20 January 2021

Movie Review: Shadow in the Cloud (2021)

“You have no idea how far I'll go!”

Film action horror yang satu ini memiliki beberapa babak yang sebenarnya tidak dapat dikatakan istimewa, ia memperkenalkan karakter, menguncinya, lalu mencoba membangun masalah dengan cara yang tidak biasa dan kemudian menebar terror dengan menggunakan sosok misterius yang eksistensinya menciptakan kesan ganjil yang cukup kuat. Tidak cukup sampai di sana, beberapa pesan menarik yang juga coba ia sampaikan terutama pada bagaimana “gila” seorang wanita ketika orang yang ia cintai berada dalam bahaya. Terakhir, semua yang disebut di atas tadi dibungkus dengan vibe “konyol” yang tidak kecil. ‘Shadow in the Cloud’: Looney Tunes dancing in the air.


Flight Officer Maude Garrett (Chloë Grace Moretz) berada di dalam sebuah mobil yang membawanya langsung menuju landasan pacu sebuah bandara. Di sana Maude mencari sebuah pesawat bomber tipe B-17 bernama "The Fool's Errand" yang sedang bersiap lepas landas meninggalkan Selandia Baru menuju Samoa. Maude sendiri kehadirannya tidak diketahui oleh para crew pesawat, tidak heran jika mayoritas dari mereka menolak kehadiran Maude, hanya Staff Sergeant Walter Quaid (Taylor John Smith) yang bersikap sebaliknya dan bahkan menawarkan bantuan untuk menjaga tas milik Maude saat ia harus masuk ke dalam ruang tembak.

Ya, Maude ditempatkan di ruang tersebut dan aksesnya dibatasi, intercom menjadi cara komunikasi antara dirinya dengan crew lain di dalam pesawat. Maude secara berkala terus menanyakan kondisi tas yang ia bawa karena di dalam tas tersebut ia sebut tersimpan sebuah dokumen negara yang bersifat sangat penting dan rahasia. Namun rasa curiga crew terhadap Maude perlahan mulai tumbuh karena di sisi lain Maude tidak mau terbuka penyebab mengapa ia bisa diminta ikut di dalam pesawat tempur tersebut. Tidak heran jika para crew pesawat menjadi tidak percaya ketika Maude mengatakan bahwa ia melihat sebuah bayangan bergerak di badan pesawat.  

Hal menarik dari film yang saya rasa paling layak untuk diperbincangkan adalah bagaimana ceritanya kekonyolan yang dimiliki ‘Shadow in the Cloud’ justru tidak merusak atau bahkan sekedar menganggu kegembiraan yang ia sajikan. Hal ini jadi pertanyaan utama yang muncul di pikiran saya ketika final showdown itu selesai dan meninggalkan karakter dengan tatapan penuh rasa lelah. Di satu sisi sulit untuk menampik bahwa di bawah arahannya cerita yang Sutradara Roseanne Liang tulis bersama Max Landis itu memiliki beberapa titik di mana penonton dapat merasakan bahwa bagian itu terasa lemah, belum lagi jika menghitung bagaimana cukup banyak hal-hal berkategori “konyol” yang dilempar ke hadapan penonton.


Tapi menariknya kekonyolan tadi digunakan dengan baik oleh Roseanne Liang untuk menunjang narasi di mana ia juga mencoba bercerita tentang banyak hal, walaupun secara kuantitas dan kualitas hadir dengan porsi yang cukup kecil. Pencapaian itu tidak lepas dari bagaimana strategi yang diterapkan oleh Roseanne Liang di bagian awal secara mengejutkan mampu bekerja dengan sangat baik. Setelah dibuka dengan cuplikan singkat kisah tentang pilot yang diganggu oleh makhluk aneh penonton dibawa bertemu dengan heroine utama, Maude Garrett, ia langsung bertemu dengan beberapa karakter lain yang digambarkan terkejut dengan kemunculan Maude saat mereka sedang bersiap lepas landas. Sampai di titik ini semua tampak biasa saja.

