13 November 2013

Movie Review: Last Vegas (2013)


"You can't tell women who to love."

Ada begitu banyak hal yang tidak dapat anda beli dengan uang, salah satunya adalah relationship (tidak peduli itu cinta dua arah ataupun persahabatan) yang sudah berjalan dan terus bertahan dalam rentang waktu yang sangat lama. Ya, sangat mengagumkan ketika hal tersebut sudah bermain dalam hitungan dekade, penuh gesekan namun selalu ada tawa. Last Vegas mencoba menggambarkan hal tersebut, ketika Sex and the City dan The Best Exotic Marigold Hotel berkombinasi bersama Grown Ups, kemudian berjalan dengan cara The Hangover.

Billy (Michael Douglas), seorang jutawan yang sangat terkenal, akhirnya memutuskan untuk menikahi wanita berusia 30-something yang ia cintai, walaupun sebenarnya ia belum berpikir ke arah tersebut, hanya karena sebuah blunder yang terjadi kala ia memberikan pidato pada pemakaman sahabatnya. Sebuah ritual wajib tidak mau ia lewatkan, bachelor party, mengumpulkan kembali tiga sahabat lamanya dimana mereka dahulu terkenal dengan julukan The Flatbush Four, di Las Vegas. Yang menjadi masalah disini adalah fisik mereka tidak lagi muda.

The Flatbush Four kini adalah empat orang pria berusia 60-something dengan banyak problema. Archie (Morgan Freeman), mantan prajurit yang baru mengalami stroke, Sam (Kevin Kline), pria humoris yang tidak bisa lagi memuaskan istrinya, dan Paddy (Robert de Niro), duda yang selalu mengisi harinya dengan wajah muram sembari duduk dan memandangi foto mantan istrinya. Celakanya pesta yang mereka harapkan hanya sebatas menjadi ajang reuni penuh kegembiraan itu ternyata memberikan makna dan dampak yang jauh lebih besar bagi kehidupan mereka.    

Judulnya memang unik, bahkan poster yang ia usung dengan menaruh empat aktor peraih Academy Awards bergaya bak Il Divo yang siap beraksi ditemani taglines “It's going to be legendary” itu juga sulit ditampik mampu menarik perhatian, namun dibalik itu pada dasarnya Last Vegas hanyalah sebuah komedi standard. Benar, standard, namun yang mengejutkan adalah dibalik status tersebut ia tidak jatuh menjadi sebuah hiburan tanpa makna, Last Vegas masih punya tujuan utama dibalik kekacauan mondar-mandir yang ia ciptakan.

Last Vegas sukses membuktikan tidak ada batasan dalam kehidupan untuk belajar, empat orang pria lanjut usia, sudah penuh dengan pengalaman hidup, harus masuk kedalam sebuah petualangan selama dua hari yang membuat mereka sadar bahwa ada sesuatu yang salah dari apa yang selama ini mereka lakukan. Sayangnya Last Vegas mungkin akan menemukan rintangan yang cukup kuat untuk dapat menjangkau serta memuaskan penonton muda/remaja (tidak begitu yakin pula apakah film ini memiliki sasaran penonton seluas itu), walaupun ia sudah berupaya dengan menyuntikkan banyak referensi kultur modern, kontes bikini, penuh belahan dada di banyak adegan, pesta dan seks, hingga kehadiran 50 Cent dan RedFoo.

Yap, ini terasa seperti versi yang lebih ringan dan jauh lebih ceria dari Stand Up Guys, ia sempit, dangkal, sedikit bodoh, dari segi cerita juga tidak begitu memukau, namun anehnya tetap mampu membuat penontonnya agar tidak mengalihkan fokus mereka untuk menemani petualangan para kakek ini karena penampilan cast yang jauh dari kesan buruk, konflik menarik yang kompleks namun tenang antara Paddy dan Billy, serta Dumb and Dumber dalam sentuhan yang sedikit lebih halus pada kombinasi Archie dan Sam yang tampil memikat.

Walaupun predictable, Last Vegas juga cukup berhasil menggambarkan arti sebenarnya dari best friends forever, dan uniknya dijalankan bersama lelucon-lelucon yang sangat klasik dalam kadar berhasil dan gagal yang berimbang, dari berjudi hingga bertengkar, berpadu bersama elemen visual yang dibentuk cukup dinamis, mampu menutup sedikit nilai minus yang diciptakan oleh bagian cerita. Ya, cerita punya banyak minus, bergerak terlalu datar, penuh gimmick yang sangat familiar, tidak mau mencoba untuk menggali lebih dalam pada beberapa titik yang sesungguhnya punya potensi untuk tampil jauh lebih menarik dari eksekusi yang ia berikan.

Tapi dibalik kekacauan yang ia ciptakan Last Vegas masih ingat dengan tujuan utamanya, menyampaikan isu tentang persahabatan, cinta, serta keluarga dengan cukup baik, meskipun terkesan menggurui, kurang manis, terlalu dangkal karena keputusan untuk bermain aman. Dan Fogelman dan Jon Turteltaub seperti tidak mau melakukan perjudian yang terlalu beresiko, memilih bermain sangat aman dalam membentuk konsep yang mereka punya dengan menggunakan formula yang sudah ada. Mereka bahkan terkesan terlalu menggantungkan keberhasilan film ini pada performa empat aktor utama, untungnya perjudian mengandalkan karakter itu sedikit berhasil.

Divisi akting menjadi faktor penyelamat. Secara individual empat aktor kawakan itu mampu membangun konflik mereka masing-masing untuk dapat memperoleh atensi penontonnya, sekecil apapun itu. Robert De Niro yang terjebak dalam bayangan almarhum istrinya, Morgan Freeman yang mencari kebebasan karena pengawasan ketat keluarganya, Michael Douglas yang masih berjalan bersama rasa bimbang akan cinta, hingga Kevin Kline yang dinilai oleh sang istri tidak lagi memiliki gairah dalam kehidupannya. Karisma dan pesona mereka tidak dapat terelakkan, yang uniknya saling mengisi satu sama lain ketika mereka bersatu. Mary Steenburgen juga berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.

Overall, Last Vegas adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah kemasan standard yang berpegang teguh pada template dasar komedi khas Hollywood, tidak mencoba menjadi sajian memorable, dan berhasil menyajikan kehangatan tentang cinta dan persahabatan. At least ini tidak sepenuhnya menjadi komedi yang tanpa arah dan penuh omong kosong, ada hal menarik yang dapat dipetik pada akhir cerita dari sebuah kekacauan random yang cukup menyenangkan.



2 comments :