09 December 2012

Movie Review: Liberal Arts (2012)


Seni Liberal, adalah sebuah seni yang lebih bersifat umum dan luas. Seni liberal akan mengajak anda memiliki pola pikir yang lebih umum, mengandalkan logika dan kemampuan intelektual anda, dan menjadi individu bebas yang tidak suka dengan hal teknis yang rumit dan mengikat. Liberal Arts, proyek kedua dari Josh Radnor yang mampu tampil bijak dan kritis, akan mengajak anda memahami bagaimana seharusnya anda menjalani hidup.

Josh Radnor kembali membuktikan bahwa ia memiliki bakat dalam meracik cerita yang mampu tampil lucu dan bijak secara bersamaan. Ada seorang pria single berusia 34 tahun bernama Jesse Fisher (Josh Radnor), datang dari New York ke kampus yang telah lama ia tinggalkan di Ohio, dalam rangka menghadiri pesta perpisahan Peter Hoberg (Richard Jenkins), salah satu professor favoritnya yang akan pensiun. Namun yang menarik adalah sebuah pernyataan yang dilemparkan oleh Radnor kemudian.



Zibby (Elizabeth Olsen), wanita berusia 19 tahun yang mengikuti proses percepatan, menyukai musik klasik dan novel vampire, dan memiliki ketertarikan sangat besar pada bagaimana ia melakukan improv dalam hidupnya. Zibby menghadirkan sebuah quote yang sangat menarik, “one rule of improv that you can never say no.” Ya, itu hanya pembuka, karena setelah itu Jesse bertemu Nat (Zac Efron), seorang pria hippie yang kembali menghadirkan sebuah teori yang sama, “fortune never smiles on those who say no.”

Aha, cerdas, ini adalah sebuah permainan dengan ide yang cerdas, dipenuhi dengan argumen-argumen yang menyenangkan. Kenapa saya sebut permainan, karena selama 97 menit anda akan menemukan beberapa konflik kecil menghampiri Jesse yang dibawa oleh karakter-karakter yang berbeda. Diawal ada Professor Hoberg yang masih merasa seperti 19 tahun diusianya yang sudah sangat tua, kemudian Prof. Judith Fairfield (Allison Janney), mantan guru dengan sex-appeal yang masih menarik, Nat, hingga seorang mahasiswa pintar yang depresi bernama Dean (John Magaro).

Kekuatan utama film ini jelas terletak pada cerita yang ia punya. Film ini seperti menjadi media bagi Radnor untuk menyampaikan pemikirannya tentang apa saja hal-hal salah yang telah banyak orang lakukan sekarang ini. Ya, ketimbang menampilkan kisah romansa yang mainstream dengan gairah tingkat tinggi, Radnor justru lebih memilih untuk tampil sederhana, memanfaatkan dialog yang kuat untuk membangun daya tarik dari konflik-konflik yang ia punya, namun tetap tidak lupa untuk memberikan unsur komedi didalamnya.


Banyak cara yang dipakai oleh Radnor bekerja dengan efektif bagi saya. Dari ketika Radnor menulis di sebuah kertas tentang perbandingan umurnya dengan Zibby, saling berkirim pesan dengan surat yang ditulis tangan, sampai pada pemahaman pada sisi menarik dari sebuah novel vampire sampah yang sedang trend saat ini, semua bekerja dengan baik. Film ini memang tidak megah, namun memenuhi standar saya dari sebuah film drama komedi.

Bagi saya ini adalah salah satu film yang tidak memiliki sasaran konsumen yang luas, dan tidak heran akan terjadi keseimbangan pada jumlah penonton yang suka dan tidak suka. Kuncinya adalah apakah anda suka dengan tema yang ia angkat, cara hidup liberal yang bebas dan modern. Jika iya, maka anda akan merasakan sensasi-sensasi dari pesan yang dibawa oleh Radnor, disampaikan secara implicit dengan menggunakan dialog berisikan argument-argumen asyik, dengan sebuah limit yang telah diciptakan sehingga terasa tidak berlebihan dan terkesan realistis. Sangat sayang memang, karena saya yakin film ini masih dapat memberikan lebih dari yang ia tampilkan. Ya, Radnor kembali bermain aman.

Selain ceritanya yang mumpuni, Radnor juga sukses membagi peran dari setiap karakter yang ia punya. Tidak hanya berpusat pada Zibby dan Jesse yang memiliki chemistry yang kuat (lagi dan lagi, Elizabeth Olsen adalah salah satu yang terbaik saat ini), film ini juga memiliki karakter pendukung yang mampu hinggap di ingatan saya setelah film berakhir. Ya, semua berhasil meninggalkan kesan dari kehadiran mereka didalam cerita, termasuk Ana (Elizabeth Reaser) yang bekerja di toko buku, hingga teman sekamar Zibby yang mengundang tawa dengan perannya sebagai objek penderita.


Overall, Liberal Arts adalah film yang memuaskan. Saya suka konflik utama yang Radnor ciptakan, dengan menggunakan tema yang tepat, dan berhasil mengajak saya untuk ikut merenung sembari tertawa dengan humor-humor implisitnya yang renyah. Ya, banyak pesan yang berhasil film ini sampaikan, dengan cara yang bijak dan lembut, namun yang paling menarik dia tidak tampil layaknya seorang guru hebat yang mencoba untuk menggurui anda.

Score: 8/10

0 komentar :

Post a Comment