04 December 2020

Movie Review: Alone (2020)

“He's going to kill me. He's gonna kill me. Just trace this call.”

Coba bayangkan ini: ketika kamu sedang berkendara seorang diri tiba-tiba ada orang aneh yang mencoba menghalangi jalur mengemudimu, dan ketika kamu mencoba untuk menyalip ia justru mempercepat kendaraannya untuk “mengunci” kamu di jalur sebelah yang berlawanan arah. Itu saja sebenarnya sudah aneh, apalagi jika dia mulai selalu ada di tiap perhentian kamu di dalam perjalanan, mencoba membangun komunikasi namun terus memancarkan vibe yang membuatmu merasa cemas dan takut. ‘Alone’ : a decent but memorable thriller with a thrilling 30 minutes.


Tidak ada yang terasa aneh pada diri wanita bernama Jessica (Jules Willcox), kecuali mungkin pada ekspresi di wajahnya yang seolah masih sulit menyembunyikan fakta bahwa dirinya sedang dirundung rasa sedih. Panggilan telepon dengan sang Ayah semakin menguatkan hal itu, Jessica sepertinya sedang mencoba untuk memulai kembali kehidupan baru dengan cara pindah tempat tinggal. Jessica pindah seorang diri, ia menyimpan semua barangnya di sebuah trailer yang menempel pada mobilnya dan memilih jalur darat sehingga ia harus mengemudi.

Jalur yang dipilihnya itu mempertemukan Jessica dengan Sam (Marc Menchaca). Sam yang sedang mengendarai mobil di depan Jessica tampak mengurangi kecepatan laju mobil miliknya, ia membuat Jessica hampir meregang nyawa. Jessica sendiri tampak telah merasa curiga dengan Sam sehingga ia memilih sebisa mungkin untuk tidak terlibat langsung dengan pria tersebut. Celakanya saat sedang mencoba “lari” agar tidak harus berkomunikasi banyak dengan Sam, Jessica justru bertemu sebuah musibah, dan celakanya musibah lain yang lebih besar juga telah menantinya.

Ditulis oleh Mattias Olsson dan disutradarai John Hyams, ‘Alone’ jelas merupakan salah satu thriller yang dapat dikatakan paling memorable di tahun ini, menariknya itu berkat keputusannya yang sejak awal memilih untuk bermain dengan cara yang sederhana. Sejak pertama kali kita dibawa bertemu dengan karakter Jessica sangat jelas terasa bahwa wanita yang tampaknya masih berduka itu memiliki tekanan pada batin yang terasa berat. Jessica memancarkan hasrat untuk mencari “udara segar” dan di sini kita bisa lihat itu dari proses pindah tempat tinggal yang sedang dirinya lakukan. Ada kesan unik di dalam diri Jessica yang berhasil dibentuk dengan baik oleh John Hyams lewat cara-cara yang juga terhitung sederhana.


Semua bermula dari trik simple tapi oke dari Mattias Olsson di bagian awal, Jessica dibalut dengan kesan misterius terus dikejar oleh sebuah mobil yang membuatnya menaruh curiga, dan rasa curiga itu terus dikembangkan menjadi semakin besar. Kita sebagai penonton juga digiring untuk melakukan hal serupa karena memang mobil tersebut ditumpangi oleh sosok bernama Sam yang langsung mencuri rasa curiga dari penonton. Di bagian ini John Hyams tidak menampilkan cerita bergerak dengan cepat, tidak ada kesan terburu-buru melainkan menggunakan waktu untuk memperdalam kesan misterius, terutama pada sosok Sam sedangkan di sisi lain kita melihat Jessica yang semakin hanyut di dalam rasa takut.

Kondisi tersebut kemudian mengundang pertanyaan, yaitu apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah Jessica hanyalah seorang wanita yang sedang stress bahkan depresi sehingga dihantui oleh paranoia saat ia merasa ada sesuatu yang tidak aman berada di sekitarnya? Celakanya pertanyaan tersebut tidak eksis terlalu lama, Hyams langsung membawa kita masuk ke babak berikutnya. Formulanya kembali klasik, ia kali ini mendorong pertanyaan untuk berpindah ke sisi Sam, apa yang pria misterius itu inginkan? Motif utama yang dimiliki Sam dibungkus dengan sangat rapat oleh John Hyams, di satu sisi itu membuat Sam terasa semakin misterius tapi di sisi lain juga ketidakjelasan pada motif ini membuat narasi bergerak semakin liar tanpa ada taruhan yang jelas.


Hal terakhir tadi bagi saya merupakan bagian penting dari sebuah thriller, apalagi thriller tipe seperti ini. Terus mengurung penonton dengan tanda tanya tentu bagus namun harus disertai dengan proses terurainya misteri tadi untuk mempertemukan kita dengan titik terang pada cerita. Tapi John Hyams tampaknya memang tidak ada niat untuk memberi porsi lebih untuk itu, ia terus mengurung Sam di dalam kesan misterius hingga momen puncak. Alhasil kesuksesan kualitas konklusi cerita sangat bergantung pada mampu atau tidaknya Jessica meyakinkan penonton bahwa tragedi yang menimpanya itu sesuatu yang memikat. Dan bagian tersebut terasa kurang.

Penyebabnya ada di babak akhir ketika aksi kucing menangkap tikus itu hadir, di sana ‘Alone’ kehilangan pesona terbaiknya yang hadir di babak awal hingga bagian tengah, yakni momen hening yang terasa dingin namun mencekam. Jessica sendiri masih tetap berada dalam kondisi di ujung tombak namun perpindahan dari ruang sempit menuju ruang bermain yang lebih luas kurang berhasil ditangani oleh John Hyams dengan menarik. Thrill terasa berkurang sedangkan excitement terdegradasi satu level ke bawah, walau sudah dibantu dengan editing yang oke tapi narasi di babak akhir tidak punya kesan haunting yang terasa mencekam dan menegangkan.


Kekurangan yang terakhir tadi dampak dari pace yang juga menurun lepas dari titik tengah cerita. Bahkan ada bagian di mana karakter berupaya sedikit mengulur waktu, mungkin niatnya untuk menambah kesan cold-blooded yang dimiliki Sam tapi tidak bekerja dengan baik, malah membuat pace jadi tidak dinamis lagi. Beruntung John Hyams punya Jules Willcox dan Marc Menchaca sebagai dua pemeran utama yang di balik materi sederhana itu mampu mengeluarkan potensi maksimal yang dimiliki oleh karakter mereka masing-masing. Marc Menchaca membuat Sam punya ekspresi yang sederhana tapi cukup gripping, sedangkan Jules Willcox menjadikan Jessica sebagai lumbung rasa takut yang cukup menarik untuk diamati.

Overall, ‘Alone’ adalah film yang kurang memuaskan. 30 menitnya terasa sangat menarik berkat setting awal yang dingin dan misterius masih memiliki energi serta nyawa yang mumpuni, namun sejak momen di mana misteri berpindah sisi kualitas narasi jadi menurun. Penyebab paling mencolok adalah motif dari Sam yang kurang kuat serta tentu saja pace cerita yang turun di salah satu bagian cerita, dan kurang berhasil untuk bangkit kembali ke titik sebelumnya. Itu belum menghitung konklusi yang terasa kurang nendang. Memang tidak semua hal harus dijelaskan di dalam sebuah sajian misteri, namun tidak tahu mengapa saya merasa jengkel dengan absennya motif yang kuat di dalam cerita ‘Alone’ ini, padahal ia sudah memulainya dengan baik di awal. Segmented.










1 comment :