14 August 2021

Movie Review: The Stylist (2020)

“I guess we all want what we don't have.”

Menyebut seseorang sebagai psikopat tentu bukan perkara mudah, karena berbeda dengan gangguan jiwa parah yang kita kenal dengan sebutan gila, pengidap gangguan jiwa yang juga disebut sosiopat itu sebenarnya sepenuhnya sadar atas perbuatannya, perilaku antisosial serta aksi yang kerap merugikan orang lain. Tidak heran jika pengidapnya tidak hanya sukar disembuhkan tapi juga sulit untuk dideteksi, mampu bersembunyi di balik penampilan menarik dan juga kemampuan manipulasi untuk meraih kepuasan bagi dirinya sendiri. Karakter utama di film ini adalah seorang penata rambut, dan ia menyedihkan. ‘The Stylist’ : a horror drama about stressor and human resilience.


Wanita bernama Claire (Najarra Townsend) merupakan seorang penata rambut yang rutin mendapatkan klien setiap harinya, sesuatu yang terasa sedikit aneh jika melihat kemampuan bersosialisasi yang dimiliki Claire. Merupakan sosok yang akan berbicara hanya jika dibutuhkan, Claire cenderung lebih senang memposisikan diri sebagai pendengar ketika klien bercerita kepadanya saat dia sedang menata rambut mereka. Claire seperti selalu ingin bercerita ke para klien-nya tapi merasa kesulitan, tidak heran jika pada akhirnya ia merasa kesepian.

Claire merasa tidak ada yang dapat mengerti perasaannya sehingga ketika ia merasa kesal wanita tersebut akan melakukan obsesi uniknya pada wig rambut palsu dengan menggunakan para klien. Suatu ketika salah satu klien langganannya bernama Olivia (Brea Grant) meminta Claire menata rambutnya untuk kebutuhan pernikahannya, ia sedikit berbeda dengan klien Claire lainnya karena mampu membuat Claire seperti memiliki seorang teman. Claire merasa berteman dengan Olivia dapat membuatnya lepas dari obsesi gilanya itu meskipun stressor juga telah siap menghadangnya.

Well, sangat sulit untuk tidak menaruh ekspektasi akan sebuah sajian horror setelah melihat poster film ini, seorang wanita dengan tatapan mata yang tegas dan tajam seolah menunjukkan bahwa gunting yang ia genggam itu lebih dari sekedar sebuah benda tajam untuk menggunting rambut, pekerjaan utama si wanita berparas cantik namun berhati dingin tersebut. Wanita tersebut memang menggiring penontonnya ke dalam sajian horror, Sutradara Jill Gevargizian tidak mau berlama-lama membuat penonton berkenalan dengan karakter utama, ia langsung menatapmu sejak menit awal seolah ingin menyampaikan sesuatu dari sorotan matanya yang tajam itu.


Tapi bukan hanya itu saja yang langsung eksis sejak awal tapi demikian pula dengan kesan dan atmosfir ganjil yang lantas kemudian menggiring masuk vibe horror ke dalam cerita. Ya, sesuatu yang sebenarnya mungkin banyak penonton telah nantikan sejak melihat poster film ini, muncul dengan cepat dan kemudian berkembang baik dan secara perlahan. Tidak terasa ada upaya eksploitatif dari Jill Gevargizian di sini, narasi berjalan dengan sabar, terasa kurang umum memang karena kebanyakan film yang telah sukses mendorong opening impresif dan mencuri atensi penontonnya kerap akan langsung bergerak cepat dan liar dalam mengembangkan konflik cerita.

Tidak demikian dengan Jill Gevargizian, ia seperti mencoba menggoda penonton dengan aksi tarik ulur, style yang terbentuk dengan baik ia isi bersama Eric Havens dan Eric Stolze dengan substance yang akan membuatmu terkejut. Chilling, Claire jelas-jelas menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang wanita kesepian yang seolah membuat image psycopath yang telah hadir sejak awal itu semakin terasa kontras, merupakan wanita yang tampak canggung ketika berurusan dengan interaksi sosial dan seperti membuka pintu masuk bagi penilaian bahwa ada masalah yang membuat dirinya seperti merasa depresi. Benar, Claire adalah wanita yang mudah tertekan dan dari sana lahir sebuah character study. 


Dan hal tersebut yang kemudian dikembangkan menjadi tontonan utama, stressor yang menghampiri Claire dan berupaya mengguncang resilience-nya. Psychological immune system seorang manusia menjadi sorotan utama di sini, karakter utama kita bertemu beberapa “tantangan” yang coba ia atasi, ada yang tumbuh perlahan namun ada pula yang muncul mendadak. Stresor yang muncul mendadak menghasilkan intensitas yang lebih tinggi dan menciptakan krisis yang lebih sulit untuk diatasi oleh penderitanya. Isu tersebut yang terus berputar dan mengejutkan saya karena ia hadir dalam bentuk sebuah slasher yang tidak malu-malu bermain dengan darah.

Yang berputar di dalam serial killer itu memang keji tapi spotlight Jill Gevargizian arahkan lebih kepada situasi memilukan secara emosional ketika seorang manusia terjebak di dalam kesulitan seperti yang dihadapi oleh Claire. Sulit memang menaruh simpati namun karena ada upaya untuk melepaskan diri dari disturbing hobby yang penuh obsesi gila itu hadir gejolak di dalam diri karakter utama, hal yang kemudian berhasil menjadi tiang yang terasa cukup kuat untuk menopang narasi terus bergulir hingga akhir. There’s a lot of chills here dengan pesona nakal yang impresif, Jill Gevargizian mempertontonkan visi bercerita yang rapi untuk kisah psikopat ini.


Sama rapinya ketika ia bersama tim-nya menata sektor teknis seperti score gubahan Nicholas Elert yang menghasilkan vibe eerie oke, sedangkan cinematography sukses menangkap pressure yang dirasakan Claire serta berkontribusi dalam terbentuknya atmosfir ganjil di dalam visual secara simple namun manis. Kualitas costumes juga sukses mencuri perhatian saya dalam jumlah besar, bersanding dengan kinerja dari Najarra Townsend di sektor akting. Ada daily stress di dalam diri Claire yang hanya bisa ia lepaskan dengan memenuhi sebuah obsesi gila miliknya, hal tersebut mampu ditampilkan dengan baik oleh Najarra Townsend serta menjaga kualitas pesona dari Claire terjaga dengan baik dari awal hingga akhir yang mengejutkan itu.

Overall, ‘The Stylist’ adalah film yang memuaskan. Aftertaste yang saya rasakan saat usai menonton film ini serupa dengan yang dahulu pernah hadir saat menonton film ‘Joker’ di mana saya tahu karakter utama merupakan seorang psikopat tapi justru menaruh kasihan karena dia “terjebak” dalam kondisi akibat ketidakmampuan di dalam sistem kekebalan psikologis miliknya. Ditata dengan baik oleh Gevargizian dengan visi yang jelas serta eksekusi yang terkendali, ‘The Stylist’ bukan hanya cuma sekedar horror slasher biasa tentang psikopat but also an insightful slasher about stressor and human resilience. Female Maniac. Good one. Segmented.






1 comment :