06 November 2013

Movie Review: Ender's Game (2013)


“In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him.”

Tentu saja bukan merupakan hal yang tabu jika sebuah film memiliki begitu banyak ide yang ingin ia tampilkan, itu justru menarik, namun dengan satu syarat mutlak dimana ia harus di eksekusi dan dikombinasi dengan tepat. Ender’s Game adalah contohnya, punya banyak ide dan isu dan yang cantik, dari unsur politis, sosial, peperangan, hingga hal sederhana seperti bullying. Ender’s Game, seperti terjemahan baku, adalah permainan milik Ender. This is not a game!! Really?

Pada tahun 2086 satu spesies bernama Formics berhasil masuk kedalam bumi dan melancarkan misi untuk mengambil alih kontrol pada umat manusia. Untungnya kala itu ada seorang pilot bernama Mazer Rackham (Ben Kingsley) yang mengambil langkah heroik dan menjadikan ia sebagai seorang legenda. Tepat 50 tahun kemudian sistem pelatihan militer mulai diterapkan, sebagai upaya antisipasi. Konsepnya adalah mengumpulkan semua anak-anak yang dianggap berbakat dan cerdas dalam menghadapi perang. Salah satu dari mereka adalah Andrew Wiggin (Asa Butterfield), anak muda berperawakan tenang yang lebih dikenal dengan nama Ender.    

Bermula dari permainan game, ia kemudian harus menerima fakta bahwa alat pengawas yang tertanam dalam tubuhnya harus dicabut. Ender mengira hal tersebut adalah sebuah hukuman, namun dibalik itu ternyata selama ini ia telah berada dalam pengawasan Kolonel Graff (Harrison Ford) dan Major Gwen Anderson (Viola Davis), dua sosok dari International Fleet, yang kemudian menawari Ender untuk bergabung dengan Battle School. Alasannya sederhana, Ender punya karakter yang selama ini mereka cari, sosok yang mereka percaya punya kemampuan untuk memimpin pasukan menyelamatkan dunia.


Sedikit terkejut di bagian awal dimana Gavin Hood seolah berbisik kepada anda bahwa film ini akan menjadi sebuah hiburan yang jauh lebih menarik dari ekpektasi awal yang anda pasang. Sumbernya adalah kemampuan Gavin Hood dalam mengemas konsep cerita yang ia adaptasi dari novel berjudul Ender's Game, karya Orson Scott Card, rilisan tahun 1985. Yap, uniknya disini, dimana ide yang sudah berumur hampir tiga dekade itu ternyata berhasil diolah agar tetap menjauh dari kesan usang dan kuno. Menggunakan inti pada tema kepemimpinan, seeking leaders, hadir dengan warna cerita yang sedikit gelap dan serius, berkombinasi dengan visual yang mumpuni, ini adalah sebuah permainan yang menyenangkan, pada awalnya, bahkan singkat.

Yap, ini sangat sangat menarik pada awalnya karena saat itu anda hanya akan diberi sebuah skema sederhana dari A menuju B, mengumpulkan anak-anak muda untuk menyelamatkan dunia. Hal yang berbeda justru terjadi setelah lepas dari bagian tersebut, mulai ditemani oleh ide-ide serta isu-isu yang menarik, tapi celakanya tidak di eksekusi dengan cara yang sama menariknya. Mereka menumpuk, pertanyaan dan pernyataan seperti dipaksa masuk namun tidak mampu disajikan dengan tepat bersama alur cerita dan karakter. Dampaknya bahaya yang mengancam dunia tidak terasa, ketegangan berada di level yang tidak memikat, ya ini benar-benar seperti menyaksikan sebuah permainan, anda dapat pause dan resume sesuka hati tanpa memberikan efek yang merusak.

Kelemahan utama Ender's Game adalah sejak awal ia tidak mampu menciptakan pondasi yang kokoh pada alasan dibalik pemilihan serta betapa pentingnya kumpulan anak-anak yang di latih untuk menjadi prajurit itu bagi dunia, padahal kita juga diberi tahu bahwa disekitar mereka masih eksis pahlawan dewasa yang secara logika masih dapat melakukan pertarungan tanpa kontak fisik tersebut, bahkan salah satu dari mereka juga menjadi sumber dari ide yang digunakan oleh Ender. Hal tersebut secara tidak langsung menjadikan para karakter muda tersebut terasa kurang berharga, sehingga momen hitam dan putih yang mereka alami terkesan biasa, tidak ada dinamika emosi bernada serius yang memikat sehingga sulit bagi penonton untuk ikut bersimpati pada aksi yang sebenarnya secara implisit coba dijadikan sarana untuk menginspirasi.


