24 May 2013

Movie Review: Epic (2013)


Film ini seperti tidak perlu sebuah upaya yang begitu besar untuk meyakinkan para calon penontonnya. Trailer yang dibentuk cukup menjanjikan, jajaran pengisi suara yang dengan mudah akan mencuri perhatian dari Pitbull hingga Steven Tyler, hingga judul yang ia usung, seperti menunjukkan sebuah rasa percaya diri yang begitu tinggi pada kualitas paket yang ia miliki. Namun Epic bukan karya DreamWorks, apalagi Pixar. Blue Sky Studios, mereka (hanya) punya Rio yang menarik, selain itu hanya ada Ice Age series yang kita tahu bersama kualitasnya.

Ceritanya ternyata sangat klasik, jauh dari tingkat ekpektasi yang ia ciptakan melalui trailer. Ada Professor Bomba (Jason Sudeikis) yang hidup bersama seekor anjing berkaki tiga bernama Ozzie, di rumah tua dengan tampilan yang kurang menarik dekat sebuah hutan yang sepi. Suatu ketika ia kedatangan tamu tak diundang, Mary Katherine (Amanda Seyfried), atau yang kini disapa M.K., anak perempuannya yang telah lama berpisah. Tapi kedatangan Mary ternyata seperti tidak menjadi sesuatu menarik bagi Bomba, karena penyelidikannya pada kemungkinan eksistensi tiny people di hutan tiba-tiba menunjukkan sebuah hasil.

Mereka ada, kawanan Leafmen, dibawah kekuasaan Queen Tara (Beyoncé Knowles), komando dari pemimpin pasukan Ronin (Colin Farrell) yang juga punya beban pada seorang anak bandel bernama Nod (Josh Hutcherson). Namun ketika mereka sedang melakukan sebuah ritual, mereka diserang sekelompok pasukan busuk bernama Boggans yang dipimpin oleh Mandrake (Christoph Waltz). Celakanya M.K.,yang saat itu sedang berlari ke hutan, melihat Queen Tara yang terluka akibat serangan tadi, mendapatkan wasiat penting demi keselamatan hutan, dan terpaksa harus terlibat dalam peperangan dengan jiwa yang telah terjebak dalam tubuh barunya yang kini mengecil.


Sesuatu yang tidak dapat disangkal dari premis yang ditawarkan oleh Epic adalah mereka terlalu klasik, dan langsung menciptakan sebuah kewaspadaan, hubungan personal antara ayah dan anak perempuannya, dibalut bersama petualangan di dunia magic dalam wujud abnormal. Memang hal tadi bukan hal yang tabu, dan mengemasnya kembali menjadi sebuah cerita baru juga bukan sebuah tindakan yang salah. Namun ini  terlalu mudah untuk diprediksi, bahkan terasa sulit untuk mencari titik dimana sebuah harapan dapat dibentuk untuk kehadiran kejutan dalam cerita.

Tapi lagi dan lagi, trailer kembali memegang peranan penting. Rasa pesimisme tadi sedikit berkurang ketika mengingat betapa menariknya trailer yang film ini miliki, lucu dan seru. Tapi ternyata apa semua yang ia tampilkan disana merupakan hal menyenangkan yang dimiliki film ini. Epic mulai kehilangan pesona dari judul yang ia punya, seperti dengan sengaja memberikan secara total semua hal menarik untuk menarik perhatian calon penonton, karena mereka tidak yakin apa yang mereka miliki akan mampu tampil memuaskan. Ya, itu hanya jebakan. 

Jika dikemas dalam kalimat singkat, ini membosankan. Premis klasik yang masih punya potensi menarik itu pada akhirnya terbentuk seperti kemampuan yang Queen Tara miliki, mampu berjalan diatas permukaan air. Melayang kesana kemari, Chris Wedge tidak mampu memegang dengan erat plot cerita, konflik Bomba terasa goyang, konflik Nob juga goyang, dan terjadi pada konflik lainnya. Cerita yang Wedge tulis bersama William Joyce dan James V. Hart terasa tidak rapi, menggunakan teknik lompatan cerita dengan maksud menjadikan komposisi cerita semakin padat namun harus berakhir tragis ketika berbagai plot tadi tidak terbentuk sempurna sehingga meninggalkan hole yang begitu mengganggu pada alur cerita.


