17 September 2021

Movie Review: Prisoners of the Ghostland (2021)

“I'll karate chop you!”

Bersedia hanyut bersama berbagai aksi gila yang disajikan kehadapanmu merupakan satu syarat wajib ketika menonton film karya Sion Sono, Sutradara eksentrik asal Jepang yang juga layak disebut seorang Auter serta provokator di mana karya-karya darinya kerap menghadirkan kombinasi narasi yang kompleks penuh kesan surealis yang kental serta beberapa kekerasan yang aneh ditemani dengan erotisme. Filosofis memang terkadang namun film-film Sion Sono bukan sajian yang mudah dinikmati, termasuk film terbarunya ini yang mencoba menempatkan cowboy, samurai, bahkan zombie di dalam situasi menjelang kiamat. ‘Prisoners of the Ghostland’ : a quite entertaining samurai-western apocalypse.


Bersama dengan rekannya Psycho (Nick Cassavetes), seorang pria bernama Hero (Nicolas Cage) melihat anak kecil dengan topeng terpasang di belakang kepalanya masuk ke dalam sebuah bank di Samurai Town, sebuah kota kecil yang merupakan perpaduan antara Jepang dan Amerika. Hero dan Psycho memang telah mengincar bank tersebut untuk melakukan perampokan tapi sayangnya justru menjebloskan Hero ke dalam penjara. Ia pada akhirnya memang dapat kembali bebas tapi untuk melaksanakan tugas dari pemimpin Samurai Town, The Governor (Bill Moseley) yang ingin Hero menemukan salah satu “granddaughters” miliknya yang bernama Bernice (Sofia Boutella).

Di Samurai Town label “granddaughters” menandakan bahwa wanita tersebut adalah budak seks yang berada di bawah pengawasan langsung Yasujiro (Tak Sakaguchi), seorang samurai bodygyuard. Hero diberi batas waktu sampai tiga hari tapi dengan catatan bahwa ia dapat mati kapan saja jika melakukan perlawanan karena pakaian yang digunakan Hero dapat meledak jika ia bertindak di luar perintah The Governor. Wilayah Jepang sendiri saat itu sudah hancur dan dikarantina akibat limbah nuklir yang tumpah dari sebuah insiden tabrakan. Hero kemudian erdampar di the Ghostland, kawasan pemukiman lain di mana penduduknya menolak untuk keluar dari area mereka, karena percaya ada hantu berbahaya di luar area the Ghostland.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk sadar bahwa saya akan masuk ke dalam sebuah petualangan gila ciri khas Sutradara Sion Sono, scene pembuka dengan warna yang kontras di mana muncul seorang bocah lugu dan kemudian disusul aksi dari karakter utama kita, Hero. Dari sana kemudian kamu dibawa meloncat menuju satu scene yang berfungsi sebagai penggambaran dari duduk masalah utama film ini, aksi melarikan diri dari sebuah kota yang tampak sangat Japan. Belum berhenti di sana karena scene tersebut disusul lagi oleh sebuah potongan pendek di mana karakter wanita tampak panik dan tertekan dengan tampilan lingkungan sekitarnya tampak kumuh, semacam society pinggiran tempat tinggal para kaum terbuang.


Apakah tiga scene tersebut berhasil menciptakan pondasi utama cerita? Jawabannya tentu saja iya karena setelah itu script yang ditulis oleh Aaron Hendry bersama Reza Sixo Safai langsung membawa penonton masuk ke dalam konflik utama, sebuah misi dengan taruhan nyawa.  Tapi apakah tiga scene pertama tadi lantas menjadi jangkar yang kuat bagi jalannya narasi? Sayangnya tidak, karena ini film-nya Sion Sono. Well, it’s a chaos to be honest, menjadi arena di mana Sion Sono ingin mencampur genre dengan mendorong kesan ambigu dan unik di posisi terdepan. Kamu akan dibuat terkesima dengan jalannya narasi, karakter menjerit histeris lantas disusul nyanyian.

