03 October 2021

Movie Review: Becoming Mona (2020)

“You’re too good for this world.”

Gejolak emosi itu memang melelahkan. Tekanan ekstra yang muncul di dalam sistem emosimu dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah, tentu di antara mereka mayoritas berupa penyakit seperti sakit kepala misalnya hingga insomnia, sesuatu yang jika dibiarkan tetap eksis tanpa upaya untuk dilawan atau diubah maka suatu saat rasa sakit emosional itu perlahan akan mengikis tidak hanya energi fisikmu saja namun juga energi mental, membuat benteng pertahananmu perlahan goyah dan puncaknya “ledakan emosi” yang membuatmu jatuh menyerah. Karakter utama film ini dipaksa untuk melayani ego orang lain, hence she becomes a monster. ‘Becoming Mona (Kom hier dat ik u kus)’ : Curb Your Emotions.


Ia harus mengucapkan kata maaf dan menyesal atas perbuatannya terlebih dahulu baru diijinkan oleh Ibunya dapat bergabung makan bersama sang Ayah, Vincent (Tom Vermeir). Namanya Mona (Olivia Landuyt) dan celakanya sang Ibu meninggal dunia, memaksanya untuk menyesuaikan diri dengan wanita baru pilihan sang Ayah untuk menjadi Ibu tiri mereka, yakni Marie (Wine Dierickx) yang tampak kesulitan mengendalikan emosinya, amarah Marie bahkan sempat membuat Mona mencoba melukai dirinya sendiri dengan menggunakan rokok. Mona merupakan anak sulung dan memiliki dua orang adik, Alexander (Tijmen Govaerts) dan saudara tiri bernama Ansofie (Kyra Verreydt).

Tumbuh dewasa bukan berarti menjadi semakin mudah bagi Mona (Tanya Zabarylo) untuk mengatasi ego orang-orang di sekitarnya, bekerja sebagai seorang playwright ia bahkan harus terus sabar meladeni tingkah boss-nya Marcus (Stefan Perceval) yang selalu bekerja dengan emosi tinggi. Begitupula ketika Mona bertemu dengan sesosok pria yang mampu membuatnya jatuh hati, Louis (Valentijn Dhaenens) yang ternyata perfeksionis berhati dingin. Berbagai cobaan baik di dalam keluarga, kisah cinta, dan tempat kerja terus memaksa Mona untuk berjuang mengendalikan emosinya akibat letting people walk all over her.

Judul film ini dalam bahasa aslinya yakni dutch adalah ‘Kom hier dat ik u kus’ yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris maka akan bermakna “Come here I kiss you” dan itu merupakan pemilihan judul yang sangat mewakili keseluruhan film ini. Tanpa basa-basi duet Sutradara Sabine Lubbe Bakker dan juga Niels van Koevorden langsung menunjukkan kepada penonton siapa karakter utama bernama Mona itu, dan bagaimana hidupnya sedang berjalan kemudian. Dihukum sebuah basement, mengatakan maaf baru ia kemudian diberi ijin untuk ikut bergabung makan bersama kedua orangtuanya, itu jelas bukan sebuah scene pembuka yang biasa, dari awal saja penonton sudah dibuat merasakan ada tekanan yang berlebih di dalam diri Mona.


Ya, dari sana penonton dapat dengan mudah berasumsi bahwa Mona merupakan seorang anak perempuan yang masa kecilnya harus “tersiksa” dengan peraturan ketat kedua orangtuanya. Peraturan ketat itu sendiri tidak pernah ditampilkan oleh Sabine dan Niels secara gamblang namun di posisi terdepan kamu bisa lihat bahwa dampak dari kualitas emosi orangtuanya merusak masa kecil seorang Mona. Sesuatu yang jujur saja masih sangat mudah untuk kamu temukan sekarang ini, apalagi jika yang terjadi situasi seperti kedua orang tua Mona yang tampak dingin satu sama lain sebelum kejutan besar itu tiba, sebuah kejutan yang kehadirannya terasa sangat awal memang namun bukan sesuatu yang terasa ganjil eksistensinya.