Cerita yang Epic miliki seperti coba dibentuk oleh trio tadi agar tampil simple dan mudah dimengerti. Memang berhasil, namun mereka kurang cermat dalam menutupi beberapa hal yang justru menghadirkan pertanyaan, contohnya seperti apa penyebab Nod bisa sebandel itu? Kenapa Mary bisa sangat enjoy, dimana rasa cemas yang ia miliki? Setiap karakter seperti dihadirkan begitu saja tanpa dibekali dengan sebuah latar belakang yang kokoh. Membuat penonton bingung dengan cerita yang kompleks itu menarik, dengan cerita yang simple hal itu sebenarnya tetap menarik namun tidak bagi film animasi. Begitupula dengan cara ia berjalan, menarik diawal, kemudian tensi cerita mulai naik dan turun, namun mulai berantakan selepas menit ke 30.

Apalagi kekurangan yang dimiliki Epic? Masih ada, sebut saja upaya mereka yang terlalu overdo dalam dua elemen penting cerita. Konflik utama dikemas terlalu serius, dalam jangka waktu yang cukup panjang bahkan sempat terjadi sebuah kesunyian di dalam studio, anda seperti dipaksa untuk serius dalam merasakan makna yang tersimpan dalam tiap dialog. Dan celakanya itu juga terjadi pada sisi ringan yang ia miliki, lelucon yang tidak bekerja dengan baik dalam jumlah besar. Lagi, anda seperti dipaksa untuk tertawa bersama berbagai joke yang terkadang menggangu mayoritas berasal dari dua karakter hewan melata, Mub (Aziz Ansari) dan Grub (Chris O'Dowd). Berhasilkah? 30:70, dan itu zona yang sangat sangat berbahaya.

Fyi, Chris Wedge dan William Joyce pernah meraih Oscar untuk film animasi, namun itu pada kategori short film, durasi tujuh hingga 15 menit. Dan disini mereka seperti kehabisan sebuah ide segar untuk memanjangkan cerita, baik itu pada bagaimana langkah dari cerita yang menarik hingga cara cerita itu dibentuk agar juga ikut tampil menarik, secara total. Tidak heran Epic mulai terasa kacau ketika ia selesai membangun cerita utama. Ini bukan petualangan yang menarik, meskipun punya tensi yang dinamis namun cerita terus terasa datar, sama seperti kualitas 3D yang ia milik yang tidak mampu berbuat banyak untuk membantu menciptakan sebuah pengalaman menonton yang menarik.

Cast pengisi suara mungkin mampu sedikit memberikan nilai positif, terutama Aziz Ansari dan Chris O'Dowd yang disini seperti bekerja paling keras. Tanpa mereka, tanpa lelucon mereka film ini akan semakin membosankan. Tidak ada yang spesial, mungkin hanya Pitbull, Aziz Ansari, dan Chris O'Dowd yang mampu menampilkan ciri khas suara mereka, sisanya sangat forgettable. Ini dampak dari keputusan Wedge yang terus berupaya memberikan porsi peran yang sama besar pada tiap karakter, sehingga tidak ada karakter yang mendominasi cerita. M.K., bahkan terasa sama pentingnya dengan Mub dan Grub.


Overall, Epic adalah film yang kurang memuaskan. Epic is a snorefest. Kemasan klasik ini gagal dibentuk oleh Chris Wedge untuk menjadi sebuah petualangan yang menarik. Sempat hebat diawal, semua berantakan dari tengah hingga akhir, bahkan Epic tidak meninggalkan sebuah pesan yang mampu menjadi sebuah pelajaran yang menarik. Score enam mungkin terasa cukup tinggi, namun itu sudah cukup rendah untuk sebuah film animasi. 












2 comments :

  1. Ah, aku baru nonton ini film.
    Secara Animasi, Imajinasi, Ide cerita, Film ini KEREN!
    TApi sayang alur ceritanya ngga sekeren Animasinya....
    Well said, Masberoh~!

    ReplyDelete
  2. @Adhitya Teguh Nugraha: Tepat, terlalu overdo, kurang lepas.
    Thanks hyung!! :)

    ReplyDelete