13 December 2012

Movie Review: Kon-Tiki (2012)


Rasa penasaran jika dibantu dengan percaya diri yang tinggi dapat menjadikan semua yang anda anggap impossible menjadi possible. Ya, mari kesampingkan sejenak faktor kerja keras untuk menjadi sukses, karena semua berawal dari sebuah rasa ingin tahu yang menghampiri anda, dan akan terlaksana jika anda percaya bahwa anda bisa melakukannya. Thor Heyerdahl (Pål Sverre Valheim Hagen) adalah contohnya. Pria Norwegia ini melintasi Samudera Pasifik, selama 101 hari sejauh 6900 km lautan bebas, hanya dengan sebuah perahu layar rakit tanpa mesin.

Sejak kecil Thor memang sudah mencintai tantangan. Ditahun 1937, bersama kekasihnya Liv (Agnes Kittelsen), ia melakukan penelitian disebuah pulau bernama Fatu Hiva, dikawasan Polynesia. Disana Thor mendapatkan sebuah teori baru, dimana ia yakin bahwa bangsa Amerika Selatan telah terlebih dahulu menemukan kawasan Polynesia jauh sebelum Colombus menemukan benua Amerika. Ya, sebuah fakta yang aneh, karena dari segi geografis Polynesia jelas lebih dekat dengan kawasan timur.


Namun Thor adalah pria yang percaya diri. Ia menuliskan hasil penelitiannya tadi, dan menyerahkannya kepada sebuah majalah di kota New York. Hasilnya sangat mudah ditebak, Thor dianggap gila, dimana mereka yakin bahwa tidak mungkin berlayar sejauh itu dengan perahu yang sangat sederhana, di 1500 tahun yang lalu. Ya, penilaian mereka dianggap tantangan oleh Thor, dan setelah bertemu dengan teman barunya Herman Watzinger (Anders Baasmo Christiansen), Thor memutuskan untuk membuktikan sendiri teori yang ia temukan. Bersama empat teman lainnya dengan kemampuan yang berbeda, mereka berlayar dari Peru menuju Polynesia, dengan metode yang sama seperti 1500 tahun lalu, perahu layar rakit sederhana yang mereka namai Kon-Tiki.

Kisah ini adalah sebuah legenda bagi masyarakat Norwegia, seorang pria bersama lima temannya memutuskan untuk membuktikan teori “gilanya” dengan nyawa sebagai taruhannya. Ya, nyawa, mereka hanya membawa bekal makanan, dan radio sebagai satu-satunya alat elektronik. Selebihnya, mereka hanya mengandalkan angin dan ombak lautan untuk membawa perahu mereka melaju. Ya, cerita yang film ini miliki juga sukses menjadikan saya menilai bahwa Thor adalah orang yang gila, melintasi lautan yang jaraknya seperti Chicago ke Moskow, dan merelakan anak dan istrinya kesepian di hari natal.

Kon-Tiki memiliki premis yang kuat dan menarik berkat legendanya yang terkenal itu. Tapi apa yang dihadirkan oleh Petter Skavlan sebenarnya tidak begitu special setelah bagian pembuka. Setelah proses membangun misi mereka yang terasa menarik diawal, adegan dimana mereka terdampar dilautan terasa monoton dari segi cerita. Tidak seperti Life of Pi yang mampu terus tampil menarik dari segi cerita dan visual ketika Pi terdampar di lautan, Kon-Tiki sedikit kedodoran di elemen pertama.


Untung saja Espen Sandberg dan Joachim Rønning mampu sedikit menutupi kekurangan yang tercipta tadi. Dengan visualisasi yang menyenangkan, terutama cinematography yang rapi dan lembut, mereka mampu menjaga agar misteri dari petualangan yang Thor lakukan ini tetap menarik bagi saya. Ya, sebuah konflik kecil yang Skavlan berikan seperti ancaman badai di kepulauan Galapagos serta serangan Hiu dan Paus yang mungkin datang secara tiba-tiba berhasil hidup berkat Sandberg dan Rønning, meskipun anda akan terus ditawarkan pria-pria bertelanjang dada dengan janggut yang semakin tebal seiring penampilan mereka yang juga semakin kumuh.

Kembali lagi, Kon-Tiki memang mampu tampil menawan dengan cinematography-nya, namun tidak cukup baik di beberapa titik pada elemen cerita yang ia miliki. Anda akan merasakan sebuah rasa cemas jika rakit yang mereka satukan dengan tali itu akan lepas ditengah lautan. Ya, itu berhasil. Anda juga mungkin akan tertarik dengan eksistensi dari para karakter dalam cerita, terlebih karena rasa ragu yang perlahan mulai menghampiri karakter. Namun, sayangnya Kon-Tiki tidak mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki bagian-bagian dari cerita yang ia punya untuk menciptakan sebuah momen mengejutkan yang menarik. Ya, kurang nendang, terasa dipaksakan, tidak seperti permainan emosi yang ditampilkan karakter-karakternya.

Ya ya, ini adalah sebuah film yang menggambarkan kepada anda sejarah yang pasti pernah mengejutkan banyak orang di masa lalu. Sandberg dan Rønning berhasil membungkus film ini sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan dari segi visual, dan informatif dari segi cerita. Tapi, mereka tidak mampu menciptakan sebuah akhir yang memberikan klimaks kepada saya setelah menyaksikan Thor dan teman-temannya tersesat dilautan. Menghadirkan kembali kisah Liv diakhir cerita, sedikit menodai sebuah paket manis yang mereka susun sejak awal. Ya, tidak penting, karena jika tidak dihadirkan pun justru akan menjadi misteri yang menarik.


Overall, Kon-Tiki adalah film yang memuaskan. Kon-Tiki berhasil menjadi sebuah pembuktian bahwa anda bisa melakukan apapun jika anda percaya bahwa anda bisa. Film ini mampu tampil menarik dengan konflik utama yang ia tawarkan, membuat saya ikut cemas dengan tokoh-tokoh dalam cerita, dan berhasil memanjakan mata dengan tampilan visual yang indah dan memukau. Ya, meskipun dibeberapa bagian terasa sedikit monoton dan tidak penting, dan tidak berakhir dengan dengan klimaks yang memuaskan, Kon-Tiki mampu menghidupkan kembali sejarah itu, yang menjadikan anda semakin yakin bahwa hanya satu hal yang tidak bisa anda lakukan didunia ini, memakan kepala anda sendiri. 

Score: 8/10

0 komentar :

Post a Comment