13 March 2022

Movie Review: The Fallout (2021)

“You know, fear makes people act crazy.”

Stres tidak terpisahkan dari kehidupan setiap manusia namun kemampuan dalam menanganinya jelas berbeda-beda. Hal tersebut karena stressor yang harus dihadapi oleh setiap orang berbeda, dapat berasal dari lingkungan sosial, kondisi fisik, hingga perasaan, imajinasi dan psikologis. Jelas trauma yang membekas di dalam diri orang yang jatuh dari sepeda akan berbeda dengan seseorang yang kesulitan untuk move on dari peristiwa penembakan massal. Sulit untuk menentukan tolok ukur di mana garis finish yang menandakan seseorang telah berhasil move on dari trauma yang menghantuinya, kondisi yang digunakan oleh film ini untuk menjadi penggambaran terkait tantangan yang masih harus dihadapi oleh para korban selamat dari sebuah peristiwa mengerikan. ‘The Fallout’: let's sound the alarm louder.


Vada Cavell (Jenna Ortega) dan sahabatnya Nick Feinstein (Will Ropp) berbagi tawa dalam perjalanan menuju sekolah mereka, seolah hari itu akan menjadi menyenangkan bagi mereka berdua. Pada awalnya demikian ketika Vada bertemu dua momen yang mengejutkan, pertama yakni ketika adik perempuan yang sangat ia sayangi, Amelia Cavell (Lumi Pollack) meneleponnya dan membuat Vada ijin keluar dari kelas. Amelia seperti enggan untuk menyampaikan kabar kepada kakak perempuannya yang kini duduk di bangku high school itu, bahwa ia baru saja mengalami haid pertamanya. Vada yang awalnya panik tertawa kecil setelah mendengar kabar tersebut, mencoba menenangkan sang adik dan setelah itu tidak langsung kembali ke ruang kelas.

Seperti ada insting yang menuntun Vada untuk masuk ke toilet, di sana dia bertemu dengan Mia Reed (Maddie Ziegler), seorang dancer yang populer baik di sekolah dan juga jagat media sosial. Mia sedang menata rias di area wajah dan tubuhnya untuk pemotretan, dan karena mereka tidak terlalu akrab situasi canggung pun tercipta. Tapi keheningan itu mendadak berubah ketika terdengar suara tembakan dari arah koridor sekolah yang kemudian disusul tembakan lain dalam jumlah banyak. Panik, Vada dan Mia bersembunyi di bilik toilet, tiba-tiba masuk siswa bernama Quinton Hasland (Niles Fitch) dengan baju berlumur darah. School shooting itu tidak hanya menelan korban jiwa tapi juga menyisakan trauma, termasuk Vada dan Mia.

Di debut penyutradaraannya ini Megan Park berhasil menyajikan sebuah observasi yang sederhana namun terasa cukup tajam dalam menampilkan sebuah proses “menyembuhkan diri” yang harus dijalani oleh para korban selamat. Dua karakter memang yang menjadi sorotan, yakni Vada dan Mia tapi nama terakhir difungsikan sebagai pendamping bagi Vada, seorang wanita muda yang di awal secara efektif ia langsung membuat penonton merasakan pesona eksentrik miliknya. Phone call dari adiknya Amelia yang mencoba menyampaikan kabar mengejutkan terkait period itu juga langsung membentuk kesan bahwa Vada merupakan seorang kakak yang punya rasa perhatian tinggi terhadap adiknya. Begitupula ketika saya bertemu dengan Mia, dapat menerima info bahwa ia adalah seorang dancer yang terkenal di sekolah.


Megan Park tidak mencoba untuk menggali terlalu jauh karakter, namun keputusan untuk sebatas menunjukkan charm terbesar dari dua karakter utamanya di bagian awal justru membuat saya penasaran dengan apa yang terjadi setelah momen awal perkenalan di dalam toilet itu. Yang ternyata langsung disambung dengan peristiwa mengerikan yang meskipun tidak ditampilkan secara eksplisit tapi sukses membuat penonton ikut merasakan rasa panik karakter. Hanya suara tembakan tapi berbagai emosi seperti runtuh dan membuat Vada, Mia, serta Quinton tertekan secara psikis. Tentu semua kematian jadi sesuatu yang mengejutkan tidak peduli bagaimana peristiwa itu terjadi, tapi ketika penyebabnya adalah akibat aksi keji seorang yang tidak bertanggung jawab dan terjadi di sekolah, “cruelty” yang tercipta jelas berbeda.

