19 July 2013

Movie Review: Red 2 (2013)


RED (Retired, Extremely Dangerous), merupakan sebuah kejutan yang hadir tiga tahun lalu. Masuk dalam nominasi Golden Globes, meraih pendapatan tiga kali lipat dari budget, namun disisi lain tidak mendapatkan respon positif dari banyak kritikus. RED 2 berupaya untuk meneruskan “kesuksesan” yang telah diciptakan pendahulunya tersebut, masih dengan formula yang sama bersama unsur kejutan yang sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan berita kehadirannya dua tahun lalu.

Frank Moses (Bruce Willis), kini telah menjalani kehidupan normalnya bersama Sarah Ross (Mary-Louise Parker), dan membuat keputusan yang terdengar familiar, tidak ingin lagi melakukan comeback, meskipun telah dibujuk oleh sahabatnya Marvin Boggs (John Malkovich). Namun ketika ia menjauhi masalah, justru masalah yang mendekati Frank. Dirinya beserta Marvin ternyata telah menjadi buronan, dan masuk dalam sebuah kasus senjata nuklir yang merupakan bagian dari proyek Perang Dingin.

Untuk membersihkan nama mereka, Frank dan Marvin memutuskan untuk mencari sosok yang tahu lokasi dari bom nuklir tersebut yang memaksa mereka berkeliling dunia dari USA, UK, Paris, hingga Moskow. Celakanya ada dua kubu yang telah menjadikan mereka sebagai target utama dengan ancaman nyawa, Victoria Winters (Helen Mirren), wanita pensiunan yang dikontrak oleh MI6, serta Han Jo-Bae (Lee Byung-hun), pembunuh kejam dengan dendam pribadi.


Meskipun mengusung angka 2 pada judulnya, RED 2 tidak menghadirkan sebuah kesulitan berarti bagi penonton yang belum menyaksikan film pertamanya. Namun hal berbeda justru mungkin terjadi pada mereka yang telah menyaksikan RED, memasang ekspektasi yang tidak begitu tinggi sembari berharap kisah para pensiunan tua ini dapat bergerak kearah positif dari segi cerita, bukan hanya sekedar menjadi sebuah popcorn movie tanpa otak pengeruk keuntungan semata. Tapi fakta yang terjadi justru bertolak belakang, RED 2 adalah sebuah penggambaran dari keras kepala para sosok penting dibelakang layar.

Sebenarnya RED 2 dibuka dengan cukup manis, terutama pada cara Dean Parisot memasukkan kembali karakter Frank dan rekannya kedalam sebuah konflik spionase global, adegan aksi bersama butiran peluru, dibalut bersama joke-joke yang mampu bekerja dengan baik. Walaupun tidak berdampak positif pada ekspektasi awal, setidaknya bagian pembuka mampu memberikan sebuah tampilan menjanjikan yang cukup berhasil melepaskan diri dari pendahulunya. Tapi alih-alih menjadi petualangan yang menyenangkan, RED 2 justru masuk kedalam kesalahan yang sama, formula yang sama.

Ketika anda telah sadar bahwa formula yang digunakan masih sama, image dari film ini secara spontan akan bergerak kearah negatif, ya, jika. Jon Hoeber dan Erich Hoeber seperti melakukan copy paste dari script yang pernah mereka tulis, dan melakukan modifikasi yang sayangnya tidak merubah cita rasa script tersebut. Premis yang sempit tentu bukan menjadi masalah besar dari tipe film seperti ini, namun bagaimana cara ia berkembang yang justru tampil menjengkelkan, terutama pada plot cerita yang ketimbang menjadi sebuah misi menyelamatkan dunia justru terlihat lebih mirip sebuah wisata keluarga dengan taruhan nyawa. Karakter seperti dikebut, antagonis tidak total, protagonist tampil setengah hati, dimasukkan kedalam script dengan struktur yang tidak rapi, bergerak cepat selaras dengan dialog yang dipenuhi sindiran lucu serta one punch joke.


Keberhasilan diraih dengan menutup semua kesalahan yang pernah dilakukan, bukan malah mengulangi kesalahan tersebut. Lorenzo di Bonaventura sepertinya tidak peduli dengan hal tersebut, dan tetap memilih untuk menjadikan RED 2 persis seperti film pertamanya, yang celakanya mungkin akan terasa basi bagi mereka yang telah bosan dengan formula familiar tanpa eksekusi mumpuni seperti ini. RED 2 adalah kemasan yang dipaksakan. Film ini seperti sebuah puzzle yang coba disatukan dengan paksa untuk menjadikan kisah yang ia miliki tampak kompleks dan rumit, namun sayangnya justru menjadikan ia tampak konyol.

Tampil mumpuni di 15 menit pertama, RED 2 berubah menjadi sebuah aksi spy penuh kekonyolan yang kurang penting. Banyak dari mereka yang kehadirannya dengan jelas tampak dipaksakan, hanya untuk menciptakan ruang untuk kehadiran tampilan visual dalam bentuk ledakan, aksi saling tembak, serta aksi kejar-kejaran mobil. Kekacauan ini semakin besar ketika film ini mulai berganti identitas, dari sebuah film laga berbalut komedi, menjadi sebuah film komedi dengan suguhan aksi laga, mulai tampak tidak serius, tensi cerita terus turun, dan menjadikan aksi kejar, humor, hingga romance terasa hambar, dan menggelikan.

Namun at least RED 2 tetap mampu bergerak maju, walaupun hanya satu dari maksimal sepuluh. Hal tersebut berkat kinerja dari para aktor yang ia miliki. Kunci film ini bukan Willis, tapi John Malkovich yang terus mampu memberikan warna segar di setiap kehadirannya di layar. Tidak ada yang special dari Willis, begitupula dengan Mirren yang tetap tampil menarik meskipun punya materi yang miskin. Yang mengejutkan justru Mary-Louise Parker yang mampu hadir sebagai sosok menjengkelkan, serta Anthony Hopkins dengan misteri dibalik ketenangan yang ia tampilkan. Sedangkan Catherine Zeta-Jones (Katja) dan Lee Byung-hun murni sebagai pemanis belaka.


Overall, RED 2 adalah film yang kurang memuaskan. Meskipun telah menaruh ekspektasi yang tidak begitu tinggi, film ini tetap tidak mampu mencapai level tersebut. Ini adalah kemasan daur ulang dari film pertamanya, dengan konflik yang telah diperbaharui. Formulanya masih sama, hasilnya pun masih sama. RED 2 adalah sebuah kisah petualangan liburan keluarga yang bahkan cukup sulit untuk menyandang predikat popcorn movie yang menyenangkan.



0 komentar :

Post a Comment