08 December 2013

Movie Review: Cutie and the Boxer (2013)


"We are like two flowers in one pot."

Tidak heran zaman sekarang banyak orang yang memilih tidak menikah terlalu muda, karena jika dahulu kala pernikahan ibarat sebuah kewajiban, sebuah garis finish penuh sukacita yang menandakan seseorang tinggal menyisakan satu kewajiban lagi di dunia, sekarang ini banyak orang tidak hanya berpikir bahwa pernikahan adalah petualangan terakhir yang hanya memerlukan tanggung jawab, namun juga perlu mental yang kokoh, karena akan banyak misteri yang mereka jumpai. Cutie And The Boxer bermain di isu tentang misteri tersebut, marriage, struggle, loyalty.

Semasa mudanya Ushio Shinohara adalah salah satu sosok seniman asal Jepang yang sangat terkenal. Pria ini punya jiwa yang kuat dan penuh energi, semangat yang ia miliki dapat dengan mudah terlihat dalam lukisan di kanvas besar yang mengesankan, namun ternyata di balik itu Ushio ternyata adalah sosok yang, well, cukup buruk. Ushio adalah tipikal pria yang selalu mengandalkan pride di baris terdepan. Ia sombong, ia merasa sebagai sosok yang jenius dan semua orang harus membantunya. Itu pula yang ia terapkan dalam pernikahan, sebuah sistem yang selalu punya jawaban sederhana, “karena aku adalah suami.”

Wanita kurang beruntung itu adalah Noriko Shinohara, berusia 21 tahun lebih muda dari Ushio, juga seorang seniman. Noriko jatuh hati pada Ushio karena sikap terbuka yang ia tunjukkan padanya, dan kemudian rela membantu Ushio, tetap setia bahkan ketika harus diusir oleh orang tuanya. Namun sayangnya Noriko yang sebenarnya berasal dari keluarga yang kaya, perlahan harus kehilangan kesempatannya dalam mengekspresikan seni setelah bersama Ushio, bahkan ia perlahan mulai merasa bukan lagi sebagai seorang istri namun sebagai free assistant, free secretary, hingga free chef.


Anda pasti akan memiliki penilaian yang sama dengan saya ketika melihat poster yang ia usung, dua sosok lanjut usia yang ternyata merupakan pasangan suami istri, ini pasti adalah sebuah dokumenter tentang seni melukis. Itu benar, dimana sepanjang film kita akan berputar di sekeliling materi penuh seni artistik pada sebuah studio yang berantakan di kawasan kumuh Brooklyn , New York, dari motor raksasa yang diciptakan menggunakan bubur kertas, kumpulan cat dengan komposisi liar dalam kanvas hasil pukulan dari Ushio seperti sedang bertinju, hingga rangkaian gambar hitam putih hasil curahan perasaan seorang Noriko. Ini dangkal di kemasan luar, namun ada sesuatu yang jauh lebih dalam dibaliknya, potret sebuah pernikahan yang dingin dan hangat secara bersamaan.

Menyaksikan Cutie And The Boxer seperti menyantap dua makanan dengan rasa yang bertolak belakang. Pertama, hadir sebuah hubungan manis yang hampir berusia satu dekade, saling memahami, penuh perhatian, sebuah kisah cinta yang dengan mudah sanggup membuat penontonnya mengagumi cinta dari dua tokoh utama sejak awal hingga akhir. Namun disisi lain kita akan disajikan sisi pahit dari kisah cinta sebagai variabel pembanding, lewat sebuah tampilan animasi yang justru menguak fakta sesungguhnya dari Ushio dan Noriko, perpaduan sikap sabar istri, arogansi suami. Sulit untuk menggabungkan hitam dan putih agar tidak saling membunuh, namun Cutie And The Boxer berhasil melakukan itu.

Penuh dengan cat berwarna yang membuai hingga akhir, Cutie And The Boxer justru menyimpan sebuah warna gelap dari kisah cinta yang telah berjalan dalam periode yang sangat lama. Zachary Heinzerling dengan cermat membawa penontonnya masuk kedalam sistem sebuah asmara yang klasik, saling membutuhkan, saling mendukung, namun tahu menempatkan sudut pandang pada betapa rumitnya cinta kedalam cerita. Disini sangat jelas terlihat perjuangan dan pengorbanan dalam sebuah relationship, kita melihat bagaimana seorang artis kini hidup sederhana, diberikan gambaran dari kesuksesan yang pernah ia capai lewat arsip rekaman, kemudian dibalut bersama fakta dari tampilan penuh ketenangan dari Noriko yang selama ini merasa tidak diberikan kesempatan untuk dapat berdiri sejajar dengan suaminya.

Cutie And The Boxer adalah observasi pada kompleksitas sebuah hubungan dengan cara yang lucu, jujur, namun juga provokatif. Bukan hal yang baru memang, namun yang menarik adalah kemampuan Zachary Heinzerling untuk menggambarkan misteri dari sebuah pernikahan secara seimbang. Biografi memilukan ini bukan hanya semakin membuat penontonnya menghargai pekerjaan seniman, namun juga semakin mempertebal pandangan penonton pada apa arti sesungguhnya dari kombinasi antara kehidupan dan cinta. Hal tersebut berhasil karena Zachary Heinzerling seperti memberikan kesempatan pada kita untuk seolah menjadi anggota keluarga lainnya didalam apartement yang sempit itu, perlahan seperti terjebak dalam konflik, semakin simpati pada tokoh, semakin intim dengan mereka.

Ya, ini sangat intim, namun juga bergerak cekatan, ada dinamika cerita yang penuh energi. Itu menyebabkan isu tentang persamaan gender yang telah ia tetapkan sejak awal tidak pernah kehilangan atensi, dimana kasih sayang bersama Noriko terus menjadi pusat ditengah kepungan rasa bahagia, sedih, kesal, hingga kecewa. Semakin menarik karena keputusan Zachary Heinzerling untuk bermain aman semakin membuat kemasan ini terasa padat, kekejaman yang dibentuk dengan halus itu tidak terkesan overdo, begitupula dengan sisi mellow. Tidak adanya rasa canggung antara Noriko dan Ushio untuk mengekspresikan perasaan mereka di depan kamera juga patut di apresiasi, yang menjadikan jawaban Noriko atas pertanyaan “Cutie hates Bullie?” seperti kombinasi gula dan garam, senyum dan sedih.


Overall, Cutie And The Boxer adalah film yang memuaskan. Ini adalah salah satu film paling mengejutkan di tahun ini, tidak megah memang, namun Zachary Heinzerling berhasil menghadirkan kombinasi hitam dan putih dari sebuah pernikahan dengan seimbang dan kuat, dan hebatnya tetap mampu menyampaikan sebuah pesan sederhana yang ia usung dengan efektif, beside love, you can make your small marriage became a royals with just using one simple thing, loyalty.



0 komentar :

Post a Comment