18 December 2016

Movie Review: Rogue One: A Star Wars Story [2016]


"This is our chance to make a real difference."

Pada 1970s dan 1980s ‘Star Wars’ hadir dengan original trilogy, kemudian pada akhir 1990s serta awal 2000s mereka mundur kebelakang dengan prequel trilogy. Terdapat jarak yang cukup besar di antara dua trilogy tersebut, sesuatu yang sejak tahun lalu untuk sementara tidak akan terjadi lagi. Dimulai dengan ‘The Force Awakens’ yang hadir tahun lalu sebagai titik awal bagi sequel trilogy hingga tahun 2020 nanti setiap tahunnya para fans Star Wars memiliki kesempatan untuk berkumpul bersama, melakukan toast sembari mengucapkan “May the Force be with you”. Rogue One: A Star Wars Story menjadi pembuka Star Wars saga kategori keempat, sebuah anthology films yang berisikan kumpulan spin-off dan stand-alone films. Apakah film pertama experiment dari George Lucas ini melakukan pekerjaan yang baik? It’s an “al dente” Star Wars movie.

Scientist dan juga designer bernama Galen Erso (Mads Mikkelsen) menolak untuk “terikat” dengan the Empire, akibatnya ia mendapat bencana dari Director Orson Krennic (Ben Mendelsohn) yang ingin Galen menyelesaikan pekerjaannya di Death Star yang dibangun di bawah pengawasan Governor Tarkin (Peter Cushing). Ketika ia telah dewasa Jyn Erso (Felicity Jones) yang dibesarkan oleh Saw Gerrera (Forest Whitaker) akhirnya menyadari “legacy” dari ayahnya tersebut. Jyn direkrut oleh kelompok pemberontak Rebel Alliance yang dipimpin Mon Mothma (Genevieve O’Reilly), bersama dengan Cassian Andor (Diego Luna), Bodhi Rook (Riz Ahmed), K-2SO (Alan Tudyk), Chirrut Imwe (Donnie Yen), Baze Malbus (Wen Jiang) dan para rebellion lainnya mereka menjalankan misi yang bernama Rogue One, misi untuk masuk ke Imperial data bank yang terletak di Planet Scarif dan mencuri special data karya Galen yang dapat menyelamatkan galaxy.  


‘Rogue One’ ikut menyelipkan “A Star Wars Story” di judulnya namun yang harus dicermati di sini adalah ‘Rogue One’ bukan sebuah kelanjutan dari film Star Wars rilisan tahun lalu, Star Wars: The Force Awakens. ‘Rogue One’ berlangsung tepat sebelum ‘Star Wars: Episode IV: A New Hope’ dengan misi utama mencoba untuk menghadirkan sedikit backstory dari original trilogy. Di sini the Rebel Alliance sedang bertarung melawan Galactic Empire untuk meraih freedom sehingga fokus mereka terletak pada rencana untuk “mencuri” sebuah senjata mematikan atau Empire’s ultimate weapon bernama Death Star. Terkesan sepele memang jika kamu hanya cermati dari sinopsis tadi namun pada dasarnya the first Death Star merupakan pusat dari plot-point pada film pertama Star Wars, yaitu A New Hope. Itu mengapa di awal tadi hadir sebuah pertanyaan sederhana yaitu apakah film ini berhasil menjalankan tugasnya tersebut dengan baik? 


Jawabannya adalah iya, di tangan Gareth Edwards ‘Rogue One’ berhasil menjadi semacam “missing puzzle” yang mencoba melengkapi Star Wars saga di versi film. Sebenarnya kehadiran ‘Rogue One’ terasa seperti sebuah eksperimen dari George Lucas untuk menciptakan sebuah “era baru” yang terasa segar di dalam Star Wars universe, hasilnya tidak terlalu “wow” memang namun at least hal tersebut tercapai dengan ‘Rogue One’ berhasil menjadi “bridge” yang manis. Hal tersebut tidak lepas dari kemampuan sutradara Gareth Edwards membentuk berbagai materi yang ia miliki, dari script yang ditulis oleh Chris Weitz dan Tony Gilroy hingga cara ia mengemas berbagai elemen lain seperti design hingga mood di dalam cerita, mereka cukup oke. Pada berbagai elemen teknis ‘Rogue One’ berhasil “slips” dengan baik ke dalam Star Wars universe, mencoba “respect” pada berbagai elemen yang telah penonton kenal dari film-film Star Wars namun tetap mencoba untuk mengedepankan image “independent” yang ia bawa sejak awal. 


