01 December 2020

Movie Review: The Hater (2020)

“Double agents are the enemy's spies who work for us and are expendable. They spread misinformation in enemy territory.”

Apakah propaganda suatu saat nanti akan menjadi raja? Well, kita lihat saja kondisi sekarang ini di mana kemudahan yang diberikan oleh teknologi bagi manusia untuk berekspresi mulai sering disalahgunakan oleh banyak pihak. Dari bullying hingga hate speech, kini manusia semakin mudah untuk jatuh ke dalam perangkap itu. Film ini bercerita tentang itu lewat seorang buzzer yang mengemban tugas untuk menaikkan popularitas salah satu kandidat walikota. Caranya? Ya sederhana, dengan menjatuhkan pamor rival lewat media sosial dengan menebar berbagai propaganda dan tentu saja, online hatred. ‘The Hater (Sala samobójców. Hejter)’: a frightening depiction about hate.


Sebenarnya tidak ada sesuatu yang tampak mengerikan dari penampilan seorang pria muda bernama Tomasz Giemza (Maciej Musiałowski), ia bahkan menunjukkan sikap lapang dada ketika disebut melakukan tindak plagiat di kampusnya dan justru meminta tanda tangan dari pengajar favoritnya, sosok yang menjatuhkan hukuman padanya. Namun semua berubah ketika Tomasz berkunjung ke tempat kerabat lama, Robert Krasucki (Jacek Koman) dan Zofia Krasucka (Danuta Stenka), dua sosok yang selama ini telah membantu biaya kuliah Tomasz.

Tomasz merekam pembicaraan dari keluarga Gabi Krasucka (Vanessa Aleksander) itu, wanita yang telah lama ia puja. Dari sana mahasiswa jurusan hukum tersebut kemudian memutuskan melamar ke Best Buzz PR, sebuah public relations company yang dipimpin oleh Beata Santorska (Agata Kulesza). Tomasz bertugas untuk terlibat di dalam pertarungan politik yang sedang terjadi di mana salah satu kandidat adalah klien mereka. Targetnya adalah Paweł Rudnicki (Maciej Stuhr) dan dari sana Tomasz mulai menyusun strategi untuk menjatuhkan Rudnicki.

Kombinasi Jan Komasa dan Mateusz Pacewicz kembali bekerja dengan baik di sini, setelah ‘Corpus Christi’ kini mereka kembali berhasil menyajikan sebuah isu yang sukses “mengikat” penonton sejak awal hingga akhir. Cakupannya sendiri kali ini terasa lebih luas, sebuah isu yang pada dasarnya sangat mudah kita temukan saat ini yakni propaganda yang dipenuhi dengan aksi manipulasi. Tapi sebenarnya tidak mudah untuk memindahkan isu tersebut ke dalam presentasi sebuah film terlebih kini sudah cukup banyak produk serupa, terutama film-film dokumenter yang jelas memiliki keuntungan lebih karena mereka berada di kategori non-fiksi.


Tapi berbicara tentang dramatisasi maka Jan Komasa ini salah satu Sutradara yang memiliki visi menarik. Cara ia mengemas cerita itu terkesan artistik namun tetap mampu memoles kesan liar atau nakal yang dimiliki karakternya, ia menempatkan berbagai konflik berdiri kokoh mengitari karakter dan membawa karakter masuk ke dalam masalah tapi di sisi lain mampu menarik secara perlahan simpati penonton pada karakter. Itu aneh karena karakter utama bukan sosok yang “bersih” sehingga ada kesan unik di sana ketika kamu mulai hanyut di dalam komando Jan Komasa, ia membawa kamu mendukung aksi karakter utama tapi tetap ingin agar karakter itu mendapat hukuman pula.

