13 July 2021

Movie Review: 76 Days (2020)

“I’ll pray for you all, doctors and nurses.”

Kasus pertama COVID-19 diketahui diidentifikasi di Wuhan, China, desember 2019 dan menyebabkan pandemi yang masih berkelanjutan. Bagi kamu yang sejak awal telah peduli mulai dengan cara melindungi diri sendiri seperti dengan menggunakan masker. Terima kasih. Tapi bagi kamu yang sampai saat ini masih tidak peduli, dan beberapa bahkan menilai bahwa COVID-19 merupakan bagian dari sebuah rencana konspirasi besar dunia, kamu wajib menonton film ini, melihat periode lockdown pertama akibat COVID-19 yang dipenuhi kondisi gawat darurat super kritis. Mungkin setelahnya kamu akan menjadi lebih peduli. ’76 Days’ : an "unintended" horror story about something we wish had never happened.


Setelah berhasil diidentifikasi di desember tahun 2019, pada tanggal 23 Januari 2020 Presiden Republik Rakyat China, Xi Jinping, dengan tegas memutuskan “mengunci” kota Wuhan. Pembatasan aktifitas diberlakukan dan warga kota tersebut dipaksa untuk menjalani karantina sebagai upaya menekan potensi penyebaran virus agar tidak menjadi semakin luas dan besar. Warga yang merasa kondisi tubuhnya mulai mendatangi rumah sakit di kota Wuhan, akses dibatasi hanya boleh untuk pasien, tenaga medis, dan juga reporter. Hingga di tanggal 8 April 2020 aturan lockdown diberhentikan, 76 hari di dalam kurungan bagi warga Wuhan resmi berakhir.

Bukan berarti memiliki niat untuk “memanfaatkan” kondisi genting tapi ketika berita bahwa Wuhan lockdown untuk pertama kali maka yang terlintas di pikiran saya kala itu apakah mungkin ada tim yang mendokumentasikan kondisi tersebut? Dan ketika berita bahwa ’76 Days’ akan menyajikan hal tersebut excitement saya meroket tinggi, karena saya memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana penyakit ini ditangani untuk pertama kalinya kala itu. Terlebih ketika menilik kondisi saat ini, COVID-19 telah berhasil membuat dunia menjadi panik dan sengsara dan perlahan merenggut banyak korban jiwa. Sudah berjalan satu setengah tahun awan kelam terasa semakin tebal, bagaimana ketika lockdown pertama di Wuhan sana?

 

Hal tersebut yang menjadi fokus dari Hao Wu bersama dua Sutradara lainnya, Weixi Chen dan Anonymous, berusaha menangkap sedekat mungkin situasi darurat yang penuh kepanikan itu dan membawa penonton ikut merasakannya. Hal terakhir tadi bekerja dengan sangat baik karena tidak butuh waktu lebih bagi ’76 Days’ untuk membentuk atmosfir kelam, hal yang saat ini mudah untuk kamu temukan dan juga rasakan. Dari bagaimana pintu rumah sakit itu dibuka dan pasien secara bergiliran masuk kesan gloomy sudah kental, termasuk ketika pasien yang sudah kesakitan itu mulai kehilangan kesabaran dan memaksa masuk, situasi gawat darurat dibangun dengan baik secara bertahap.

Itu belum menghitung satu momen di mana ayah dari salah satu warga dinyatakan meninggal dunia akibat COVID-19 dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang itu selain menangisi jasad sang Ayah dari jarak jauh. Ia bahkan tidak diijinkan melihat wajah Ayah-nya untuk terakhir kali secara langsung, pada jaraknya hanya beberapa langkah saja. “Kekacauan” itu dulu yang dibentuk untuk kemudian bergeser ke fokus lain, perjuangan para tenaga medis untuk menangani para pasien. Tidak peduli seberapa terlatihnya kamu dalam suatu hal tapi ada urgensi yang berbeda ketika berada di situasi darurat, dan hal tersebut itu hadir sejak awal hingga akhir di sini.

 

Mungkin salah satu hal yang paling mengejutkan di sini adalah bagaimana scipt yang ditulis oleh Hao Wu tidak mencoba mendorong dramatisasi yang berlebihan kepada penontonnya. Di bagian awal itu hal yang paling saya antisipasi akan terjadi, terlebih jika kita lihat bagaimana beberapa negara saat ini masih kesulitan mengatasi virus ini dengan baik dan benar, maka tidak heran ekspektasi saya di sini COVID-19 akan membuat para Dokter dan Nurse di Wuhan kelimpungan. Memang ada momen saat mereka lelah tapi bukan itu yang coba ditampilkan oleh Sutradara Hao Wu, Weixi Chen, dan Anonymous di sini. Justru vibe positif menyelimuti dan mendominasi.

Dari pasien yang bosan hingga momen ketika seorang Ibu yang dinyatakan positif harus melahirkan anak pertamanya, saya cara hal-hal tersebut dikemas di sini, dari komitmen dan dedikasi tingkat tinggi para Dokter, Perawat, dan Tenaga Medis dan berdampingan dengan sorotan lembut kepada pasien yang semangat berjuang di atas tempat tidur mereka. Tiga Sutradara itu terus mencoba membuat narasi agar tetap menjauh dari dramatisasi yang berlebihan meskipun jika berbicara materi yang ada hal tersebut dapat mereka tampilkan dengan sangat mudah. Justru ’76 Days’ dibentuk menjadi virus tandingan bagi COVID-19, virus bahagia yang penuh dengan sikap optimis dari berbagai pihak bahwa tragedi horor itu dapat mereka kalahkan.

 

Tentu saja dengan menyoroti bagaimana keberhasilan Wuhan menerapkan aturan ketat sehingga dalam 76 hari mereka telah terbebas dari lockdown. Komitmen dari para warga ditampilkan tipis tapi efektif, dari jaga jarak hingga yang paling simple yakni menggunakan masker. Kakek tua yang nakal itu adalah salah satu contohnya, langkahnya menuju lift untuk pulang mungkin tampak biasa tapi justru merupakan simbol dari sebuah kemenangan. Sebelum akhirnya kamu dibawa masuk ke bagian paling akhir yang mencoba bermain dengan emosi, implisit tapi menghasilkan punch sangat kuat ketika anak menjemput barang peninggalan sang Ibu serta ketika sirine itu dibunyikan.

Overall, ’76 Days’ adalah film yang memuaskan. Ini merupakan sebuah dokumentasi yang dengan baik menangkap perlawanan dari kota Wuhan ketika COVID-19 tiba, dari komitmen para pasien serta tentu saja dedikasi yang luar biasa dari para tenaga medis yang berusaha memberi penanganan terbaik kepada pasien meskipun mereka dirundung rasa lelah dan juga mungkin frustasi. Kita dapat mencontoh masyarakat Wuhan yang kooperatif membantu para fearless soldiers itu, yakni dengan tidak menjadi warga biasa golongan para Penentang Tuhan yang menolak “menjauh” dari wabah. Stay home unless absolutely necessary. God bless us.









1 comment :