06 December 2021

Movie Review: Last Night in Soho (2021)

“Do you believe in ghosts?”

Edgar Howard Wright adalah seorang sutradara, penulis skenario, dan produser film Inggris yang dikenal karena film genre satirnya yang bergerak cepat dan kinetik, menampilkan penggunaan ekstensif musik populer yang ekspresif dalam bahasa sinematik yang cantik dan gaya pengeditan khas yang mencakup transisi, whip pans, dan wipes. Film yang ia tulis dan sutradarai selalu memiliki pesona unik serta gila yang kuat, hampir menjadi Sutradara ‘Ant-Man’ di film terakhirnya ia menyajikan car-chase layaknya opera dengan musik yang asyik, yakni ‘Baby Driver’. Kali ini Edgar Wright kembali dengan dark fairy tale with delightful nightmarish horror. ‘Last Night in Soho’: stylish, sexy, and sensual psychological horror. It’s a dancing horror.


Wanita muda bernama Eloise Turner (Thomasin Mckenzie) tumbuh besar di kawasan pedesaan Inggris di bawah asuhan sang nenek sejak kedua orangtuanya meninggal dunia. Ia adalah sosok yang unik, cenderung lebih suka pada ’60s fashion and culture dan impian terbesarnya adalah untuk menjadi fashion designer, sama seperti Ibunya yang bunuh diri ketika Eloise masih kecil. Suatu hari wanita dengan nickname Ellie itu mendapat kesempatan mengejar mimpinya, ia diterima di the London College of Fashion dan memutuskan untuk pindah ke London. Tidak ada yang salah dengan skill milik Ellie di bidang fashion, yang menjadi masalah baginya justru berasal dari lingkungan baru dan psikologisnya.

Sambutan positif dari pria bernama John (Michael Ajao) adalah kebalikan sikap Jocasta (Synnøve Karlsen), teman sekamar Ellie yang sombong. Merasa tidak nyaman Ellie yang sesekali dapat melihat sosok Ibunya di kaca cermin memutuskan untuk pindah ke 8 Goodge Place, Goodge Street, lantai atas sebuah rumah tua yang dikelola Ms Collins (Diana Rigg). Ellie sangat suka dengan tempat tinggal barunya hingga di malam hari ia bermimpi kembali ke tahun 1960-an dan masuk ke the Café de Paris. Sejak itu Ellie merasa dekat dengan Sandie (Anya Taylor-Joy), wanita muda berambut pirang yang ingin menjadi penyanyi, sedang menjalin hubungan dengan charming manager, Jack (Matt Smith).

Awalnya biasa saja, tentu dari segi cerita bukan visual yang di bawah arahan Chung Chung-hoon langsung memanjakan mata penontonnya dengan sudut-sudut gambar nan manis, berkenalan dengan wanita muda bernama Eloise yang tidak butuh waktu lama menunjukkan pesona gigih miliknya. Ellie ini sebenarnya karakter yang lebih cenderung mencoba menarikmu mendekat padanya secara perlahan, latar belakang masalah terkait kisah kelam dari kedua orangtuanya menciptakan kombinasi yang terasa kontras dengan energi positif yang terpancar, begitupun dengan sikap ragu dan malu yang Ellie punya dampak dari lingkungan baru. Sangat mudah untuk ingin tahu dengan apa saja yang akan Ellie lakukan di London tapi meski demikian butuh waktu bagi Edgar Wright untuk menata pondasi utama cerita.


Di dalam kisah yang ia tulis dan kemudian dikembangkan menjadi script bersama Krysty Wilson-Cairns ini Edgar Wright seperti ini menggabungkan modern dan klasik dalam satu wadah yang lantas diaduk menggunakan elemen horror. Di ‘Baby Driver’ dia benar-benar bermain pure action yang tentu ditemani dengan komedi namun di sini penonton seperti dibawa masuk ke dalam sebuah dunia unik dan gila yang bisa dikatakan merupakan alasan Edgar Wright berhasil meraih atensi sangat besar di awal karirnya dulu. Kesan eksentrik di elemen horor membuat saya banyak teringat pada ‘Shaun of the Dead’, sedangkan kondisi Ellie yang mencoba “menemukan” pijakan hidup tipenya satu kelas dengan Scott di film ‘Scott Pilgrim vs. the World’.

