15 December 2020

Movie Review: Wolfwalkers (2020)

“When she sleeps, she turns into a wolf. She can talk to the wolves.”

Film ini adalah bukti bahwa karya seni tradisional masih dapat bersaing dengan berbagai seni modern jika menemukan materi dan cara yang tepat untuk berbicara. Bermain layaknya sebuah lukisan bergerak film ini mencoba mendorong sebuah dongeng yang mungkin lekat dengan kesan cerita pengantar tidur, menggabungkan cerita tadi dengan visualisasi yang juga tidak jauh berbeda, mirip dongeng sebelum tidur. Tapi ada yang berbeda di sini, karena seni tadi menemukan cerita yang membuatnya merasa sangat percaya diri untuk bermain-main dengan nilai seni yang hendak dijual olehnya. Hasilnya, salah satu film animasi tercantik dalam satu dekade terakhir ini. ‘Wolfwalkers’ : visually stunning simple magic.


Anak perempuan bernama Robyn (Honor Kneafsey) tinggal bersama Ayahnya, Bill Goodfellowe (Sean Bean) di sebuah kota bernama Kilkenny, mereka adalah penghuni baru di mana Bill direkrut oleh penguasa kota, The Lord Protector (Simon McBurney) untuk menangkap kawanan serigala yang selama ini telah meresahkan warga kota. Menariknya Bill sangat kesulitan menjalankan tugas tersebut, tidak peduli seberapa banyak jebakan yang telah ia pasang di hutan belantara tepat di samping Kilkenny. Ternyata ada alasan di balik kegagalan Bill tersebut, karena kawanan serigala yang menghuni hutan tersebut dipimpin oleh wolfwalker.

Kisah tentang wolfwalker sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi warga Kilkenny tapi mereka menolak untuk percaya karena belum pernah melihat langsung wolfwalker. Robyn ternyata menjadi sosok beruntung tersebut, saat mencoba mengikuti Bill yang pergi ke dalam hutan Robyn bertemu dengan Mebh Óg MacTíre (Eva Whittaker), anak dari Moll MacTíre (Maria Doyle Kennedy). Mereka berdua adalah wolfwalker yang dapat mengendalikan para serigala. Celakanya pertemuan pertama antara Robyn dan Mebh diwarnai dengan sebuah gigitan dari Mebh di lengan Robyn, insiden tersebut membuat Robyn menjadi “dekat” dengan para wolfwalker dan mencoba meyakinkan sang Ayah bahwa para wolfwalker adalah sosok yang tidak berbahaya. 

Saya tidak menaruh ekspektasi yang begitu tinggi terhadap film ini ketika ia mulai, namun betapa kagetnya saya ketika memasuki 10 menit pertama pada keindahan yang disajikan oleh duet Sutradara Tomm Moore dan Ross Stewart bersama dengan tim mereka. Duet Sutradara tadi juga menjadi penulis cerita yang kemudian ditulis menjadi script oleh Will Collins, dan dari segi materi cerita saya rasa ‘Wolfwalkers’ terasa understated. Formula yang digunakan tidak jauh dari film-film animasi yang menggunakan unsur fairytale sebagai basis utama cerita, begitupula dengan konflik yang berputar di dalam cerita, tidak jauh dari kehangatan persahabatan serta nilai cinta dan kasih sayang keluarga. Tentu saja ada pengorbanan di dalamnya.


Tidak heran jika narasi jadi terasa familiar dan begitu mudah untuk diikuti, terlepas dari unsur magic yang bekerja di dalamnya. Tidak sulit untuk langsung klik dengan konsep yang disajikan oleh Tomm Moore dan Ross Stewart di sektor cerita, walaupun tone yang digunakan memang sedikit lebih gelap namun tidak membuat jalannya cerita jadi terasa haunting dan sulit untuk dinikmati penonton di usia anak-anak. Kuncinya terletak pada kesuksesan Tomm Moore dan Ross Stewart membuat narasi bergerak dengan lincah, tidak mencoba terlalu sering berhenti di berbagai titik cerita untuk membuat bagian tersebut terasa padat mereka justru membuat Robyn dan Mebh bergerak cepat dan energik sembari mengurai konflik di dalam cerita.

