04 August 2021

Movie Review: Earwig and the Witch (2020)

“Anybody who’d choose me would be pretty unusual.”

Studio Ghibli memutuskan untuk rehat sejenak memproduksi film animasi sejak 2014 dan tentu saja membuat banyak penggemarnya kecewa, karena sejauh ini seni animasi tradisional mereka merupakan variasi yang belum tertandingi kualitasnya di tengah computer animation yang semakin mendominasi. Di tahun 2017 kemudian muncul berita bahwa guru besar mereka, Hayao Miyazaki, kembali dari pensiun dan sedang menggarap film animasi baru, tapi berita paling mengejutkan justru muncul tahun lalu ketika Gorō Miyazaki, anak dari Hayao Miyazaki akan menyutradarai film animasi terbaru Studio Ghibli, their first ever full 3D CG animated film. You never know if you never try. ‘Earwig and the Witch’ : when a badminton player can’t master tennis on the first try.


Seorang wanita berambut merah sedang mengendarai motor, berkecepatan kencang ia tampak sedang dikejar oleh sebuah mobil yang hendak menangkapnya. Wanita itu kemudian mengeluarkan sebuah jurus sihir dengan menggunakan rambut sehingga dia dan seorang bayi di dalam gendongannya dapat tiba di sebuah panti asuhan. Bayi itu ditinggalkan saja oleh si wanita tadi di depan pintu dengan sebuah catatan bahwa kelak ia akan mengambil kembali bayi yang kemudian tumbuh besar menjadi anak perempuan lincah dan banyak akal bernama Aya (Kokoro Hirasawa) yang berteman baik dengan anak laki-laki penakut bernama Custard.

Suatu ketika Aya diadopsi oleh satu pria dan satu wanita berperawakan aneh. Nama mereka Bella Yaga (Shinobu Terajima) dan Mandrake (Etsushi Toyokawa), dua sosok penyihir yang ternyata memiliki koneksi spesial dengan Aya. Bella Yaga dengan tegas mengatakan bahwa ia mengadopsi Aya karena membutuhkan tenaga kerja yang bisa membantunya meracik mantra sihir, dan Aya setuju untuk membantu tapi dengan catatan ia minta untuk diajari ilmu sihir. Aya tidak bisa keluar dari rumah tersebut karena akses yang ditutup dengan sihir, temannya hanya kucing bernama Thomas. Semua berubah ketika Aya menemukan sebuah kaset band bernama Earwig.

Ada beberapa hal yang membuat saya merasa excited menantikan ‘Earwig and the Witch’ kala itu, salah satunya tentu saja seperti yang disebutkan di atas tadi bahwa film ini menjadi full 3D CG animated pertama yang diproduksi oleh Studio Ghibli. Tentu ada excitement di sana, rasa penasaran terhadap bagaimana studio animasi yang telah lekat dengan image “traditional animation” itu mengemas dan kemudian menerjemahkan ide mereka ke dalam bentuk visual yang selama ini bukan makanan favorit mereka, apakah keindahan di balik kesederhanaan yang selama ini berhasil mereka sajikan ketika bermain secara tradisional itu dapat hadir dengan kualitas serupa?


Hal lain yang menambah excitement saya (kala itu) adalah fakta bahwa cerita yang coba disajikan oleh film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul sama karya Diana Wynne Jones, novelist yang juga menjadi author novel berjudul Howl's Moving Castle. Ya, kamu tidak salah, novel tersebut kemudian diadaptasi oleh Studio Ghibli ke dalam bentuk film animasi yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki dan berhasil meraih nominasi film animasi terbaik di ajang Academy Awards. Lagi dan lagi hadir excitement terkait ekspektasi bahwa ini dapat setidaknya mendekati kualitas milik film ‘Howl's Moving Castle’ itu. Dua hal tersebut tadi menciptakan kombinasi yang membuat saya excited menantikan ‘Earwig and the Witch’ rilis.