Itu akan krusial bagi penonton yang belum pernah menyaksikan film Sion Sono sebelumnya, unsettling and strange impression terus mendominasi sehingga tidak heran jika semuanya akan tampak seperti sebuah parodi. Cerita sendiri berkembang secara repetitif tanpa pengembangan yang terlalu jauh, tema yang sudah tipis itu juga dieksplorasi secara tipis pula. Sumbernya dari script yang terasa terbatas dan menolak bermain terlalu jauh, juga disjointed dengan beberapa dialog terasa hampa sedangkan di sisi lain karakter juga tidak dilengkapi dengan materi yang lebih dari sekedar cukup untuk dapat mempermainkan emosi. Lantas bagaimana bagi yang sudah “kenal” film Sion Sono?


You’ll want more, more, and more tiap kali satu scene berlalu dengan kesan ganjil yang unik itu. Script boleh simplified tapi eksekusinya tidak, english-language debut film-nya ini menjadi ajang bagi Sion Sono untuk berbicara tentang beberapa hal tapi tetap dengan signature “gila” miliknya itu. Memang jika dibandingkan dengan ‘Love Exposure’, ‘Cold Fish’ atau Why Don't You Play in Hell? kegilaan di film ini terasa sedikit kurang tapi sentuhan eksentrik itu tetap kental dan tidak berhenti membuat saya tersenyum kecil, kapan kali bisa melihat Nicolas Cage naik sepeda ukuran kecil dan juga berteriak “testicles” sembari meloncat-loncat kecil, seperti Sion Sono yang melompat antara westerns, samurai, dan apocalyptic ala Mad Max with zombie.

Sama seperti set design yang terasa eye-catching itu, penuh warna yang terasa kaya dan mengedepankan estetika bergaya hiper serta menunjang exaggerated tone yang diterapkan oleh Sion Sono. Ada konsep surga dan neraka, pemimpin yang diktator serta rakyat yang tertindas, hal yang sebenarnya coba ditampilkan oleh cerita namun sayang perlahan seperti hilang daya tariknya di dalam skenario yang berbelit-belit itu. Untung saja staging Sion Sono oke, membentuk cerita yang klise menjadi sebuah pertunjukan menarik, lagi-lagi dengan menaruh kecintaan Sion Sono kepada cinema kita bisa rasakan homage darinya kepada western genre films.


Tapi ya kembali ke bagian awal tadi bahwa seperti mayoritas film Sion Sono pada umumnya apa yang disajikan ‘Prisoners of the Ghostland’ akan membagi penonton menjadi beberapa bagian, di antara mereka mungkin bahkan akan ada yang menilai ini sebagai sebuah omong kosong yang meaningless. Sesuatu yang dapat di mengerti meskipun Nicolas Cage menyebut ini sebagai film paling liar yang pernah dia buat, kinerjanya sendiri terasa oke dan membentuk karakter Hero secara understated dan membuatnya sebagai sosok yang menarik untuk diikuti. Bill Mosely tidak tampil buruk sebagai The Governor sama seperti Sofia Boutella yang perannya cukup kecil sebagai Bernice.

Overall, ‘Prisoners of the Ghostland’ adalah film yang cukup memuaskan. Opini penonton pasti akan terbagi menjadi beberapa kelompok namun jika kamu adalah mereka yang sudah terlebih dahulu “kenal” dengan style seorang Sion Sono maka di sini kamu akan bertemu dengan kegilaan yang menarik untuk diikuti. Tidak sangat kuat memang apalagi jika dibandingkan dengan tiga film Sion Sono yang saya sebut di atas, emosi absen di sini sedangkan cerita terasa disjointed dan berbelit-belit, tapi tertolong berkat staging Sion Sono yang memadukan berbagai genre menjadi sebuah entertainment tentang samurai-western apocalypse yang cukup menyenangkan. Yes, segmented.






1 comment :