Nilai minus tadi belum menghitung sikap dari tim produksi yang sepertinya sejak awal ingin memberikan status gantung pada film ini. Tidak begitu jauh dari garis start Ender’s Game sudah tampak layaknya sebuah paket umpan, terkesan seperti pembuka jalan semata bagi potensi kehadiran film kedua. Itu menjadikan film ini terkesan kurang total baik di bagian cerita dan karakter, sering kali menahan dengan sangat kuat materi yang ia punya, menghadirkan alur yang memang bergerak cepat namun tidak mengembangkan luas cerita, mencoba memperluas waktu durasi dengan mengisi beberapa bagian menggunakan ide-ide tentang strategi dan manipulasi tapi sayangnya menjadikan porsi mereka terasa sedikit over.

Hasilnya, sangat mudah menilai Ender’s Game sebagai film yang tidak seimbang, hampir 80% durasi dipakai untuk membangun cerita dan karakter utama. Ini menjadikan bagian konklusi yang dihadirkan seperti dikebut, padahal sejak awal ia sudah gagal dalam menghadirkan tekanan dari sisi hitam dengan absennya sosok antagonis yang tampak seperti coba dijadikan sebuah misteri namun tidak dibentuk dengan menarik. Ketidakseimbangan itu juga hadir akibat keputusan memberi atensi yang sedikit banyak pada subplot yang sebenarnya hanya menyandang status pedukung, cukup menyita durasi dengan fokus pada saudara Ender yang bernama Valentine (Abigail Breslin), bukan hanya hadir dan memadatkan konflik namun ikut menggerus kualitas dari dua konflik utama.

Nilai plus Ender's Game secara mengejutkan muncul dari divisi akting. Asa Butterfield memang tidak memukau, namun kembali memberikan performa yang cukup solid, walaupun kurang mampu membangun chemistry multi arah yang memikat bersama Abigail Breslin, Hailee Steinfeld yang berperan sebagai Petra Arkanian, serta Harrison Ford. Harrison Ford sendiri sepertinya harus lebih cermat memilih project karena disini ia tidak dapat ruang ekspresi yang besar dan bebas. Film ini juga menyadarkan saya betapa besar pengaruh The Kings of Summer bagi Moises Arias, setiap kali ia muncul saya selalu bergumam Biaggio, bukan Bonzo.


Overall, Ender's Game adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah sci-fi dasar dengan warna cerita yang gelap, punya efek CGI yang cukup manis, akting yang mumpuni, namun rusak akibat script yang kurang mampu membangun konsep yang sesungguhnya sangat menarik. Ini mungkin akan mengasyikkan jika sejak awal anda hanya mengharapkan sebuah sajian yang mengupas proyek dengan basis militer, bukan sebuah misi menyelamatkan bumi dari kehancuran. Tidak ada dinamika cerita yang memikat, terlalu stabil, hampir membosankan, menjadi petualangan menyenangkan ia tidak mau, menjadi kisah yang inspiratif ia tidak mampu.



4 comments :

  1. gw juga udah mengira film ini ngga begitu memikat. thanks min,

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Tadi abis nonton, saya sendiri belum pernah baca novelnya.
    Setelah menyaksikan filmnya,IMO cerita endler game sangatlah menarik dan kompleks. Ceritanya punya sangat banyak unsur, banyak moment moment yang seharusnya bisa sangat menyentuh.
    Cuman sayang terkesan filmnya tidak digarap dengan serius, pelatihan remaja (anak-anak?) tidak begitu terasa, masih terasa kayak pramuka saja.
    Ikatan emosi antara Ender dan Valentine terlihat sekedarnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar banget, emosi dan tensi dari cerita kurang hidup, twist yang seharusnya mengejutkan malah terasa datar.

      Thanks kunjungannya Ahmad. :)

      Delete