13 February 2022

Movie Review: The Sky Is Everywhere (2022)

"My mind is not a safe place."

Jika kamu tahu bahwa hal-hal buruk dapat terjadi kapan saja, bukankah kamu juga seharusnya tahu bahwa hal-hal baik juga dapat terjadi kapan saja di dalam hidup kamu? Karena suka dan duka adalah satu paket, kamu tidak bisa mendapatkan satu tanpa yang lain sehingga yang harus kamu lakukan adalah mencintai keduanya, and love the world by living with daring, spirit and joy, untuk saling melengkapi dalam ketidaklengkapan. Film ini mencoba membawamu masuk ke dalam upaya merangkul tidak hanya sisi indah namun juga peran penting suka dan duka bagi kehidupan seorang manusia dengan menggabungkan family drama bersama cerita cinta klasik. ‘The Sky Is Everywhere’: a telling-but-not-showing coming-of-age romantic drama. 


Lennie Walker (Grace Kaufman) adalah remaja beranjak dewasa berusia 17 tahun yang jatuh hati pada clarinet, ia bahkan diproyeksikan untuk meraih beasiswa serta menjadi pilar penting tim di sekolahnya, saingannya yang bernama Rachel (Julia Schlaepfer) paham akan hal itu begitupula dengan sahabat Lennie, Sarah (Ji-young Yoo). Tapi suatu hari Lennie mengalami masalah saat tampil, ia tidak dapat meniup dengan baik clarinet miliknya, bahkan tidak ada bunyi lantang yang keluar dari alat musiknya. Itu merupakan dampak dari perasaan sedih yang ternyata masih berkuasa di dalam pikiran dan hati Lennie, berasal dari Bailey (Havana Rose Liu).

Bailey adalah saudara perempuan Lennie, sejak kecil mereka berdua telah dirawat oleh sang nenek, Gram Walker (Cherry Jones) bersama anaknya Big (Jason Segel) yang mereka panggil Uncle Big. Bailey meninggal dunia secara tiba-tiba, kematiannya meninggalkan kesedihan mendalam bagi Lennie, yang bahkan meminta Gram untuk tidak merapihkan kamar Bailey. Lennie merasa kehilangan harapan dan ambisi untuk mengejar mimpinya, hingga suatu hari hadir teman sekolahnya, Joe Fontaine (Jacques Colimon) yang lantas mencoba menghibur Lennie. Celakanya di sisi lain Toby (Pico Alexander) juga kembali hadir di dalam hidup Lennie, mantan pacar Bailey yang justru mampu membuat Lennie merasakan lagi kehadiran Bailey di hidupnya.

Saya bukan pengagum berat novel yang menjadi sumber cerita film ini, punya judul sama ditulis oleh Jandy Nelson yang di sini berperan sebagai screenwriter, namun di balik beberapa kekurangannya novel ‘The Sky Is Everywhere’ tergolong berhasil saat mencoba mendorong isu tentang suka dan duka yang dialami oleh karakter Lennie, bagaimana is mengatasi kesedihan, discovering herself, dan dibuat sadar akan arti penting di balik ikatan pertemanan dan juga tentunya keluarga. That book has big hearts dan meskipun tidak berada di level superior mampu menghibur karena tampil liris layaknya puisi, sebuah asset terbesar novel tersebut yang coba diterjemahkan oleh Jandy Nelson ke dalam bentuk script film layar lebar di sini, penggambaran kondisi bingung seseorang saat ia kesulitan mengatasi kesedihannya.


Konflik utamanya menarik, dan saya suka Josephine Decker juga mampu menaruh di posisi terdepan kesan bahwa ada potensi masalah besar yang akan muncul. Tidak heran meskipun narasi kemudian berisikan aksi tarik ulur di dalam pikiran dan hati Lennie yang cenderung statis tidak ada rasa jengkel untuk menantikan konklusi tiba, I feel invested in her walaupun jika dibandingkan dengan novel maka di sini mereka hadir dengan motif yang lebih lemah. Duka dan cinta jadi penyebab berbagai “hal buruk” yang dilakukan oleh Lennie, mungkin jika dilihat dari sisi paling simple maka guliran masalah akan tampak “menjijikkan” atau aneh tapi trauma dampak dari rasa kehilangan punya kekuatan yang sebenarnya berada di luar nalar manusia, mampu membuatmu terkejut dan itu yang dialami Lennie. A portrait of loss.

