14 January 2022

Movie Review: Eternals (2021)

"When you love something, you protect it. It is the most natural thing in the world."

Momen Thanos menjentikkan jari di ‘Avengers: Infinity War’ menciptakan masalah bagi para superhero di MCU, namun juga ruang untuk berbicara lebih tentang arti penting the human race yang kala itu membuat momen perpisahan Iron Man terasa sangat heroic. Timeline mereka memang jadi sedikit “kacau” pasca Endgame tapi itu bagian dari rencana Marvel mengembangkan universe, memakai media televisi yang dimulai dari ‘WandaVision’ tiga minggu pasca Endgame lalu disusul ‘The Falcon and the Winter Soldier’, ‘Loki’, dan ‘Hawkeye’ di tahun 2021. Sama seperti serial televisi tadi setting waktu dua film Spider-Man juga berlangsung pasca Endgame, mengalami time jump ke tahun 2023 dan 2024. Termasuk pasukan superhero terbaru ini, which Marvel considered to be a perfect transition into its next phase of films. ‘Eternals’: an explicit statement from Marvel.


5000 SM, sepuluh Eternals berkekuatan super: Ajak (Salma Hayek), Sersi (Gemma Chan), Ikaris (Richard Madden), Kingo (Kumail Nanjiani), Phastos (Brian Tyree Henry), Sprite (Lia McHugh), Makkari (Lauren Ridloff), Druig (Barry Keoghan), Gilgamesh (Ma Dong-seok), dan Thena (Angelina Jolie) ditugaskan oleh Celestial Arishem ke Bumi dengan kapal luar angkasa mereka, Domo, untuk memusnahkan the Deviant yang invasif. Di tahun 1521 Deviants terakhir berhasil dibunuh namun hal tersebut justru membuat para anggota Deviants tidak lagi punya misi yang sama. Mereka memilih hidup terpisah satu sama lain sambil menunggu kabar pemanggilan dari Arishem. 500 tahun kemudian the Deviant Kro (Bill Skarsgård) menyerang Sersi dan Sprite bersama kekasih baru Sersi, Dane Whitman (Kit Harington).

The Deviants kembali ke bumi untuk mempersiapkan the Emergence, mekarnya bibit yang jutaan tahun lalu telah ditanam oleh the Celestials di planet berpopulasi agar Celestial baru lahir. The Deviants pada awalnya dikirim untuk menghancurkan the apex predators dan memastikan pengembangan kehidupan cerdas, namun evolusi yang salah membuat the Celestial menciptakan the Eternals untuk memusnahkan mereka. Bumi sendiri telah mencapai populasi yang diperlukan untuk kelahiran the Celestial Tiamut akibat aksi the Blip yang dilakukan oleh Thanos, which will result in Earth's destruction. Sadar akan hal itu the Eternals memutuskan untuk berkumpul kembali dan di bawah pimpinan Sersi berusaha untuk menggagalkan terjadinya the Emergence, once again forced to defend humanity.

Chloé Zhao menyebut ‘Eternals’ sebagai “melting pot of influences” sehingga ruang yang luas pada script untuk menunjang proses world-building merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, membangun dunia baru serta menjalin koneksi dengan existing story di dalam MCU butuh waktu memang. Tapi sayang terasa kurang lincah. Chloé Zhao clearly bring her own take here, pendekatannya terhadap cerita dan juga karakter akan terasa sedikit berbeda jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Sutradara dan Screenwriter film-film MCU sebelumnya, meskipun di sisi lainnya Chloé Zhao tetap bertumpu pada formula Marvel. Template-nya yang berbeda di sini, sedikit mengesampingkan ingar-bingar action sequences dan lebih mendorong agar terdapat intimacy di antara para karakter dan manusia yang terasa mendominasi.


Tujuan dari keputusan tersebut dapat dipahami dan eksekusinya juga tidak terasa buruk, script yang Chloé Zhao tulis bersama Patrick Burleigh, Ryan Firpo, dan Kaz Firpo itu juga secara implisit berhasil mendorong beberapa isu dengan baik, seperti identitas, tujuan, keyakinan, dan personal freedom. Kental terasa upaya menjadikan ‘Eternals’ lebih dari sekedar film superheroes dan mungkin bukan hanya saya saja tapi juga telah diantisipasi pula oleh banyak calon penonton lain kala Chloé Zhao ditunjuk sebagai Sutradara. ‘Songs My Brothers Taught Me’ merupakan sebuah film drama natural dengan resonansi emosional sedangkan ‘The Rider’ sangat kuat dalam “menggambarkan manusia” dan sentuhan yang sama pula Chloé Zhao sajikan di sini lewat para karakter Eternals yang tampil dengan konsep a family unit.

