11 July 2021

Movie Review: French Exit (2020)

“I'm more than odd.”

Hidup tidak selalu rumit, dan tidak semua orang senang hidupnya dipenuhi dengan tekanan. Bukan berarti mereka yang masuk di kategori tersebut merupakan para kaum pesimistis karena ada sisi positifnya juga hidup dengan “pola” atau cara yang simple. Jika kamu tidak mampu mengendalikan mimpi dan ambisi maka kamu melangkah menuju sebuah masalah, dan yang terburuk masalah mental. Di film ini karakter utama memilih masa bodoh dalam menjalani hidupnya, ia pernah punya segalanya tapi justru memilih jalan dan tujuan hidup yang ia inginkan di dunia yang sebenarnya klise ini. ‘French Exit’ : whimsical comedy about a cat and jokers in Paris.


Pihak bank di Manhattan memutuskan menyita seluruh properti yang diwariskan oleh mendiang suaminya kepada Frances Price (Michelle Pfeiffer), seorang sosialita eksentrik yang dapat melakukan “aksi gila” jika keinginannya tidak dipenuhi. Hal itu sebenarnya telah diperingatkan oleh financial planner dan kini Frances bersama dengan anak laki-lakinya Malcolm (Lucas Hedges) harus menerima kenyataan mereka bangkrut. Frances akhirnya memutuskan menjual segala sesuatu yang ia punya dan menerima tawaran dari temannya, Joan (Susan Coyne), untuk pindah ke kota Paris dan menetap di apartement miliknya bersama Malcolm dan kucing bernama Small Frank.

Akibat keputusan sepihak Ibunya itu Malcom terpaksa putus dengan Susan (Imogen Poots) tunangannya, dan di dalam perjalanan menuju Paris ia bertemu Madeleine (Danielle Macdonald), seorang peramal yang memberitahunya bahwa di dalam Small Frank ada Franklin (Tracy Letts). Kejutan bagi Malcolm tidak berhenti karena ketika tiba di Paris ia baru tahu bahwa sang Ibu tidak memiliki rencana yang jelas terkait kehidupan mereka selanjutnya di kota tersebut. Frances menyusun rapi uang tunai yang mereka bawa di sebuah lemari dan berharap agar ia mati sebelum uang tersebut habis mereka gunakan. 

First of all, jangan pernah alihkan perhatian kamu dari kucing berwarna hitam itu, sejak awal sudah coba didorong untuk mencuri atensi dan harus diakui perannya cukup aneh terhadap jalannya cerita dan juga gejolak emosi karakter. Yang terakhir ini yang menarik, setelah melempar impresi awal sebagai wanita yang eksentrik dan tidak takut melakukan apa saja yang ia inginkan, termasuk mengeluarkan anaknya dari sekolah di pertengahan semester, Frances tidak lantas bersedih saat berurusan dengan permasalahan keuangannya di bagian awal. Dia adalah wanita yang menurut saya demanded, you do what she want you to do kind of person.


Hal yang kemudian membuka pintu masuk masalah. Pesona Frances sendiri tidak hanya eksentrik, yang terasa mengejutkan dia juga membuat saya bertemu pesona psychotic dalam dirinya, seperti Joker yang tenang tapi bisa mematikan kapan saja. Momen saat Malcolm menolak ajakan pacarnya agar mereka memberitahu hubungan asmara mereka kepada Frances itu saja sebenarnya sebuah clue yang menunjukkan betapa Malcolm tidak ingin ada masalah yang timbul, karena dia tahu seperti apa karakter Ibunya itu. Dan menariknya karakterisasi tadi dituangkan ke dalam sebuah panggung drama yang mencoba tampil sebagai sebuah komedi.

Apakah kamu akan menemukan humor di sini? Ya, tapi sangat segmented, lebih ke arah bagaimana karakter mencoba “menertawakan” kehidupan mereka, satire suram yang tampil offbeat seperti narasi. Tawa ringan memang ada, terus bertukar posisi dengan berbagai momen yang akan membuatmu merasa uncomfortable. Script yang ditulis oleh Patrick deWitt dari novel karyanya sendiri ini mencoba mengajak kamu mengamati penderitaan yang menggelayuti pikiran tiap karakter tanpa penjabaran yang terlalu detail. Itu mengapa ketika dikombinasikan dengan pendekatan Azazel Jacobs yang mencoba menekankan sisi comic karakter kamu akan mulai bertanya-tanya, film ini sebenarnya mau bercerita tentang apa?


Itu yang saya alami ketika saya menaruh fokus terlalu dalam pada alur dan eksposisi cerita, tapi berbeda saat saya mencoba mengikuti clue dari Azazel Jacobs yang sejak awal terus mengarahkan lampu spotlight pada Frances. Self-protective karakter yang bisa meledak kapan saja itu merupakan penggambaran dari ekspresi ketika manusia ingin menikmati hidup dengan ceria dan gembira. Tapi di sisi lain ia merasa gelisah dengan kematian. Kamu bisa lihat Frances seperti tidak memiliki rencana di Paris, ia menyimpan uang dan mengatakan ingin langsung mati ketika nanti uang tersebut telah habis. Tapi kenapa ia berusaha untuk terus menghambur-hamburkan uangnya?

Di sana tujuan utama film ini diletakkan, tidak hanya pada Frances saja tapi juga menggunakan beberapa karakter lain dengan permasalahan yang berbeda. Alhasil kesan ganjil dan aneh tidak pernah lepas, dan jika kamu mampu untuk merasa lepas dan hanyut dalam “ketidaknyamanan” yang coba ditampilkan, maka dua jam durasi akan terasa berlalu begitu saja. Ya, ini terasa kaku dan juga statis tapi punya kualitas pesona yang tergolong oke dalam mempertahankan minat menonton. Yang terasa kurang di sini adalah absennya third act yang lebih dipoles mengingat babak kedua sendiri tidak memiliki konfrontasi yang terlalu kuat terhadap isu di dalam cerita.


Tidak heran butuh interpretasi yang sedikit lebih jauh ketika konklusi itu hadir, hal yang saya rasa tidak akan terasa menarik untuk mayoritas penonton setelah dibawa berjalan menyaksikan sebuah komedi yang aneh seperti ini. Apalagi setelah mereka tahu bahwa hal paling menarik yang mampu mengunci perhatian mereka hanyalah pesona memikat dari seorang Michelle Pfeiffer. Memerankan istri yang jadi depresi setelah kehilangan suaminya, Pfeiffer membuat penonton terus menerus penasaran dengan sosok Frances, wanita sosialita yang bertampang sinis dan punya sifat blak-blakan, pesona kuat sejak awal hingga akhir. Akibatt sinar terang Frances pulalah karakter lain jadi terasa uninteresting, termasuk Malcom.

Overall, ‘French Exit’ adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah komedi aneh yang bergulat dengan potret kondisi depresi karakter utama, ini tidak mencoba menggali secara detail materi yang ia punya, baik itu dari isu, konflik, hingga pesan. Alhasil ada perasaan kurang lengkap ketika offbeat screwball comedy eksentrik ini berakhir meskipun dengan memiliki kesan ganjil dan aneh yang sukses mengunci atensi sejak awal hingga akhir, terlebih ia punya kinerja akting mumpuni Michelle Pfeiffer, such a juicy central performance, which is for me, the only reason to watch it. Segmented.










1 comment :

  1. “My life is riddled by clichés. But you know what a cliché is? It's a story so fine and thrilling that it's grown old in its hopeful retelling. People tell it. Not so many live it.”

    ReplyDelete