06 September 2021

Movie Review: Selesai (2021)

“Modal hotel jangan di mobil. Murahan!”

Ketika menciptakan sebuah karya terdapat beberapa hal penting yang harus eksis di dalamnya, salah satunya adalah ambisi dan percaya diri, dan film ini memiliki dua hal tersebut tadi. Tapi ada satu hal penting lain yang kerap terlupakan yakni ketika ambisi tadi kemudian tidak terkendali dan membuat rencana yang telah disusun lalu tidak tercapai atau bahkan mungkin membuat semuanya menjadi berantakan. Film ini mencoba mendorong kehadapan penonton satu polemik klasik ketika kita bicara tentang cinta, yakni perselingkuhan, sebuah dramatisasi dengan ambisi dan percaya diri yang oke. Apakah keduanya terkendali? Apakah ini berdasarkan kisah nyata?  ‘Selesai’ : campursari jilid dua dari Tompi dan kolega.


Kehidupan wanita bernama Ayudina Samara (Ariel Tatum) tampak normal dan juga bahagia sebenarnya, Istri dari Broto Hadisutedjo (Gading Marten) itu tinggal bilang saja apa yang dia mau kepada Yani (Tika Panggabean), pembantunya, maka wanita centil itu akan melaksanakan perintah atau permintaan Ayu. Suatu hari Ayu hendak pergi ke pasar dan ia pamit ke Broto, tapi tidak begitu lama dari momen ketika Ayu melangkah keluar rumah ia telah kembali namun kini dengan membawa satu kejutan bagi Broto, yakni celana dalam berwarna merah yang bertuliskan nama Anya. Broto berkilah ia tidak tahu itu celana dalam siapa.

Meski ia memang sedang menjalin hubungan terlarang dengan wanita bernama sama, Anya (Anya Geraldine). Akibat celana dalam itu Ayu lantas meminta cerai pada Broto tapi di saat bersamaan dua kejutan lain juga muncul. Yang pertama melalui Sriwedari Hadisutedjo (Marini Soerjosoemarno), wanita paruh baya dan ibu dari Broto yang mendadak berkunjung ke rumah anaknya itu, dan yang kedua berita bahwa pemerintah akan menerapkan lockdown dan mengunci seluruh warga di dalam rumah mereka masing-masing, Yani juga tidak bisa bertemu Bambang (Imam Darto). Celakanya kejutan tidak berhenti di sana.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ide yang coba dituangkan oleh Imam Darto selaku penulis cerita di sini, bahkan menurut saya yang coba ia sodorkan itu adalah sebuah fakta yang mungkin saja telah menjadi sesuatu yang normal saat ini, tentu terlepas dari isu gender dari si pelaku. Kebetulan saja yang menjadi sorotan utama di sini adalah seorang wanita bernama Ayudina, tapi yang sedang dialami oleh Ayu sebenarnya juga dapat menimpa dan terjadi pada para pria. So, first of all saya ingin mencoba memisahkan isu gender ini agar tidak menjadi sesuatu yang sensitif dan menutup mata kamu sebagai penonton terhadap isu dan pesan yang sebenarnya beberapa di antara mereka tidak buruk, meskipun memang tidak matang.


Pendekatan yang coba diterapkan di ‘Selesai’ jelas berbeda dengan yang dulu mereka tampilkan di ‘Pretty Boys’, tapi di awal Tompi mengakomodir dengan cukup baik ide yang ditulis Imam Darto di mana yang paling mencolok adalah bagaimana bahaya yang dapat timbul dari obsesi berlebih ketika sudah bercampur dengan rasa benci. Sangat mudah untuk menilai Ayu sebagai manusia dengan libido yang tinggi ketika mengetahui bahwa ia punya alat vibrator, tapi fokusnya justru tidak ke sana namun tertuju pada permasalahan perselingkuhan yang disinyalir tengah terjadi di antara Broto dan Anya. Pola ini terus di jaga dengan baik oleh Tompi hingga kejutan tiba.