Tapi sayang sekali fokus pada isu dan pesan utama tidak dikendalikan dengan baik oleh Josephine Decker, ia justru membuat cerita seperti terlalu asyik bermain-main di dalam dreamlike experience yang tidak semuanya berfungsi dengan baik, justru kerap membuat cerita seperti berputar-putar saja serta secara perlahan menggeser pandangan penonton terhadap Lennie. Aksi Lennie sangat mudah untuk membuat penonton merasa jengkel and I can see why akibat beberapa blunder yang ia lakukan, tapi justru karakter utama wanita kita itu punya layer yang menarik, bahwa dia sebenarnya wanita muda yang terperangkap dalam rasa bingung dan takut akibat sikap yang "tertutup" sejak tragedi yang menimpa Bailey. Hal itu yang seharusnya Josephine Decker dorong, bukan justru membuat Lennie menjadi selfish bitch.


Itu blunder dari Josephine Decker yang juga membuat penonton jadi merasa enggan berinvestasi emosi penuh pada perjuangan Lennie untuk lepas dari kesedihan lewat datangnya suka dalam bentuk perasaan cinta. Sejak awal ambivalensi yang terjadi di dalam otak dan hatinya merupakan sesuatu yang wajar, di satu sisi kita mengerti ia ingin move on tapi di sisi lain sikap menolak yang ia tunjukkan untuk “membuang” kenangan indah akan saudara perempuannya juga adalah sesuatu yang wajar dan dapat dimengerti. Termasuk ketika muncul sengatan listrik antara dirinya dengan Toby, sosok yang membuat Lennie merasa “dekat” dengan mendiang kakaknya itu. Aneh memang tapi sebenarnya itu adalah kesedihan yang hakiki, hal yang coba dieksploitasi oleh Josephine Decker, there's a charming passion but never quite worked.

‘The Sky Is Everywhere’ punya energi yang oke tapi narasi kesulitan untuk konsisten berdiri kokoh di tiap bagian cerita, yang merupakan kombinasi berbagai macam warna dari grief drama, music, romance, dan bumbu komedi. Mereka juggling satu sama lain sehingga sering terjadi pergeseran tone, teknik yang cukup oke dalam mempertahankan energi tadi tapi sayangnya membuat saya merasa sedikit kesulitan untuk enjoy di dalam gejolak penuh ambivalensi yang coba ditawarkan. Sesuatu yang sebenarnya terasa sangat potensial sejak awal tapi sayangnya kurang berhasil ditata lebih solid lagi pada koneksi antar tiap bagian, kontrol yang kurang oke sehingga ada yang terlalu statis dan ada bagian yang terasa terburu-buru, seperti romance antara Lennie dan Joe itu, lebih banyak menceritakan ketimbang menunjukkan.


Tidak heran jika film ini jadi tersegmentasi karena hasil akhirnya sangat bergantung bagaimana penonton menginterpretasi masalah dan sikap Lennie ketika berurusan dengan beberapa masalah di dalam hidupnya. Josephine Decker dan Jandy Nelson mengurai cerita dengan baik di sini, ada hubungan sebab dan akibat yang oke namun mereka kurang berhasil membuat pesona dari isu dan pesan yang terkandung di dalam cerita tadi menjadi terasa menonjol, at least untuk sama seperti kinerja akting dari Grace Kaufman yang tampil oke sebagai Lennie, di balik motifnya yang tidak terlalu kuat Grace Kaufman konsisten menghadirkan energi yang menarik. Sayang secondary characters tidak sama menariknya, termasuk Jacques Colimon yang kurang berhasil membuat pesona Joe bersinar konsisten, begitupula dengan Pico Alexander.

Overall, ‘The Sky Is Everywhere’ adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah kisah yang berpusat pada kehilangan seseorang bisa menjadi sajian yang emosional tapi juga harus bisa make you feel uplifted. Adaptasi dari salah satu the best-selling novel ini berhasil menjadi poin pertama tadi lengkap dengan bumbu coming-of-age, tapi kurang mampu menjadi sesuatu yang lebih penting dari sekedar sebuah kisah sederhana tentang kesedihan yang tampil dengan presentasi quirky. Pesona penting di novel absen di sini, meskipun tidak hadir rasa jengkel sepanjang durasi tapi jelas saya kecewa film ini tidak punya motif dan juga hati yang kuat seperti yang dimiliki novelnya itu. Mungkin hasil akhirnya dapat terasa lebih baik bagi penonton yang tidak membaca novelnya sebelum menonton, karena harus diakui energi film ini sangat oke. Beautifully shot too, and also on target despite all those minuses. Segmented.






1 comment :