Battle sequences merupakan hal terbaik yang disajikan oleh ‘Rogue One’, mendapat pengaruh dari mood cerita yang berisikan usaha pemberontakan dan revolusi “pressure” yang hadir di bagian tersebut terasa mumpuni dan impresif. Kesan epic dan klasik di dalam ‘Rogue One’ terasa kental dan berpadu dengan baik meskipun harus diakui beberapa violence mungkin akan terasa sedikit too much bagi penonton muda. Production design mungkin tidak terasa semegah The Force Awakens misalnya namun overall elemen teknis ‘Rogue One’ terasa well-executed termasuk di antaranya cinematography yang terasa sangat manis itu hingga score dari Michael Giacchino yang memang terasa kurang klik di awal karena berusaha keras untuk menyeimbangkan rasa baru dan rasa Star Wars gubahan John Williams. Teknologi juga dimanfaatkan dengan baik ketika membawa beberapa karakter tampil sebagai “cameo”, sedangkan droids K-2SO berhasil menjadi penyegar dengan tingkah weird dan comical. 


Yang menjadi alasan mengapa Rouge One tidak terasa “wow” adalah cerita yang ia punya, ibarat spaghetti ini terasa al dente, cerita terasa telah masak namun di sisi lain juga masih terasa keras. Potensi ‘Rogue One’ yang berfokus pada sebuah misi “simple” tidak pernah tercapai, cerita tidak menjadi api yang berkobar besar karena sejak awal hanya mencoba stick pada tugas dan status yang ia bawa yaitu menjadi missing puzzle yang mencoba menjadi penggambaran dari something critical di dalam Star Wars universe. Bagian awal berisikan eksposisi set up cerita sementara bagian akhir sebuah epic battle, di antara dua bagian tersebut yang kerap terasa kurang nendang. Tidak pernah terasa monoton tapi thrill yang terbentuk dengan baik di bagian awal tidak terasa konsisten atau tumbuh setelah masuk ke bagian selanjutnya, tidak terdapat eskalasi karena sibuk pada karakterisasi. ‘Rogue One’ terasa a bit letdown sebelum masuk ke dalam war zone, lacking energi dari Star Wars movie dengan materi yang berisikan hal-hal political itu seperti hanya menari-nari. 


Untung saja hal tersebut tidak terjadi pada karakter, most of them berhasil untuk terasa functional meskipun script tidak mengakomodasi kesempatan agar mereka menunjukkan dinamika yang kuat sebagai sebuah tim. Sebagai dua main character Felicity Jones dan Diego Luna berhasil tampil baik sebagai Jyn dan Cassian, secara individual memang terasa kurang kuat namun sebagai duo mereka terasa oke, chemistry memang sangat jauh dari kualitas Leia dan Han namun banter di antara mereka terasa menghibur terlebih dengan eksistensi K-2SO di samping mereka. The rest of supporting characters mendapat kesempatan yang terbatas dengan Ben Mendelsohn dan breakout star dari ‘The Night Of ‘ Riz Ahmed menjadi yang paling terasa impresif. A bit distraction juga hadir dari cast yang terletak pada sebuah upaya menggunakan teknologi CGI, sesuatu yang harus diakui terasa menarik secara ide namun dengan eksekusi yang terasa lacks perfection itu yang tertinggal dari sana adalah sebuah perasaan janggal.  


Dari script yang dirombak kemudian dilakukan reshoot sangat jelas di mana kekurangan yang dimiliki oleh ‘Rogue One: A Star Wars Story’ yaitu “feel” yang ia hasilkan, sama seperti statusnya sebagai sebuah spin-off ‘Rogue One’ seperti melayang-layang di antara ingin menjadi bagian yang sepenuhnya terikat pada “orangtuanya” atau justru menjadi manusia bandel yang ingin hidup independent. Dengan statusnya sebagai “supplement” bagi Star Wars saga ‘Rogue One’ memang tidak berakhir luarbiasa namun at least ia berhasil menjalankan tugasnya sebagai sebuah “bridge” yang manis lewat sebuah aksi pemberontakan yang at least kala itu berhasil “mencegah” datangnya bencana besar ke dalam galaxy. Ini merupakan sebuah penghormatan yang baik bagi para unsung heroes di dalam Star Wars saga.












Cowritten with rorypnm

0 komentar :

Post a Comment