Terjaga dengan baik at least untuk sekedar mempertahankan rasa ingin tahu saya terhadap apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam rumah yang seolah ingin mencoba bermain visual dengan berbagai warna itu. Kejutan mungkin menjadi jalan bagi Imam Darto untuk mengembangkan eksposisi pada ceritanya, meskipun punch yang dihasilkan tidak kuat tapi tidak sampai mengganggu irama narasi yang sejak awal terasa kurang dinamis itu. Yang punchy itu Yani, bahkan dapat dikatakan mendominasi di sini, fungsi dan perannya berjalan dengan baik untuk membuka pintu bagi gejolak kisah cinta segitiga itu, sebuah polemik percintaan yang sempat membuat berpikir apa status sebenarnya seorang Gading di sini.


Apakah Gading hanya jadi narasumber di sini? Karena it’s fair to say karakter Broto tidak terasa dominan di sini, Yani bahkan menempati posisi kedua setelah Ayu yang terus berkutat dengan emosi yang tidak jelas itu. Nah, ini yang menarik, setelah awal yang cukup oke itu film ini kemudian bergeser menjadi sebuah panggung sandiwara yang tidak jelas mau berjalan ke arah mana. Penyebabnya adalah tidak terkendalinya tatanan cerita yang ditulis oleh Imam Darto, dan timing, dinamika, serta pendekatan Tompi terhadap isu di dalam cerita. Di sini editing juga ikut andil, konflik utama kerap kecolongan dan kalah menarik ketimbang action seorang Yani dengan konflik sederhananya itu.

Hal terakhir tadi yang terasa sangat mengganggu bagi saya, Yani jelas memiliki peran penting bagi cerita tapi bagaimana bisa ia mengalahkan konflik utama yang berisikan tiga karakter dengan isu yang sudah berhasil mencuri perhatian itu? Bahkan terasa miris jika melihat karakter Anya yang terasa kurang dimanfaatkan lebih jauh, ia bisa saja menjadi minyak yang membuat kobaran api masalah semakin besar meskipun pada akhirnya spotlight utama tidak mengarah ke sana. Dramatisasi-nya terasa lesu dan narasi seolah hanya menunggu momen yang tepat untuk mengungkap kejutan itu, bukan membuat konflik menjadi semakin kuat agar isu dan pesan menjadi semakin hebat. Cerita juga lockdown, ia terkunci dan tidak berkembang dengan baik.


Padahal di dalam cerita terkandung ironi yang besar terkait hubungan dari berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lain, yakni antara manusia, cinta, serta obsesi dan emosi yang tidak terkendali dengan baik. Tersampaikan memang namun seperti yang saya sebut di atas tadi kualitasnya terasa tidak matang, sama seperti kinerja akting para aktor. Tika Panggabean (Ali & Ratu Ratu Queens) jelas menjadi yang paling bersinar, Yani ia bentuk menjadi sosok yang menarik untuk diikuti meski tidak selalu lucu, sedang yang terburuk antara Imam Darto serta Anya Geraldine. Gading Marten tidak diberi ruang dan kesempatan lebih, sedangkan Ariel Tatum kurang berhasil mendorong mental turmoil seorang Ayu untuk bersinar terang. Momen penutup itu seharusnya dapat menjadi sedikit pelipur lara andai saja dapat meninggalkan punch yang kuat.

Overall, ‘Selesai’ adalah film yang kurang memuaskan. ‘Pretty Boys’ saya pilih sebagai salah satu film terbaik dua tahun lalu karena terlepas dari kekurangannya ada fun yang kuat di sana. Di sini Tompi dan Imam Darto mencoba menjadi sedikit lebih serius, ada ambisi yang lebih besar pada konflik, isu, dan pesan yang mereka bawa serta mereka eksekusi dengan percaya diri yang tidak buruk. Tapi sayang semuanya tidak tertata dan terkendali dengan baik, dramatisasi lesu, energi narasi terasa loyo, dengan fokus yang tidak terkunci dengan baik. Mungkin hasilnya dapat lebih baik jika sejak awal ini diposisikan sebagai sebuah psychological drama murni, bukan campursari.







1 comment :