Alhasil ini seperti menyaksikan sebuah rollercoaster dan pilihan Tomm Moore dan Ross Stewart untuk bermain dengan cara bercerita klasik banyak membantu di sini. Mereka tetap menjaga agar cerita tampil sederhana, easy but also fun to follow, tapi di sisi lain mereka juga dorong semangat dan juga hati yang tersimpan di karakter untuk secara perlahan membuat penonton sedikit hanyut bersama emosi mereka. Rintangan yang harus dihadapi oleh dua anak perempuan itu terasa menarik namun juga tidak terasa berat, ada The Lord Protector yang jelas-jelas merupakan sosok keji sedangkan Robyn juga harus berusaha untuk meyakinkan Bill. Begitupula dengan Mebh di mana masalah yang ia punya adalah jembatan manis menuju babak akhir.


Tidak hanya sekedar mendorong semangat dan hati saja namun Tomm Moore dan Ross Stewart juga ciptakan punch yang manis di dua bagian tersebut. Sangat mudah untuk merasa terikat dengan rencana yang Robyn dan Mebh susun, penonton dibuat ingin agar mereka dapat meraih apa yang mereka inginkan. Moore dan Stewart gunakan kelebihan tadi dengan cermat dan menariknya lewat cara membentuk agar karakter dan cerita yang punya pesona menarik itu tidak terlalu mendominasi layar. Ya, aneh tapi itu berhasil mendorong aspek lain dari ‘Wolfwalkers’ yang pada akhirnya juga ikut bersinar terang, yakni visual. Cerita sendiri sejak awal sudah memiliki unsur magic yang terasa mumpuni, tapi jika harus memilih satu hal yang paling memorable dari film ini tentu saja jawabannya adalah visualnya yang cantik.

Cantik di sini dalam konteks terasa unik dan aneh tapi membuat penonton merasa ketagihan menatap layar. Visual yang digunakan ‘Wolfwalkers’ tentu saja tidak dapat memuaskan semua penonton, tapi jika kamu dapat merasakan pesona dari nilai seni yang tersimpan di dalam teknik visual yang diterapkan maka secara bertahap kamu akan merasa tenggelam di dalam keindahannya. Penggunaan warna termasuk berani, tidak hanya mengandalkan warna cerah saja namun juga mengkombinasikannya dengan warna yang sedikit lebih gelap, sedangkan gerak dari karakter benar-benar mencoba menjual aura dari sihir murni sebuah sajian animasi, mereka dapat terasa aneh pada awalnya namun setelah terbiasa setiap gerak mereka terasa fluid dan menyenangkan untuk diamati.


Tapi pekerjaan terbaik yang dilakukan oleh studio animasi Cartoon Saloon di sini adalah cara mereka membentuk gambar latar di luar karakter yang sedang bergerak dalam bentuk dua dimensi. Secara kasar bahkan, seperti kota digambarkan dalam bentuk kotak sederhana misalnya. Itu terasa unik dan cantik, jujur saja saya sendiri merasa aneh mengapa saya sangat terpukau karena sebenarnya film-film animasi dari Cartoon Saloon ini sudah pernah saya tonton juga, yakni The Secret of Kells, Song of the Sea, dan The Breadwinner, tapi entah mengapa yang satu ini berkesan begitu mendalam buat saya di sektor visual. Pengisi suaranya sendiri kualitasnya terasa understated di mana Simon McBurney mencuri perhatian di tiap kesempatan yang ia miliki.

Overall, 'Wolfwalkers' adalah film yang memuaskan. Menggunakan formula dongeng yang klasik bersama dengan Ross Stewart kali ini Tomm Moore kembali mencuri atensi penonton dengan cara yang sangat berkesan, meninggalkan mereka dengan perasaan bahagia tidak hanya melalui presentasi dengan narasi yang energik dan juga terasa hangat saja, tapi juga lewat sajian visual yang cantik dan menyihir itu. Ya, terasa kaku namun ekspresif dan juga fluid, bersama dengan emosi yang kuat tersimpan di dalam cerita, 'Wolfwalkers' jelas salah satu film animasi paling cantik yang pernah saya tonton. Segmented.









2 comments :

  1. “Why do you want to be a human? Being a wolf is way better. I'll show you.”

    ReplyDelete