10 February 2021

Movie Review: Josée (2020)

“At times, I wanted to leave to a faraway land with you.”

Terkadang tentang cinta kita tidak perlu banyak bicara, cukup saksikan dan biarkan hati yang berbicara. Tentu hal tersebut tidak mudah terlebih dalam hal penyampaian maksud dan pesan misalnya, harus ada emosi yang terlibat di dalamnya, tidak harus dalam kuantitas yang berlebihan tapi cukup untuk sekedar membuat orang lain itu dapat merasakan apa yang kamu rasakan padanya. Sepertinya konsep tersebut coba diterapkan oleh film ini, ia tidak mau “banyak bicara” tentang hubungan yang terjadi di antara dua karakter utamanya, melepas penonton untuk “hanyut” bersama emosi. ‘Josee’ : lonesome diary. 


Josee (Han Ji-min) merupakan seorang wanita yang unik, bukan karena ia memiliki keterbatasan fisik dan harus menjalani kesehariannya di atas kursi roda tapi karena wanita yang mengaku sudah pernah berkunjung ke Skotlandia itu seperti terjebak di dalam fantasi karangan dirinya sendiri. Josee mengaku lahir di Budapest serta menyebut sang Ayah merupakan seorang police detective yang tewas saat bertugas menangkap serial killer. Hal tersebut sudah jelas dibantah oleh nenek yang merawat Josee yang mengatakan bahwa Josee telah dibuang oleh orangtuanya dan merupakan seorang yatim piatu.

Tidak banyak yang percaya akan cerita Josee, termasuk salah satunya adalah pria muda bernama Lee Young-seok (Nam Joo-hyuk) yang bertemu Josee secara tidak sengaja. Niat awal Young-seok sebenarnya hanya membantu Josee yang ketika itu sedang membutuhkan bantuan, namun ternyata hubungan mereka berlanjut lebih jauh lagi padahal saat itu Young-seok sedang dekat dengan salah satu rekannya sesama mahasiswa. 

Jujur saja saya suka dengan konsep yang coba diterapkan di sini, kisah adaptasi dari short story berjudul ‘Josee, the Tiger and the Fish’ yang ditulis oleh Seiko Tanabe yang mencoba mencuri atensi penontonnya dengan langsung membawa mereka ke dalam masalah yang didominasi mood dan atmosfir kelam. Begitupula dengan tone cerita yang dalam gerak pelan narasi itu mencoba membawa penonton hanyut dalam pertemuan dua karakter utama, lalu kemudian disusul proses perkenalan mereka. Sementara Josee dan Young-seok mencoba membangun koneksi di sisi lain penonton seperti terus didorong untuk semakin merasa penasaran dengan yang sebenarnya terjadi di dalam narasi, terutama dengan impresi awal Josee yang unik itu.


Ya, sulit untuk menampik bahwa 30 menit pertama ‘Josee’ adalah sebuah sajian drama dengan pendekatan yang unik, Sutradara dan Screenwriter Kim Jong-kwan seperti ingin membuat segala hal yang berputar di sekitar karakter tampak menarik tapi misterius. Saya suka cara Josée dan Lee Young-seok setelah bagian paling awal di mana Josée memperkenalkan masa lalunya, tempo–nya memang terasa pelan tapi ada hook yang oke di sana. Dua karakter utama ini seperti tidak mau terburu-buru membuka pintu masuk bagi penonton untuk mengenal mereka, yang satu seperti sedang memiliki masalah percintaan dan merasa kesepian, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok dengan keterbatasan fisik yang menjalani hidup dengan monoton.

Dan kesepian juga sebenarnya. Ini yang membuat pertemuan mereka, serta proses terbentuknya hubungan setelahnya, tumbuh menjadi sebuah tontonan yang terasa menarik walaupun harus diakui tempo yang perlahan itu not everyone's cup of tea. Apalagi jika ditambah dengan penggunaan permainan warna yang dominan berisi warna hitam, pencahayaan super minim yang terkadang kerap membagi layar sama besar antara karakter dan ruang kosong berisikan kegelapan. Ini trik sebenarnya tapi buat saya tidak semua sukses bekerja dengan baik apalagi di bagian awal 30 menit tersebut di mana hubungan antara Josée dan Lee Young-seok masih berada di fase yang sangat awal.


Hal terakhir tadi yang kemudian membuat kualitas emosi di antara dua karakter seperti tidak benar-benar matang. Mereka seperti dipaksakan untuk bersama, punya potensi untuk dapat berakhir jauh lebih positif dari pada itu tapi sayangnya tidak punya kesempatan yang jauh lebih besar pula. Kim Jong-kwan seperti mencoba agar emosi bermain sendiri di dalam pikiran dan hati penonton, ia tidak menampilkan pengembangan yang lebih jauh pada hubungan special di antara Young-seok dan Josee. Saya sangat menyayangkan hal ini karena seperti ada yang miss di jembatan penghubung antara titik tengah cerita menuju konklusi, membuat emosi yang hadir tidak punya punch yang mumpuni. 

Padahal dari segi cerita saya mengerti apa yang ingin dicapai oleh Kim Jong-kwan tapi sayangnya tidak ada dramatisasi yang jauh lebih kuat dan besar sehingga emosi tidak mencapai titik di mana ia membuat penonton “meledak”. Adegan menyaksikan ikan itu harusnya mengemban tugas tersebut, tapi yang muncul justru kesan bahwa cerita terasa disjointed. Narasi tampak punya percaya diri meloncat jauh ke depan secara cepat, tapi sayang titik awal di mana ia meloncat itu sendiri tidak terasa kuat. Alhasil ketika ia tiba di titik baru pada cerita impresi yang tercipta adalah keputusan dua karakter belaka, mereka belajar dan mengambil keputusan bagi hidup, bahkan tanpa koneksi yang kuat di antara mereka, tempat di mana punch seharusnya hadir. 


Saya hanyut memang mengikuti narasi dari Kim Jong-kwan, terlebih dengan dibantu permainan mood, tone, dan atmosfir cerita yang harus diakui terasa oke dalam hal menjaga rasa tertarik saya pada apa yang sebenarnya terjadi di antara dua karakter utama. Dan itu belum menghitung cinematography oke dari Cho Young-jik. Namun tidak ada titik di mana emosi saya seperti dipukul dengan kuat lewat isu dan pesan yang hadir, tidak peduli seberapa kompeten Han Ji-min dan Nam Joo-hyuk dalam membentuk pesona dan emosi bagi masing-masing karakter mereka. Sesuatu yang hilang di sini adalah letupan emosi, tidak heran jika kamu mungkin akan merasakan bosan di beberapa titik cerita karena memang sejak awal hingga akhir ini bermain sangat stabil cenderung datar.

Overall, ‘Josée’ adalah film yang kurang memuaskan. Apakah film ini sangat buruk? Sayangnya tidak, terbukti ia mampu mencuri dan kemudian mempertahankan atensi penontonnya hingga akhir, dan itu ia lakukan dengan menggunakan narasi berisikan kisah cinta yang minim dramatisasi serta letupan emosi. Untuk yang terakhir ini saya merasa kecewa terutama jika menilik potensi yang dimiliki kisah unik antara Josee dan Young-seok seharusnya narasi mampu menyajikan beberapa punch yang jauh lebih kuat dan menarik lagi. Sehingga momen melihat ikan itu dapat menjadi sebuah puncak yang kokoh dan kuat, tidak peduli sesederhana apa mereka. Segmented.





1 comment :