18 September 2012

Movie Review: The Deep Blue Sea (2011)


Cinta itu buta. Anda pasti sangat familiar dengan kalimat tadi, sebuah penggambaran dimana sebuah rasa bernama “cinta” memiliki kekuatan yang sangat besar, yang jika tidak dapat dikontrol dengan baik dapat menuntun anda masuk kedalam sebuah masalah besar. Yha, suka dan duka adalah dua komponen yang tidak dapat terpisahkan dalam satu paket bernama cinta. Hal itu yang dialami oleh Hester Collyer (Rachel Weisz), istri dari Sir William Collyer (Simon Russell Beale), seorang hakim di London, yang terlibat sebuah kisah terlarang dengan Freddie Page (Tom Hiddleston), pilot RAF.

Hester merasakan kekuatan cinta. Kehidupan yang mewah bersama William, dengan semua ciri keluarga bangsawan Inggris tahun 1950-an, ternyata tidak mampu membuat Hester merasa nyaman. Hester tidak merasakan gairah cinta yang sebenarnya dari William (yang lebih tua darinya). Ini semakin diperparah dengan perlakuan dari ibu mertuanya yang terus merendahkan dan menghina Hester. Semua terungkap ketika Hester memutuskan untuk kembali ke kota, menelpon Freddie, berkata “Darling”, dan tanpa ia sadari William berada dibelakangnya. Hubungan yang telah dirahasiakannya selama 10 bulan itu terbongkar. Namun, William tidak mau menceraikan Hester, dan Hester mencoba bunuh diri.

Setelah membaca dua paragraph diatas mungkin akan sedikit tersirat di pikiran anda, “Ah, klasik, drama romantis.” Saran saya adalah segera hapus penilaian anda tersebut, karena apa yang Terence Davies hadirkan mungkin akan sangat jauh berbeda dengan penilaian anda tadi. Ini memang adalah kisah yang klasik, dengan dibumbui perselingkuhan, dapat anda temukan dibanyak film di genre ini. Namun, apa yang menjadikan film ini berbeda adalah permainan emosi yang dihadirkan sejak awal.


Pertama, saya akan membahas mengenai kunci sukses dari film ini, Terence Davies. Terence Davies menunjukkan salah satu kemampuannya kepada anda sejak kisah dimulai, dia menangkap anda dengan score pembuka, dan mengikat anda lewat dua kisah asmara yang sama kuatnya, dengan Hester sebagai pusat utama. Sejak awal saya telah merasakan apa yang karakter dalam cerita rasakan, dengan mudah, dari gairah asmara yang sedang membara antara Hester dan Freddie, rasa depresi yang Hester alami, hingga cinta yang sangat dalam dari William kepada Hester.

Inti dari cerita yang diangkat dari karya Terence Rattigan ditahun 1952 ini sebenarnya simple. Dibuka dengan Rachel Weisz yang sedang meratapi nasibnya, kemudian disusul dengan sebuah adegan “panas”, dan sisanya hanya di isi kisah cinta segitiga dari ketiga karakter utama. Tidak terdapat gebrakan cerita yang disertai intrik dan konflik kelas berat. Cerita yang mengalir dengan lembut sejak menit pertama ini memang terkesan ringan. Namun, emosi yang terasa terus hadir sepanjang film menjadikan cerita yang ringan tadi terasa sangat berat. Film ini terasa seperti permainan emosi bagi saya. Menyaksikan intimitas cinta, kemudian hadir sebuah konflik kecil, disusul pertengkaran dengan nada-nada tinggi, kemudian kembali ke awal, ah menyenangkan.

Naik dan turunnya emosi, menjadikan perjalanan cinta yang Hester alami ini terasa tidak datar, meskipun didominasi dialog formal khas tahun 50-an. Dibantu dengan setting dari kota London pasca perang dunia kedua yang didominasi cahaya temaram, berhasil membantu tiap karakter memvisualisasikan tekanan yang mereka hadapi. Hal tersebut menuntun anda untuk ikut menimbang dan memilih mana yang selayaknya Hester pilih. Bahkan anda akan ikut merasakan kehilangan yang mereka alami seraya bergumam, "oh please, don't do that". Itu yang saya rasakan dibagian akhir, dimana tempo yang lambat dengan dialog yang kuat memberikan rasa kehilangan yang sangat besar.

Tiga pemeran utama semakin menambah nilai positif film ini yang sudah sangat baik sejak pondasi awal. Rachel Weisz sangat sangat memukau di film ini. Kondisi rapuh dari Hester dimainkan dengan baik olehnya. Yang saya suka adalah Weisz juga berhasil membangun chemistry yang baik dengan kedua karakter lainnya, menjadikan dua konflik yang berpusat padanya tadi memiliki kekuatan yang sama, yang berdampak pada cerita yang tidak mudah ditebak. Beale juga berhasil membentuk William menjadi sebuah karakter yang menarik, tenang, lembut, dan dewasa dalam menunjukkan rasa cinta. Dan, Tom Hiddleston, memberikan warna pada cerita lewat Freddie Page yang konyol, berjiwa muda yang cenderung childish, dan selalu emosional disertai nada tinggi dalam mencerminkan kasih sayangnya.

Overall, The Deep Blue Sea merupakan film yang memuaskan. Anda akan mendapatkan sebuah cerita cinta yang tidak begitu mainstream, satu kemasan yang dibungkus dengan sangat apik, dengan berbagai elemen yang diolah dengan manis, disertai rasa cinta yang sangat kuat sejak awal sebagai senjata utama. Yap, sangat jarang film dengan genre romance dapat membuat saya ikut terperangkap secara penuh dalam konflik yang karakter utama alami, ikut merasakan suka dan duka dari sebuah ciptaan Tuhan bernama cinta, namun dengan cara yang sangat dewasa.

Score: 8,25/10

2 comments :

  1. Thanks udah rekomendasikan film ini,simple namun sangat dalam.... like this... :')

    ReplyDelete
  2. @Ms. Vanilla: A Royal Affair boleh dicoba mbak, setipe tapi sedikit kompleks. Thanks btw kunjungannya. :)

    ReplyDelete