08 February 2020

Movie Review: Ford v Ferrari (2019)


“We’re going to make history”

Hadir tahun 2013 yang lalu, ‘Rush’ merupakan racing movies rilisan paling baru yang sukses membuat saya larut tenggelam di dalam cerita tentang balapan mobil, sebuah dramatisasi yang cerdas dan menawan, bergerak cepat dan juga intens. Finally I get a better movie, menggunakan dua nama besar di dunia otomotif mobil menyajikan aksi dan upaya untuk saling mengalahkan di lintasan balap mobil. Ford v Ferrari : a racing movie that will bring the engines to your chest.

Pada tahun 1959, pembalap bernama Carroll Shelby (Matt Damon) sukses menjadi pemenang the 24 Hours of Le Mans, menaklukan uji ketahanan brutal di lintasan balap mobil Perancis yang terkenal berisikan lintasan lurus panjang dan belokan yang kejam. Sayangnya akibat kondisi jantung Shelby kemudian dipaksa harus pensiun dini dan kini membangun perusahaan yang bergerak membangun mobil. Shelby kemudian direkrut oleh Lee Iacocca (Jon Bernthal), Wakil President dari Ford Motor Company yang sedang mengemban misi besar dari pimpinannya, Henry Ford II (Tracy Letts).

Ford berniat berpartisipasi di the 24 Hours of Le Mans untuk meningkatkan penjualan mobil mereka, dan ide awalnya adalah dengan “membeli” Ferrari. Namun tawaran tersebut ditolak oleh Enzo Ferrari (Remo Girone) yang memilih penawaran dari Fiat sehingga ia masih dapat memiliki Scuderia Ferrari. Tidak terima akan “hinaan” tersebut Henry menugaskan tim miliknya untuk membangun mobil, dengan tujuan utama adalah mengalahkan Ferrari di Le Mans. Dalam proses tersebut Shelby dibantu oleh Ken Miles (Christian Bale), a hot-tempered British racer.


Jika menilik sinopsis di atas tadi yang sesungguhnya cukup sederhana harus diakui durasi 152 menit yang dimiliki film ini terasa sedikit terlalu panjang, tapi hal tersebut menariknya tidak memberikan efek negatif yang besar. Ditulis oleh Jez Butterworth dan John-Henry Butterworth (Edge of Tomorrow) serta Jason Keller (Escape Plan), 'Ford v Ferrari' punya pondasi cerita yang terasa simple tapi kuat, konflik utama sederhana tapi mereka berhasil diperluas secara bertahap dan mantap. Di awal kita mendapati kondisi hitam dan putih yang menarik, Ferrari dominan di lintasan balap namun sedang punya masalah finansial, sedangkan Ford ada di kondisi sebaliknya, mereka kesulitan di lintasan balap dan berniat untuk membeli Ferrari. Sebuah setup yang manis.

Dan ketika setup itu telah terbentuk sutradara James Mangold (The Wolverine, Logan) langsung membawa cerita bergerak dengan kecepatan penuh. Pengarahan dari James Mangold terasa terampil, sama seperti yang ia dahulu lakukan di Logan di sini dari mulai proses hingga ketika kita bertemu puncak cerita penonton dapat merasa sebuah penggambaran yang terasa crispy, bergerak cepat dan memikat serta penuh energi. Banyak momen di dalam cerita yang terasa breathtaking dan punya intensitas yang kuat, seolah sudah ada “aturan” yang ia harus patuhi sedari awal sehingga James Mangold tampak sangat percaya diri membangun cerita, dari pace hingga focus semua berhasil dibentuk dan dikendalikan dengan baik.


Dan tampaknya kesuksesan tersebut merupakan hasil dari upaya untuk menaruh “jiwa” dari cerita kepada dua karakter utama, yaitu Shelby dan Ken. Ini bukan tentang pertarungan antara Henry Ford dan Enzo Ferrari seperti yang saya kira dulu ketika berita terkait produksi film ini muncul, ini adalah cerita tentang dua orang pria yang membangun sebuah mesin dengan “jiwa” agar dapat menang di Le Mans. Prosesnya sendiri juga menarik, dari awalnya berisikan sentimen kemudian berganti menjadi perjuangan yang diwarnai konfrontasi ego dan diskusi. Itu belum menghitung penggambaran tentang friendship yang antara Shelby dan Ken, dari tentang bisnis dan boss hingga tentang idealisme dan strategi.

Terdapat berbagai pertentangan yang terus terjadi di dalam cerita, seperti ada garis pembatas yang membatasi usaha yang sedang dilakukan oleh Shelby, Ken, dan tim mereka. Situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Mangold, mereka terasa dinamis bahkan di momen ketika Shelby dan Ken saling bercekcok. Hubungan antara Shelby dan Ken sendiri merupakan central yang menarik dari kisah tentang American dream ini, friendship yang terbangun tampak tidak digali terlalu dalam terasa lembut, mampu menjadi penyeimbang dibalik elemen teknis yang tampil “berisik” itu, berisikan berbagai pendekatan yang terasa stylish untuk menciptakan hell of a ride.


Seperti mention di bagian awal tadi, Ford v Ferrari berhasil menghadirkan sebuah pengalaman di mana penonton seolah merasakan menjadi pembalap mobil yang sebenarnya. Racing sequences terasa electrifying, ketika deru mesin menyala ada rasa tertendang yang begitu kentara di dada untuk kemudian berganti heart-stopping sound yang terasa vivid. Ini adalah film rilisan tahun 2019 dengan kualitas sound mixing dan sound editing terbaik, sukses memberikan excitement yang terakhir kali saya rasakan di Mad Max: Fury Road. Scenes sendiri ditangkap dengan manis oleh Phedon Papamichael namun film editing adalah elemen teknis yang mencuri perhatian selanjutnya.

Film editing dari Michael McCusker dan Andrew Buckland  sukses “merangkai” potongan-potongan adegan menjadi satu kesatuan yang padat dan seimbang, terutama pada racing sequences dari rasa menakutkan, mendebarkan, menegangkan, hingga mengejutkan, semua blend dengan baik. Dan penuh warna, sama seperti bagaimana kisah tentang friendship sukses mencuri atensi dan menjadi hati bagi Ford v Ferrari. Lewat gerak kecil Matt Damon dan Christian Bale sukses membuat Shelby dan Ken menjadi duo yang menawan, koneksi mereka oke, fighting each other and fighting together, mereka menyajikan banter yang juga asyik dengan aspek komedi yang oke.


Overall, Ford v Ferrari adalah film yang sangat memuaskan. Tidak ada kejutan yang sangat besar di sini, rute yang dipakai familiar dan kisahnya sendiri merupakan sesuatu yang familiar, tapi materi tersebut digunakan dengan baik oleh James Mangold dan tim miliknya untuk menciptakan sebuah kisah tentang dunia balap yang terasa menyenangkan. Bukan tanpa cela memang namun mereka dengan mudah tertutupi oleh experiences yang hadir, dari pressure dan strategi hingga exciting race track sequences, Ford v Ferrari sukses memberikan movie experiences yang terasa gripping. And yes, I admire its sound technical aspects.








1 comment :