21 August 2022

Movie Review: Carter (2022)

“You are the only one who can hear me.”

Tugas paling pertama sebuah film adalah meraih atensi penonton dan membuat mereka merasa tertarik dengan apa yang sedang dan akan terjadi, sering kali sesuatu yang unik dan sedikit aneh condong lebih mudah untuk membuat penonton merasa penasaran. Film ini melakukannya bukan hanya dengan menggunakan masalah yang menimpa karakter utama di awal saja namun juga lewat presentasi visualnya, seolah film ini dibuat ketika drone baru saja rilis beberapa tahun lalu dan gambar-gambar keren dengan transisi dan juga pergerakan akrobatik super lincah merupakan cara termudah untuk membuat penonton terpukau. ‘Carter’: a pleasure for gamers and action junkies.


Pandemi mematikan sedang terjadi dan membuat negara seperti Amerika Serikat dan Korea Utara panik, karena virus yang diduga berasal dari DMZ telah merenggut banyak nyawa warganya dengan cara membuat mereka yang terinfeksi berubah menjadi sosok ganas dan beraksi membabi buta layaknya zombie. Di tengah situasi panik itu pria bernama Carter Lee (Joo Won) terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya telah dikepung oleh beberapa agent CIA yang sedang mencari keberadaan Dr. Jung Byung-ho (Jung Jae-young), sosok yang disinyalir tahu cara menciptakan antibody untuk mengatasi virus tersebut tadi. Carter tidak bisa memberi jawaban karena ia juga tidak tahu di mana posisi Dr. Jung.

Carter bahkan bingung mengapa tidak bisa mengingat peristiwa yang telah terjadi. Isi otak Carter memang telah dikuasai oleh satu kelompok misterius, luka di bagian belakang kepalanya adalah hasil perbuatan kelompok itu yang sengaja menghapus memorinya Carter, ia bahkan lupa siapa namanya sebelum diberitahu oleh seorang wanita yang menjadi navigator via suara. Sebuah perangkat telah ditanam di dalam telinga Carter, dan ia harus menuruti semua perintahkan dengan misi utama untuk menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Jung Ha-na (Kim Bo-min). Carter tidak punya banyak waktu untuk berpikir, semua rencana telah disusun oleh suara dari navigator tadi. Tapi jika ia tidak patuh, maka Carter akan mati.

Kurang lebih empat tahun yang lalu cinematography film ‘The Villainess’ saya pilih menjadi satu dari tujuh terbaik di kategori tersebut, kala itu bersaing dengan judul-judul yang lebih besar seperti ‘The Shape of Water’, ‘Dunkirk’ dan tentu saja ‘Blade Runner 2049’. Di film tersebut cinematographer Park Jung-hoon berhasil membuat ide Sutradara Jung Byung-gil seperti hidup dengan pesona dan energi yang sangat kuat, yakni sebuah revenge thriller bersama action penuh darah dengan sensasi yang sangat memuaskan. Park Jung-hoon sendiri setelah film tersebut kembali dipercaya di beberapa film, salah satunya ‘Voice of Silence’ namun tidak demikian dengan Jung Byung-gil, tidak ada rilisan film terbaru darinya hingga film ini. Sebenarnya hal sama juga terjadi sebelumnya di mana ‘The Villainess’ rilis lima tahun setelah ‘Confession of Murder’.


Kita tentu tidak bisa sebut jarak lima tahun itu merupakan jumlah waktu total yang dibutuhkan oleh Jung Byung-gil dan Jung Byeong-sik untuk menyelesaikan naskah film ini, bisa saja mereka rehat beberapa tahun dan baru mulai menulis film ini di awal tahun lalu. Tapi yang menarik disorot ialah dengan waktu yang tergolong lama itu mengapa kualitas naskah film terbarunya ini terasa seadanya saja? ‘Carter’ punya premis yang standard, karakter utama yang berusaha menyelamatkan sosok yang ia sayangi sudah sering didaur ulang oleh berbagai judul film, kondisi tanpa ingatan yang dialami karakter utama pun bukan hal yang benar-benar baru. Beberapa judul film mudah untuk terlintas ketika Carter Lee baru bangun dan terkejut mendapati posisi dirinya saat itu, sebut saja ‘Extraction’ yang dipadu dengan ‘Hardcore Henry’.