Di sini Megan Park menggunakan Vada dan Mia sebagai dua orang siswa yang harus merasakan dampak dari peristiwa yang mengganggu masa depan mereka, memoles kesulitan keduanya sebagai perwakilan dari proses yang harus dijalani oleh korban selamat, yakni processing through all those emotions. Stres sebenarnya juga dapat berperan untuk “membantu” seseorang lewat tekanan, jika hadir dalam kadar yang ringan, sebuah rangsangan yang dapat membuat emosi jadi lebih bergelora misalnya tapi jika muncul dalam jumlah yang terlalu banyak dan bersifat berkelanjutan maka akan berbahaya bagi kesehatan. Hal tersebut yang menjadi rintangan Vada ketika ia yang “felt everything” justru merasa bingung dengan apa yang harus dirinya lakukan selanjutnya. Beberapa siswa dengan cepat move on, tapi Vada terperangkap amarah.


Kondisi lingkungan dan external stimulus disajikan Megan Park secara subtle, pun demikian dengan kondisi lain, bahwa ketika seseorang sedang berurusan dengan trauma secara konstan maka tidak hanya dia yang terlibat di dalam proses tersebut tapi juga semua orang yang ada di sekitarnya, dari sahabat dan tentunya keluarga. Di dalam script yang ia tulis Megan Park memarkir kesedihan di pintu utama namun memberi bumbu berupa anxiety dampak dari peristiwa keji itu. Jiwa dan raga Vada perlahan terdegradasi, eksposisi terhadap penderitaannya serta Mia berdampingan berjalan bersama alarm yang coba dinyalakan semakin kencang di sini. Berbagai aksi aneh yang dilakukan Vada dan Mia tidak berada dalam konteks untuk menunjukkan mereka pemberontak, tapi sebagai luapan emosi mereka untuk kabur dari trauma.

Vada kesulitan untuk tidak merasa seperti mendengar bunyi tembakan di telinganya, sedangkan Mia mengatakan ia tidak bertemu mimpi buruk, because she cant’ be able to sleep. Mereka berdua menolak tunduk pada rasa takut, to that they need to fully experience their emotions in order to process what they've been through, so that they can begin to heal. Itu mengapa ‘The Fallout’ bukan cuma berkisah tentang apa dampak bahaya dari trauma dan stress saja tapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukan di kondisi tersebut, baik sebagai pejuang maupun supporter. Sikap bijak mungkin hadir tapi dengan a lot ups and downs memilih tertutup dan juga berusaha tampak normal, tampak low-key, justru kurang tepat. Sharing is caring, tekanan itu harus dibagi agar pencarian semakin mudah bertemu dengan solusi.


Ya, selain harus dinikmati stressor juga harus dipelajari agar dapat ditemukan solusi yang terbaik bagi tiap masalah. Because after all, life is finding its own way, ketika ada peluang untuk membuatmu terjatuh maka tentu ada kemungkinan pula untuk kamu kembali bangkit. Isu tersebut yang berhasil membuat ‘The Fallout’ berkesan, menyaksikan karakter mencari jalan keluar, dia jatuh, tersesat, having a really hard time moving on, di sini hadir dalam bentuk womanhood yang dikombinasikan pula bersama parenthood yang dibentuk dengan baik oleh Julie Bowen dan John Ortiz. Maddie Ziegler (Sia's favorite) tampil cukup oke, peran karakternya terasa terbatas, sedangkan Jenna Ortega tampil memikat sebagai Vada, secara subtle menampilkan emosi yang berkecamuk di dalam diri remaja yang kebingungan.

Overall, ‘The Fallout’ adalah film yang memuaskan. Sejak menit awal bahkan hingga ke momen penutup Sutradara dan Screenwriter Megan Park mencoba menampilkan isu dan pesan yang coba ia dorong ke penonton secara efektif, bagaimana beratnya perjuangan para korban yang selamat dari maut untuk dapat lepas dari trauma yang terus membelenggu kehidupan mereka, membuat mereka stress dengan kombinasi berbagai rasa seperti takut, cemas, guilty, hingga hopeless, mencari jalan keluar tapi kesulitan dan kemudian harus tersesat di prosesnya. Bahwa ada dampak destruktif yang harus ditanggung oleh para korban dan juga orang-orang di sekitar mereka dari aksi tidak bertanggungjawab, it sound the alarm louder on that cruel reality.





1 comment :

  1. “It's actually really healthy to show your emotion.”

    ReplyDelete