Konsep “menyelamatkan bumi” di sini juga sedikit berbeda dibandingkan dengan film-film superhero pada umumnya, memang tetap mengandalkan pengorbanan tapi jelas menempatkan konflik internal sebagai spotlight. Taruhannya sendiri mungkin tidak terasa mengerikan dari tampak luarnya tapi jika ditelisik lebih dalam ‘Eternals’ sejajar dengan ‘Endgame’ yang penuh dengan superhero melawan Thanos. Terdapat permainan konsekuensi di sini lalu di situlah Chloé Zhao bersama tim menempatkan pesan tentang humanity yang coba mereka usung sejak awal, dan mencoba membuat kisah superhero ini bermain layaknya cinematic poetry dengan sokongan permainan mood ala Terrence Malick. Hal tersebut yang menyebabkan ‘Eternals’ terasa berbeda dan justru cenderung segmented, karena dengan bendera Marvel di posisi terdepan ekspektasi dan harapan penonton jelas sebuah sajian yang ringan dan santai.


Skenario yang disusun refuses simplicity, menarik penonton ke dalam cerita yang kompleks di mana sumber-sumber kemanusiaan berakar pada pertempuran spasial, mendorong pertimbangan filosofis dan spiritual dalam pertarungan kekuatan ilahi dengan kejahatan. Kompleksitas cerita terasa menarik, eksposisi terhadap hubungan sebab dan akibat sangat mudah dipahami tapi sayang kurang mampu membentuk serta mengembangkan excitement. Permasalahan terbesar Eternals terletak di sana, ketika cerita dan pesona karakter mulai terbentuk tapi menunggu, ends up running out of steam di dalam narasi non-linear juga punya potensi yang sangat besar untuk terasa mengganggu bagi beberapa penonton, meskipun intensi yang tersimpan di dalamnya sebenarnya jauh dari kesan buruk.

Chloé Zhao terlalu sibuk membentuk kumpulan karakter dan konflik sehingga lupa memoles excitement di kedua aspek tersebut. Hingga tiba di titik tengah dari total durasi yang panjangnya 157 menit saya terus kesulitan membangun rasa penasaran saya sendiri terhadap kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya. Chloé Zhao menaruh fokus yang terlalu besar pada konflik dan pengembangannya ketimbang mencoba memberi akses yang mudah bagi penonton untuk larut dan semakin terikat dengan jalannya narasi. Kisah seperti ini bisa disiasati dengan menaruh satu sosok villain kuat sebagai pusat tapi sayang hal tersebut absen, the Eternals counterparts, the Deviants, justru lebih terasa seperti para monster biasa yang berkeliaran tanpa memiliki kemampuan menebar tekanan bagi the Eternals, yang tampak santai pula sebelum tiba di babak ketiga.


Ada eskalasi yang cukup mumpuni di babak ketiga, visual effects dengan permainan warna dan sound yang oke tergolong cukup baik menarik excitement penontonnya yang mungkin telah lelah serta bosan berjalan bersama narasi dengan pendekatan eklektik yang does not always convince itu. Narasi juga kikuk dalam membangun dinamika, terasa disjointed bahkan untuk transisi sederhana sehingga permainan mood yang coba didorong terasa maju dan mundur, selalu sibuk dengan momentum build-up. Pacing tidak buruk tapi jelas menjadi masalah yang terlihat begitupula character development, not all the casts fit in pretty well with their characters, terasa canggung dan kurang oke dalam mempresentasikan pesona karakternya, ada yang hambar, kikuk, dan kurang tergali, disayangkan mengingat ada ruang luas tersedia.

Overall, ‘Eternals adalah film yang kurang memuaskan. Saya suka dengan approach yang diterapkan Chloé Zhao, terasa segar serta mampu menunjukkan visi dan misi Marvel terhadap tim baru mereka ini, meskipun memang keputusan untuk membuat ini tampil layaknya sebuah cinematic poetry membuat kisah yang mencoba untuk mendorong isu-isu seperti the right to be different, individualism and globalism ini jadi terasa “berbeda” dengan film MCU lain. Has the potential to feel mesmerizing but does not always convincing, Chloé Zhao terlalu sibuk membentuk karakter dan konflik sehingga lupa memoles excitement. Setidaknya ‘Eternals’ merupakan sebuah pernyataan yang sangat eksplisit dan terbuka dari Marvel, salah satunya bahwa sama seperti kompetitornya mereka juga bisa membuat film superhero yang just so-so. Segmented.







1 comment :

  1. “I think we must learn from our mistakes and do better. You must not give up hope.”

    ReplyDelete