Tapi seperti saya sebutkan di awal tadi bahwa tugas pertama sebuah film adalah apa dia mampu meraih atensi kamu sebagai penonton, atau tidak? Dan menariknya tidak peduli seberapa klasik dan klisenya komponen pembentuk film ini di bagian paling awal, Jung Byung-gil justru berhasil langsung menarik saya masuk ke dalam “dunia” yang ia bentuk itu. Ya, saya merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi di dalam hidup Carter sehingga membuatnya tidak ingat apapun. Carter seperti robot yang bertugas mengikuti arahan, apakah itu teman atau lawan dia juga ragu tapi kondisi tersebut menghasilkan masalah dalam bentuk puzzle yang menarik. Itu niat utama dari Jung Byung-gil sebenarnya, menggunakan kondisi hilang ingatan karakter utama dan membawamu masuk ke dalam misi mengumpulkan potongan-potongan teka-teki.

 

Yang menjadi masalah di sini adalah setelah bagian pembukan elemen action tetap mengalami eksposisi yang baik, tapi tidak demikian dengan cerita. Dalam pace yang terasa kencang narasi terus geber Jung Byung-gil geber tanpa ada upaya menambah informasi menarik terkait Carter secara bertahap, sehingga penonton adalah Carter yang bingung namun terus dipacu untuk menyelesaikan tugas sesuai arahan. Seperti tidak ada ruang dan waktu dalam naskah untuk karakter berbicara banyak, yang tersaji adalah guliran aksi Carter berhadapan dengan berbagai sosok asing yang mencob untuk mengejarnya, mengubah apa yang awalnya tampak seperti sebuah thriller misterius yang menjadi panggung pertunjukan adegan action, dipenuhi berbagai “ridiculous thing” yang bertujuan untuk membuat penonton terpukau.

Memang tujuan utamanya demikian, pertunjukan action yang tampak bombastis. Sesuatu seperti itu bisa sangat mengasyikkan jika dibentuk dengan tepat, membuat penonton hanyut dalam adrenaline rush yang coba Jung Byung-gil bentuk agar terus mencengkeram penonton dengan memakai teknik seolah tiap scene tidak terpisah satu sama, alias one-shot tanpa ada “batas” yang terlihat. Menariknya adalah kamera kerap mencoba menciptakan gambar “sulit” dengan sudut pengambilan yang lincah tapi sayangnya editing transisi pada bagian yang intended to look like continuous shot tadi tidak semua terasa halus. Alhasil wow factor dari bagian itu lama kelamaan mulai tergerus dan perlahan mulai terasa normal, excitement berkurang dan di sana seharusnya cerita berbagi beban dengan action spectacle sebagai spotlight.

 

Dan di sana momen ‘Carter’ mulai tampak sedikit kelabakan, ketika kejutan muncul dan membutuhkan dramatisasi tidak ada bekal yang mumpuni berupa emosi pada karakter dan juga konflik. Joo Won sudah mencoba membentuk ekspresi wajah dari Carter, but not so convincing. Akibatnya konklusi terasa kurang meyakinkan, terasa palsu seperti kualitas beberapa bagian CGI dengan anggaran yang ketat itu. Padahal ada potensi yang oke dari terungkapnya fakta di akhir, termasuk beberapa isu yang coba didorong ke hadapan penonton. Sekali lagi, bukan itu memang jualan utama sejak awal namun dengan cerita atau karakter yang lebih worth caring mungkin bisa menghasilkan punch akhir yang lebih menarik dan membuat kompilasi hectic rush fights yang dikemas dengan hati itu terasa lebih memorable, bukan cuma sekadar an action flick that slowly loses its thrill.

Overall, ‘Carter’ adalah film yang cukup memuaskan. ‘Carters’ action sequences are crazy, sebuah hiburan yang dibentuk Jung Byung-gil untuk terus berdentum tanpa henti, kompilasi hectic rush fights penuh dengan “ridiculous thing” yang dikemas dengan hati. Sayangnya pertunjukan action yang mencoba tampak bombastis itu tetap mengalami eksposisi yang baik, tapi tidak demikian dengan cerita dan karakter. Alhasil meski mampu meraih atensi di awal misi menemukan dan mengumpulkan potongan-potongan teka-teki mulai terasa repetitif dan too normal. Mungkin dengan cerita atau karakter yang lebih worth caring ini dapat terasa lebih memikat dan memorable, bukan cuma sekadar a mind-boggling action flick that slowly loses its thrill meski memang it's still a pleasure for gamers and action junkies. Segmented.





1 comment :