalah seorang pria yang sangat sangat beruntung. Ia kaya, tidak perlu bekerja, dan mengisi kesehariannya dengan menikmati makanan lezat dan “aneh” yang dibuat oleh pembantunya Nicolas (Omar Sy), bermain pianocktail (piano yang dapat membuat cocktail), dan bercengkrama bersama sahabatnya Chick (Gad Elmaleh), pria yang kemudian menjadi sumber perubahan pada diri Colin lewat pengakuannya bahwa ia jatuh cinta dengan Alise (Aïssa Maïga), wanita yang punya kesamaan dengannya, Jean-Sol Partre.    

Colin merasa iri, akhirnya bertekad untuk juga mencoba menemukan cintanya, dan lewat bantuan Nicolas ia menghadiri sebuah pesta ulang tahun anjing dari sahabatnya. Disana Colin bertemu dengan Chloé (Audrey Tautou), wanita yang secara mengejutkan punya kesamaan dengan Colin, Duke Ellington. Kisah asmara penuh kebahagian itu berlanjut hingga jenjang pernikahan, namun keindahan tersebut menghadapi cobaan akibat suatu peristiwa yang berkaitan dengan bunga lily air.


Lagi dan lagi Michel Gondry kembali membuktikan bahwa ia adalah salah satu insan perfilman dengan daya khayal yang mengagumkan. Ya, Gondry adalah seorang pendongeng yang imajinatif, bahkan jika sedikit dipersempit dan hanya berbicara unsur fantasi, Mood Indigo adalah hiburan yang spektakuler. Ini bukan hanya fantasi pada sektor cerita seperti yang pernah ia berikan pada Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Mood Indigo juga menjadi arena dimana Gondry bermain dengan fantasi visual yang dapat dengan mudah membuat penontonnya bergumam “sick”, “gila”, “keren”, dan lain sebagainya.

Dari sisi imajinasi Mood Indigo mengagumkan, seperti menyaksikan dunia nyata yang kemudian berisikan berbagai hal aneh yang jika menggunakan logika sangat tidak mungkin terjadi. Sebut saja ikan mati dan telah matang namun dapat menari di atas piring, koki di acara televisi yang dapat menjulurkan tangannya keluar, spider alarm, kendaraan berbentuk awan, hingga perpanjangan kaki kala menari. Random, dipaksakan, namun mereka selalu menjadi pemandangan yang bukan hanya berhasil menyihir dan membuat penontonnya kewalahan, namun turut menyebabkan mereka bingung dan bertanya apa yang baru saja mereka lihat diiringi senyuman.

Ya, paruh pertama Mood Indigo bahkan dapat dikatakan menjadi salah satu yang terbaik di tahun ini. Hal tersebut dikarenakan pada bagian itu Michel Gondry masih fokus memamerkan keahlian teknis yang ia punya, menghadirkan berbagai hal aneh, dangkal, childish, dan tidak logis kedalam bentuk tipuan yang cantik dan mengasyikkan, limpahan hal gila yang bergerak cepat. Penonton seperti diajak untuk terbang tinggi dalam imajinasi, namun yang menjadi masalah ada sebuah pergeseran warna yang punya peluang cukup besar untuk mengejutkan. Daya tarik yang telah terbang tinggi itu kemudian harus terjun bebas, tampilan dangkal dan penuh kegembiraan itu berubah menjadi melankolis, warna cerita menjadi gelap (sama gelapnya dengan visual yang memilih tampil hitam putih), dan menekan unsur drama untuk menggantikan komedi menemani romance.

Yang menjadi masalah disini adalah Michel Gondry tahu ia akan menghadirkan transisi dalam cerita, namun ia seperti lupa (jika tidak ingin disebut tidak mau) membekali karakter yang ia miliki, yang di paruh kedua memegang peranan penting, dengan kedalaman emosional yang mumpuni. Akibatnya, setelah asyik bermain dengan fantasi, cerita yang ia tulis bersama Luc Bossi berdasarkan novel yang berjudul Froth on the Daydream karya Boris Vian itu kemudian hanya sibuk mengembangkan karakter yang dangkal, yang kemudian menjadikan tema kehidupan, cinta, dan kematian terasa sangat tidak bernyawa ketika ia hadir dalam diam, tidak ada depresi dan kehancuran yang meyakinkan.

Sederhananya Gondry tidak mampu menciptakan keseimbangan yang kokoh antara fantasi dan emosi. Ia sedikit ceroboh dan lepas kendali di paruh pertama, dan harus berjuang keras di paruh kedua. Mood Indigo mengalami apa yang hendak ia gambarkan, ia punya sisi terang yang hidup, baik itu pada dinamika cerita, daya tarik, dan karakter, namun ia juga punya sisi gelap, dimana daya tarik pada cerita dan karakter perlahan mati. Hal yang sama dialami Romain Duris dan Audrey Tautou, karakter mereka seperti kehilangan arah dan tujuan. Tugas mereka sebagai objek observasi cinta juga kurang berhasil akibat chemistry yang tidak begitu kuat sejak awal.


Overall, Mood Indigo (L'Écume des jours) adalah film yang cukup memuaskan. Ini seperti menyaksikan sebuah petualangan tentang kehidupan yang dibagi secara frontal menjadi dua bagian. Visual penuh hal aneh dan gila yang menyenangkan di paruh pertama, kemudian drama melankolis di paruh kedua. Sayangnya Michel Gondry tidak mampu menghadirkan transisi yang mumpuni diantara keduanya, sehingga daya tarik di paruh pertama tidak ikut berpindah ke paruh kedua.  









Screened at Festival Sinema Prancis 2013

0 komentar :

Post a Comment