Hingga pada akhirnya Maude masuk ke dalam sebuah “ruangan” dengan alasan yang bagi saya terasa cukup konyol. Dari momen tersebut Roseanne Liang menunjukkan bagaimana ia dengan piawai membentuk dan menata agar cerita dan juga thrill dapat konsisten tumbuh secara bertahap. Bagian ini adalah yang paling mengejutkan buat saya, karena dengan dengan terus mengunci atensi penonton pada satu scene yang berisikan satu karakter dalam rentang waktu hampir setengah dari durasi totalnya saya menemukan sebuah perkembangan yang menyenangkan. Tidak hanya dari segi cerita saja namun juga dari segi karakter. Intercom menjadi jalan bagi komunikasi namun itu sudah lebih dari cukup untuk membuat konflik terbangun dengan cepat.


Dan saya merasa tidak percaya saya akan menggunakan kata ini untuk film dengan tingkat kekonyolan yang tidak sedikit seperti ‘Shadow in the Cloud’ ini, bahwa cerita dan konflik dibangun tidak hanya cepat namun juga tepat. Hal tersebut tidak lepas dari konsep free and fun yang sepertinya sejak awal telah ditetapkan dengan mantap oleh Roseanne Liang bersama timnya, terutama dengan Max Landis di mana mereka mengembangkan konflik dari menggunakan misteri yang tersimpan di dalam tas itu untuk menjadi sebuah internal crisis di dalam pesawat yang secara bertahap mulai mendorong berbagai gesekan masalah antar karakter. Konflik sendiri tidak semua terasa halus eksistensinya, ada yang dipaksakan namun dengan tujuan yang oke.

Ya, konflik yang dipaksa masuk ke dalam cerita bukan sebuah masalah jika mampu dikemas agar tidak tampak mencolok dan bersifat mengganggu. Kategori tersebut cukup banyak kuantitasnya di dalam cerita ‘Shadow in the Cloud’ tapi eksistensinya mampu ditutupi dengan baik oleh thrill dan suspense yang dibangun menggunakan sosok misterius tersebut. Penonton tidak hanya dibuat bertanya-tanya pada karakter Maude saja namun juga ikut merasa waspada dengan kemunculan sosok tadi yang dengan design oke miliknya mampu secara konsisten mampu menebar terror yang cukup oke, ia juga menjalankan tugas dengan baik untuk membuat naluri ibu yang tersimpan di dalam cerita menjadi bangkit dan membara.


Hingga muncul lah sebuah aksi gila yang mungkin akan membuat Ethan Hunt merasa malu dengan kemampuannya serta Dominic Toretto tertawa gembira. Karena ada goals yang jelas di sana sehingga aksi gila tersebut tidak terasa mengganggu, terlebih dengan kemampuan Chloë Grace Moretz yang sejak awal telah sukses meyakinkan penontonnya bahwa apa yang tersimpan di dalam tas yang ia bawa itu merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat berharga. Chloë Grace Moretz sendiri tampil baik sebagai Maude Garrett terutama saat ia harus terkurung di dalam ruang sempit dan mengandalkan komunikasi via intercom untuk mengatasi bahaya yang perlahan menghampirinya.

Overall, ‘Shadow in the Cloud’ adalah film yang memuaskan. Ini merupakan film guilty pleasure pertama saya di tahun 2021, sebuah action horror yang mencoba bercerita tentang banyak hal namun menempatkannya dalam kuantitas yang efektif sehingga tidak menjadi beban, melainkan menjadi jalan baginya untuk bergembira menampilkan berbagai hal “konyol” yang terlepas dari beberapa kekurangannya itu berada dalam kategori berhasil menghibur penonton. Thrilling bersama suspense yang tidak buruk, saya bingung dengan perasaan saya setelah film ini berakhir, saya tahu ini konyol, ini absurd, bahkan beberapa akan menyebutnya bodoh, tapi ini juga menyenangkan. Segmented.







1 comment :