Celakanya, dan saya tidak pernah menyangka akan menggunakan kata ini untuk mereview sebuah film karya Studio Ghibli, yang ditampilkan ‘Earwig and the Witch’ adalah sebuah sajian animasi yang medioker. Cerita baik itu dalam bentuk narasi maupun visual tidak menciptakan kombinasi yang fun to follow, justru sebaliknya kamu akan dibuat terkejut bagaimana kombinasi dua elemen tadi dipresentasikan di sini. Bermain di dalam sebuah rumah membatasi ruang gerak serta kesempatan menampilkan magic, elastisitas yang terbatas menjadi alasan absennya konfrontasi yang dibutuhkan narasi. Penonton ditempatkan pada posisi penasaran dengan apa yang sebenarnya ingin dilakukan Bella Yaga dan Mandrake kepada Aya.


Terus berputar di pola itu sehingga membuat cerita menjadi lacks a bit of texture. A bit or a lot, yang pasti cerita terasa terlalu normal untuk materi yang mengandung unsur magic di dalamnya. Bertumpu pada semangat seorang Aya untuk mempelajari ilmu sihir di sisi lain juga eksis semacam personal issues terkait penyesalan masa lalu di dalam diri Bella Yaga dan Mandrake yang tidak pernah dipoles lebih jauh lagi. Alhasil investasi pada karakter hanya terhadap Aya, stage benar-benar diserahkan padanya yang celakanya merupakan heroine utama dengan kualitas daya tarik yang juga terasa biasa saja. Ini benar-benar “segar”, Studio Ghibli bermain tidak dengan cara reguler mereka. 

Elemen fantasi sendiri tidak jelek, visualisasi terhadapnya juga terasa oke meskipun tidak kuat, sedangkan elemen komedi dengan beberapa humor kecil juga terhitung tidak buruk kinerjanya. Beberapa ide yang coba didorong juga dapat terlihat tapi tanpa impresi yang kuat, sama seperti nilai estetis film ini secara overall yang seperti kurang sedikit sentuhan bumbu penyedap rasa. Pertunjukan visual kurang mampu menyalurkan emosi yang ingin ditampilkan, kerap kali terasa kosong meski telah dicoba dengan mempertontonkan berbagai hal-hal magical. Naskahnya sendiri sejak awal tidak punya depth yang oke serta ketukan yang kuat dan memikat, alhasil ada titik di mana cerita menjadi monoton.


And losing power to excite the story. Satu-satunya hal yang tidak pernah kehilangan kekuatannya sejak awal adalah penggunaan musik. Lagu berjudul ‘Don't Disturb Me’ itu terasa sangat catchy dan ketika ia mulai sering hadir narasi jadi punya energi yang lebih oke, sebuah lagu yang tidak akan ragu saya dengarkan kembali karya dari tim beranggotakan Hiroki Kamemoto (Glim Spanky), Kiyokazu Takano (Mrs. Green Apple), Kavka Shishido, Takebe, dan Sherina Munaf. Ya, kamu tidak salah baca, itu Sherina yang dulu berpetualang di kebun teh itu. Sherina juga menjalankan tugasnya sebagai pengisi suara dengan baik, bersanding dengan Kokoro Hirasawa, Shinobu Terajima, Etsushi Toyokawa, dan Gaku Hamada yang kinerja pengisi suaranya tidak mengecewakan.

Overall, ‘Earwig and the Witch (Āya to Majo) adalah film yang kurang memuaskan. Tidak mudah untuk berhasil di percobaan pertama dan hal tersebut diderita Studio Ghibli di sini. Goro Miyazaki bersama timnya tidak menyajikan sebuah animasi yang buruk namun jika menilik image yang sudah lekat dengan Studio Ghibli maka kualitas yang mereka hasilkan di sini terasa medioker, kurang berhasil mengambil keuntungan dari teknik 3D CG animated dan justru kedodoran di sektor cerita, the script lacks the depth and failed to excite imagination. Hasil akhir film ini banyak mengingatkan saya pada film Gorō sebelumnya, Tales from Earthsea, such an unimaginative magic. Segmentetd. 






1 comment :