Kondisi tersebut tidak lepas dari keberhasilan berbagai konflik di dalam cerita untuk mengikat atensi penontonnya. Ada cukup banyak plot yang berjalan di sini, dari awal kita tahu bahwa Tomasz menaruh rasa suka pada Gabi namun bertemu dengan satu rintangan besar, untuk kemudian sadar harus segera sukses namun masuk ke dalam pintu yang berbahaya. Plot lainnya tentu saja yang berputar di dunia politik, bahwa di balik image baik hati dan lemah lembut para kandidat itu terdapat orang-orang yang “bekerja” keras di belakangnya, tentu saja termasuk mereka para “dirty hand.” Tomasz masuk dalam kategori tersebut di mana ia konsisten menunjukkan kepada kita bagaimana “permainan” yang terjadi di balik layar, dalam hal ini media sosial.


Jan Komasa dan Mateusz Pacewicz mendorong isu tersebut langsung ke pusat cerita dan cara yang mereka gunakan penuh warna. Tidak hanya trik menggunakan game sebagai media menyusun rencana saja namun Komasa dan Pacewisz juga oke dalam memberi ruang bagi Tomasz memakai sedikit lebih banyak waktu untuk memoles tensi yang sedang terjadi di tiap momen. Cinematography dari Radek Ładczuk cukup sering tampil statis sejenak dengan close up untuk menberi kesempatan agar emosi berkembang, membawa penonton untuk tenggelam lebih dalam di dalam emosi tapi tanpa kesan monoton terlebih dengan editing dari Aleksandra Gowin yang membuat pergerakan alur cerita terasa dinamis di layar.

Hasilnya narasi punya energi yang konsisten dan kuat walaupu geraknya tidak selalu terasa cepat. Jan Komasa sukses menyuntikkan thrill di banyak bagian, beberapa berfungsi membakar emosi penonton, tapi di sisi lain ia juga piawai dalam mengatur tempo cerita, sedikit rem dan kemudian digunakan untuk memoles sisi keji yang tersimpan di dalam cerita dan juga karakter. Jalinan yang tercipta antar plot di dalam cerita juga membuat Tomasz dapat terus bergulir dengan cepat, ia tidak pusing memikirkan hal-hal yang “useless” karena hal tersebut tidak eksis di dalam script. Yang Tomasz lakukan adalah terus bergerak maju dan membawa penonton menemukan berbagai sisi kelam dan menakutkan dari teknologi saat ini.


Tidak hanya teknologi, tapi juga sisi kelam dan menakutkan dari sifat manusia itu sendiri. Dan di sini point utamanya adalah rasa benci. Tomasz melakukan tugasnya sebagai buzzer namun mengapa ia mengembangkan tugasnya itu menjadi terlalu luas dan berbahaya? Ia punya ambisi besar, Gabi salah satunya, namun hal tersebut Tomasz lakukan karena ia tenggelam dalam emosi dan amarah yang lahir dari rasa benci yang perlahan tumbuh di dalam hati dan pikirannya. Tomasz jelas membenci apa yang ia temukan di sekitarnya, dan ia memutuskan untuk membalas itu dengan cara yang “dingin”, sesuatu yang berhasil ditampilkan dengan sangat baik oleh aktor Maciej Musiałowski, dari facial expression hingga sorotan mata, ada gejolak emosi yang berputar semakin liar di dalam diri Tomasz.

Overall, ‘The Hater (Sala samobójców. Hejter)’ adalah film yang memuaskan. Tomasz memang merupakan karakter yang kotor namun ia berhasil menjadi boneka bagi Jan Komasa dan Mateusz Pacewicz untuk berbicara tentang isu yang semakin berbahaya saat ini, aksi manipulasi dan berujung pada propaganda yang dapat memecah belah umat manusia, terlebih dengan keleluasaan yang kini disediakan oleh teknologi. Ini jelas sebuah kisah penuh ironi namun ‘The Hater’ juga berhasil menjadi alarm bagi para penonton terhadap bahaya yang dapat timbul dari ketidakmampuan manusia dalam menelaah mana yang fakta dan mana yang hanya rekayasa. Karena dari sana lahirnya amarah dan emosi, yang kemudian berkembang menjadi rasa benci.






1 comment :

  1. “I mean tribalism, nationalism, authoritarianism. They threaten the fundamental values of our world.”

    ReplyDelete