25 February 2017

Review: Fifty Shades Darker (2017)


"I don't know whether to worship at your feet or spank you."

Sulit untuk menampik bahwa ‘Fifty Shades of Grey’ merupakan sebuah erotic romantic drama film yang terasa medioker meskipun ia berhasil meraup $571 juta, lebih dari sepuluh kali lipat dari budget yang ia punya. Hingga ketika review ini ditulis penerusnya, ‘Fifty Shades Darker’ ternyata telah menjadi “follow-up” yang baik bagi ‘Fifty Shades of Grey’ di box office, namun pertanyaannya adalah bagaimana dengan kualitas yang ia punya? Apakah saga berisikan jeratan asmara di antara Mister Grey dan Anastasia yang dipenuhi BDSM itu berkembang ke arah yang lebih baik ketimbang kontes saling bertatap mata di antara dua jiwa yang “rusak” untuk kemudian diselesaikan dengan having sex?

Hubungan asmara di antara Anastasia Steele (Dakota Johnson) dan Christian Grey (Jamie Dornan) kandas dan Ana memutuskan untuk move on dengan mencoba bekerja sebagai asisten bagi Jack Hyde (Eric Johnson), pria yang menaruh rasa tertarik pada Ana. Tapi di sisi lain Christian ternyata masih “memantau” Ana. Christian ingin membangun kembali hubungannya dengan Ana, kali ini ia menginginkan sebuah “real relationship” bukan sekedar hubungan kontrak. Christian mencoba memperkenalkan Jack kepada Elena Lincoln (Kim Basinger) namun itu tidak serta merta mempermudah usaha Christian tadi karena dirinya masih kesulitan mengatasi tekanan dari hasrat untuk kembali “mengontrol” Ana.  


Sinopsis di atas sebenarnya sudah cukup oke untuk mewakili apa yang akan terjadi selanjutnya di film yang ternyata masih sama seperti film pertamanya. Wajar memang karena formula film pertama terbukti berhasil mencetak kesuksesan finansial yang cukup oke, so mengapa mencoba melakukan perombakan secara besar-besaran? Di sini kamu akan dibawa bertemu dengan something yang lebih kompleks, sama seperti judulnya ini lebih darker dengan menaruh fokus pada mental dan kisah masa lalu yang pernah dialami oleh karakter. Sebenarnya itu tampak menjanjikan karena dengan demikian kita mungkin bisa melihat “makna” cinta itu sendiri di dalam usaha Christian untuk dapat kembali menjalin hubungan cinta dengan Ana, sesuatu yang absen di film pertama yang dua tahun lalu saya sebut sebagai “a softcore porn version of Cinderella, like a foreplay without climax.” 


Sayangnya ekspektasi tersebut kembali tidak tercapai di film ini. Potensi untuk menghadirkan kadar emosi yang sedikit lebih kompleks dengan fakta bahwa Christian sedang “terluka” sepertinya bukan sesuatu yang menarik bagi Niall Leonard sebagai penulis naskah dan juga James Foley sebagai sutradara. Di sini Christian Grey masih merupakan pria yang “haus” dengan hasrat yang tinggi tapi kehadiran karakter seperti John dan juga Elena sebenarnya bisa menciptakan “gesekan” untuk membuat petualangannya bersama Ana menjadi lebih challenging. Christian sedang berusaha untuk menemukan “true love” yang ia yakin ada pada Ana tapi perjuangan yang ia lakukan di sini justru tidak berhasil mendorong “makna” yang dimiliki oleh cinta menjadi lebih meaningful ketimbang film pertama, addiction pada sadism, membutuhkan tubuh dan vagina, lalu “menyelesaikan” hasratnya tersebut dengan seks. 


It’s not like saya mengharapkan emosi yang super memikat dari ‘Fifty Shades Darker’ tapi at least ada ekspektasi agar film ini menghadirkan sincerity di balik usaha kembali membawa penonton bermain dengan fantasi dan imajinasi mereka. Film ini tidak hanya membuat Christian Grey yang tampak seperti “ideal boyfriend” di film pertama berubah menjadi puppy saja tapi juga tidak berhasil melepaskan Ana dari status sebagai “objek” untuk dieksploitasi seperti di film pertama. Script dan pengarahan sutradara kurang berhasil membawa cerita dan karakterisasi dari karakter tumbuh menjadi lebih baik, menjadi something yang membuat penonton semakin peduli pada mereka. Ada momen yang berhasil connect bersama penonton di sini tapi momen disconnect juga terhitung banyak, itu mayoritas berasal dari kesan “unmotivated” dari cerita dan karakter karena sama seperti film pertama cerita dan karakter tidak mendapat kesempatan yang besar untuk berkembang. 


And in the end, it’s all about sex, Christian “mencoba”, Ana “menyambut” dengan tangan terbuka, percakapan yang lebih berisi bersama emosi bukan sesuatu yang menarik dan kemudian berlanjut ke having sex. Satu hal yang mungkin dapat dikatakan baik dari film ini adalah ia berhasil menunjukkan bahaya yang akan terjadi ketika seseorang memiliki ide yang “kabur” antara hasrat dan makna dari cinta. Untuk hal tersebut ‘Fifty Shades Darker’ terasa oke walaupun tidak terasa memorable ataupun menonjol. Itu juga terjadi pada performa dari karakter, jika di film pertama terdapat begitu banyak momen yang dapat dikatakan terasa “spicy” terutama ketika berurusan dengan hasrat dan seks di sini mayoritas terasa terlalu biasa. Chemistry antara Jamie Dornan dan Dakota Johnson terasa lebih oke ketimbang di film pertama tapi plot kembali membawa mereka ke dalam “lingkaran” yang sama dan hasilnya tidak ada dramatic tension yang kuat di antara Christian dan Ana. 


‘Fifty Shades Darker’ sebenarnya berusaha membawa saga ini menjadi lebih menarik seperti mencoba tampil lebih kompleks misalnya tapi sayangnya tidak diolah secara maksimal. Ini seperti sebuah cerita yang punya ambisi tapi kurang bergairah untuk meraih ambisi tersebut, Christian kembali menginginkan Ana, Ana menerima bahkan juga ingin tahu lebih banyak karena merasa kali ini Christian genuinely loves her, but in the end the same thing happen again di mana issue “diselesaikan” dengan mudah. ‘Fifty Shades Darker’ membuat hubungan di antara Christian dan Ana menjadi semakin rumit tapi celakanya not in meaningful way, dan ‘Fifty Shades Freed’ needs a really good therapist untuk membantu agar ia dapat menjadi kelanjutan yang lebih baik ketimbang pendahulunya. Segmented.












0 komentar :

Post a Comment