10 October 2012

Movie Review: Goodbye First Love (2011)


Salah satu tolak ukur dari berhasil atau tidak sebuah film dengan genre drama dan romance bagi saya adalah apakah film tersebut berhasil mengajak saya untuk ikut merasakan apa yang karakter rasakan dengan cinta mereka, seolah terpenjara dalam kisah mereka. Hal tersebut berhasil saya temukan dari kisah seorang gadis berusia 15 tahun bernama Camille (Lola Créton), yang selalu tampak mudah untuk terbakar api cinta dari kekasihnya Sullivan (Sebastian Urzendowsky). Namun, suatu ketika Sullivan memutuskan pergi ke Amerika Selatan, untuk melanjutkan eksperimennya.

Ini menarik, bagaimana mereka bertukar kabar melalui surat, dan Camille selalu menandai posisi Sullivan dengan peniti di sebuah peta. Dan ketika surat itu tidak datang lagi, Camille berubah menjadi sebuah gelas yang telah retak, dan tinggal menunggu waktu untuk pecah. Ya, Camille hancur. Janji Sullivan untuk kembali setelah 10 bulan tidak terbukti. Empat tahun kemudian, Camille berhasil membangun kembali hidupnya, bertemu Lorenz (Magne-Havard Brekke), dosennya di sekolah arsitektur, yang kemudian menjadi kekasihnya. Camille hanya ingin bersama pria yang mampu membuat ia nyaman, dan Lorenz berhasil memenuhi hal tersebut. Meskipun jauh lebih tua, Lorenz ternyata lebih bertanggung jawab terhadap cinta yang ia berikan. Tapi, Sullivan kembali.


Sejujurnya film ini tidak akan memberikan anda sebuah cerita dengan konflik kelas berat. Dengan melihat judulnya saja anda pasti akan dengan mudah menebak apa yang akan anda dapatkan. Goodbye First Love hanya menawarkan satu konflik utama, satu konflik pendukung, dan selesai. Namun, yang menjadi daya tarik utama film ini bagi saya adalah Mia Hansen-Løve. Wanita berusia 31 tahun yang menjadi sutradara karena patah hati, merupakan salah satu sutradara yang akan selalu saya tunggu karyanya. The Father of My Children, menjadi alasannya. Dan saya kembali merasakan hal yang sama dari film ini.

Mia masih membungkus film ini dengan caranya, menyampaikan pesan yang ia punya tanpa memaksakan semua elemen terlalu jauh. Dengan alur cerita yang lambat, Mia memberikan anda waktu untuk lebih dekat dengan karakter, dan memahami apa yang mereka rasakan. Permainan emosi yang sangat cantik, dimana kekuatan cinta yang dimiliki oleh dua karakter utama berhasil bertahan hingga akhir, dan membentuk sebuah kombinasi yang baik dengan suka dan duka yang disuntikkan.

Lewat durasi 110 menit, anda akan diajak untuk memahami bagaimana emosi yang kita miliki sesungguhnya tidak sederhana. Camille yang bisa dikatakan “dibuang” oleh Sullivan, dan tampak telah enjoy dengan kehidupan barunya bersama Lorenz. Tapi mengapa rasa cinta kepada Sullivan masih hidup dihatinya setelah delapan tahun berlalu? Kisah yang Camille miliki dijadikan alat utama oleh Mia untuk mengajak anda untuk lebih memahami bagaimana memperlakukan cinta yang anda miliki dengan cara yang benar. Dan itu terbantu lewat tiga pemeran utama yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik.


Overall, Goodbye First Love sebuah drama romantic yang menarik. Memang klasik, dan anda sudah mengerti sejak awal kisah yang ditawarkan oleh film ini. Dan, dibeberapa bagian akan terasa sedikit membosankan, karena cerita yang berjalan lambat. Yap, itu nilai minus dari film ini, dan akan menjadi sebuah kekurangan yang sangat besar jika anda tidak terbiasa dengan cerita seperti ini. Sebuah film yang emosional dari Mia Hansen-Løve, menemukan sebuah semangat baru dalam cinta, dari kehancuran yang pernah dialami.

Score: 7,25/10







4 comments :

  1. arghhhhhhh.....meskipun udh jls dr judulnya ttp ngk trima sama endignya coz dosennya krg cakep hahahahaha byk pertanyaan ttg film ini
    1. knp sullivan ngilang gitu aja dan ngk prnh kasih kabar
    2.dia udah lama balik ke prancis tp knp ngk mau nemuin camille lagi
    3.cinta ngk sih camille sama lorenz
    please bantu jawab :)

    ReplyDelete
  2. @katy secret: 1) Itu hanya sub-plot yang disengaja, tidak perlu dijelaskan dalam cerita, karena fungsinya cuma buka jalan ke konflik utama.

    2 & 3) Mereka masih saling cinta, tapi seperti kalimat klasik, “terkadang cinta memang (harus) begitu.” Sullivan merasa salah, gak layak untuk Camille, ragu apalagi setelah lihat Camille udah bahagia. Sedangkan Camille tipikal wanita pada umumnya, mudah terjerat perasaan, tapi benci hubungan yang tidak serius, dan ingin masa depan “pasti.”

    Seperti kalimat di review, “mengajak anda untuk lebih memahami bagaimana memperlakukan cinta yang anda miliki dengan cara yang benar.” :)

    Menurut saya begitu, yang saya ingat, udah hampir setahun soalnya. :)

    ReplyDelete
  3. thanks jawabannya :)komennya kok ngk bisa langsung ya...klo pake blog mau komen dr hp ribet :(*pdhl pgn komen trs hehehe :)

    ReplyDelete
  4. @katy secret: Tujuan utamanya untuk menghindari Anonymous yang comment dengan modus “merusuh”, seperti yang pernah terjadi di awal dulu. :)

    ReplyDelete