Well, tidak menandakan film ini merupakan gabungan dari berbagai filmnya yang terdahulu dan bahwa Edgar Wright kehabisan ide, justru sebaliknya yakni bagaimana ia membentuk berbagai macam charm dari film-film tersebut ke dalam satu wadah yang membuat para penonton yang telah “mengenalnya” sangat mudah terkesima dengan film yang dijual sebagai psychological horror ini. Kamu akan dibuat terkejut pula dengan kemampuan Edgar Wright menjadikan horor tampak stylish, semacam homage yang menunjukkan bagaimana dia merupakan salah satu filmmakers yang selalu mampu memainkan dan membentuk berbagai rentetan referensi dengan baik, kecintaannya pada cinema yang ia tunjukkan dalam bentuk dalam satire bergenre dengan pengemasan yang cerdik penuh bahasa sinematik yang cantik.


‘Last Night In Soho’ merupakan homage bagi thrill film-film horror era tahun 60-an hingga mungkin awal tahun 70-an, horror-thriller yang menggabungkan suspense manis bersama striking visual style. Di sini kesan meta terasa sangat kental, Wright secara playful menjadikan Ellie dan Sandie sebagai pion yang membuat komentar kritis terhadap dirinya sendiri, swinging dalam urutan yang telah dikoreografikan dengan baik. Momen ketika jaket Ellie diambil dan kamera mengubah fokus ke arah kaca cermin di belakangnya merupakan momen yang memantik api untuk bergelora di dalam cerita, disusul dengan adegan menuruni tangga oleh Sandie dengan kejutan cantik pada cermin di sampingnya. Film ini seperti menari, editing terasa bersih (that dance sequence is an easy star), sound design juga oke. Cinematography juga cantik.

Visual ‘Last Night in Soho’ memang benar-benar on point tapi tidak hanya sebatas memanjakan mata saja, bermain dengan neon penuh warna primer seperti biru dan merah mereka digunakan oleh Edgar Wright untuk menciptakan sensasi eksploitatif dari beban psikologis yang sedang dihadapi Ellie. Bersama dengan cinematographer Chung Hoon-chung, Wright melakukan juggling terhadap berbagai macam perbuatan brutal yang secara kumulatif semakin mengganggu sisi psikologi karakter utamanya, semacam exercise bagi karakter yang berasal dari satu lagi bagian klasik dari genre horror, yakni haunted house. Semua dikemas secara stylish dengan sensuality yang seksi namun tetap elegan, ‘Last Night in Soho’ adalah arena bagi Wright mewujudkan hasratnya pada atmosphere exercise, labirin mimpi buruk dengan neon dan kaca.


Dan tentu saja irama. Edgar Wright kembali menggunakan musik and the soundtrack kembali tidak mengecewakan, mereka seperti kembang api yang menambah ledakan di dalam cerita, menyuntikkan energi hingga memperdalam emosi. Atmosfir intens yang manis dalam narasi yang bergerak cepat itu jadi terasa konsisten kualitasnya dan membantu protagonisnya untuk berkembang dengan baik. Thomasin McKenzie jadi semakin mudah menampilkan seorang wanita muda yang bertemu sebuah krisis psikologi yang menghantui, ekspresi khawatir terasa padat di hampir semua scenes, sebuah acting performances yang subtly enchanting. Sandie juga berhasil menjadi misteri yang seksi di tangan Anya-Taylor Joy, pada awalnya didorong sebagai alter ego, Sandie memang tidak punya depth seperti Ellie tapi pesonanya mengingatkan saya pada Joi di ‘Blade Runner 2049’.

Overall, ‘Last Night in Soho’ adalah film yang memuaskan. Film terbarunya ini jelas sebuah sajian style over substance namun bukan berarti dunia unik dan gila di mana kamu dibawa masuk oleh Edgar Wright itu terasa hampa, justru telah menunggu sebuah psychological exercise yang terasa brutal tapi seksi, psychological horror yang menggabungkan suspense manis bersama striking visual style yang memang benar-benar on point. Disokong soundtrack yang bekerja layaknya kembang api bagi narasi serta acting performances yang terasa subtly enchanting, ‘Last Night in Soho’ adalah ‘Promising Young Woman’ untuk tahun 2021, kompilasi thrill yang menari seksi dan electrifying. Another cult classic potential from Edgar Wright. Segmented.






1 comment :