Justru membuka jalan bagi Mona untuk masuk ke dalam perjuangan hidup penuh tantangan yang semakin berat lagi. Sejak ia mengatakan maaf dan bergabung makan di adegan pembuka itu kita dapat lihat anak perempuan ini memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang sangat baik. Mona mungkin terlihat seperti seorang anak perempuan dengan perawakan yang sangat tenang, ketika ia diberi tahu berita tragis yang menimpa Ibunya ia tampak bingung namun ada emosi yang manis bermain di wajahnya. Emosi yang juga bekerja efektif untuk menunjukkan kepada penonton penilaian atau sikap yang Mona miliki selama ini terhadap kedua orangtuanya. Itu yang coba ditonjolkan oleh Sabine dan Niels dengan menempatkan pesona utama layaknya sebuah film dokumenter berkombinasi dengan studi karakter.


Sabine dan Niels sebelumnya merupakan Sutradara film dokumenter, ini merupakan film fiksi layar lebar pertama mereka tidak heran bagaimana kamera menangkap apa yang sedang terjadi di dalam diri dan kehidupan Mona serta tentu saja lingkungan sekitarnya punya pesona authentic yang mumpuni. Kita tidak seperti menyaksikan panggung drama sandiwara semata melainkan sama seperti judulnya ikut dibawa mengamati kehidupan Mona dalam jarak yang dekat untuk kemudian menjadi Mona, becoming Mona, seolah berjalan di sampingnya dan ikut merasakan “kesulitan” yang sedang ia hadapi. Tidak heran jika di banyak scene saya seperti ingin memberikan pelukan hangat sederhana pada Mona, dalam diam ada rasa sakit yang ia tunjukkan.

Dalam diam Mona tampak seperti berusaha keras untuk terus tegar menahan beban masalah yang sedang ia hadapi, meskipun di sisi lain satu per satu semua semakin menumpuk dan membuat beban di pundaknya terasa semakin berat. Ada tiga babak di sini: mother, love, and father, ketiganya berfungsi membagi cerita sehingga punya fokus terhadap sumber gejolak emosi Mona yang meski tampak dingin namun dari tatapan matanya serta air muka ada gejolak emosi tampil manis di sana. Penonton digiring untuk berasumsi bahwa hadirnya Ibu tiri akan membuat kehidupan Mona menjadi semakin sulit tapi ternyata permasalahannya bukan hanya dari wanita baru di dalam hidup Mona itu.


Being supportive daughter, sister, employee, selfish lover, and also listener, semua ditempatkan Mona sebagai beban, terlebih dengan statusnya sebagai anak sulung. Mona dipaksa untuk “melayani” ego orang-orang di sekitarnya, terus menempatkan kebahagiaan mereka sebagai hal paling penting untuk ia ciptakan hingga membuat dirinya lupa pada kebahagiaan miliknya sendiri. Mona adalah bom waktu dan pesona itu terjaga dengan baik sejak awal hingga akhir, kamera membentuk kesan intim dengan manis untuk menunjang dramaturgi penuh aksi-reaksi yang memikat. Aktor tentu punya peran penting di sana dan jajaran cast merupakan tim yang understated aktingnya, kecuali Tanya Zabarylo, dia sangat memikat. Aktor young Mona juga.

Overall, ‘Becoming Mona (Kom hier dat ik u kus)’ adalah film yang memuaskan. Ada banyak masalah bagi karakter utama kita dan semua bertumpu pada personal fight yang ia hadapi melawan beban emosi, kisah dari novel karya Griet Op De Beeck yang dibentuk oleh Sutradara Sabine dan Niels menjadi pertunjukkan mengendalikan emosi yang lembut, intim, dan manis, character study yang menempatkan penonton berempati pada eksistensi emosi di dalam diri Mona yang menjadi penggambaran terhadap bahaya yang dimiliki oleh gejolak emosi yang tidak dapat lagi dikendalikan. Pertanyaan di sini apakah dunia di sekitar Mona yang salah, atau justru Mona yang salah? Such a poignant tragicomic. Ring-a-ling, hear them ring!






EOS 2021

1 comment :

  1. “There’s a lot of frustration involved. It’s not easy. But you need a seed, something. A feeling you can’t really describe. Then you start to write around that feeling. And then hopefully you’re off. But it’a a lot of waiting, trying and despairing.”

    ReplyDelete