28 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)


"Always."

Peter Jackson memiliki tempat special dengan The Lord of the Rings film series, and of course you can’t beat James Bond and Star Wars, namun Harry Potter film series berhasil menjadi bagian dari "big giants" itu dengan cara yang tidak kalah special: mereka merupakan kumpulan film di mana penonton ikut bertumbuh bersama karakter dan juga konflik, tidak peduli di usia berapa penonton memulainya. Film ini berhasil menjadi penutup yang manis dari petualangan panjang selama satu dekade itu. It all ends here, berikut adalah film kedelapan dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2: an exciting and emotional closure.

Menetap di Sheel Cottage setelah kehilangan Dobby yang membantunya lepas dari tahanan Bellatrix Lestrange (Helena Bonham Carter) dan the Malfoys, Harry Potter (Daniel Radcliffe) meminta bantuan Griphook (Warwick Davis) untuk dapat masuk ke dalam lemari besi milik Bellatrix di Gringotts, tempat yang ia yakini merupakan lokasi Horcrux yang harus mereka temukan. Bersama dengan Ron (Rupert Grint) dan Hermione (Emma Watson) tiga young adult itu berhasil mendapatkan apa yang mereka cari lewat sebuah thrilling escape menggunakan naga. Celakanya target mereka selanjutnya tersimpan di Hogwarts, tempat yang dahulu merupakan rumah kesayangan mereka namun kini telah menerapkan sistem yang jauh berbeda di bawah kepemimpinan Severus Snape (Alan Rickman).

Atas bantuan saudara Dumbledore, Aberforth (Ciaran Hinds), serta dituntun oleh Neville Longbottom (Matthew Lewis), mereka kembali ke Hogwarts. Pemberontakan dimulai dan dengan bantuan Professor Minerva (Maggie Smith) Hogwarts lepas dari tangan Snape. Harry meminta waktu agar ia dapat menemukan Horcrux, yang dengan bantuan Luna Lovegood (Evanna Lynch) diketahui berada di Room of Requirement. Sementara itu di sisi lain bahaya semakin mendekat menuju Hogwarts di mana Lord Voldemort (Ralph Fiennes) merasakan bahaya dari kesuksesan Harry menemukan dan menghancurkan Horcrux. Oleh sebab itu ia melancarkan pernyataan perang dengan tujuan utama membunuh Harry Potter di the Battle of Hogwarts.  


Memulai semuanya langsung dari titik di mana ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 berakhir David Yates berhasil menyelesaikan petualangan di dunia sihir yang telah ia pegang kendalinya sejak ‘Harry Potter and the Order of the Phoenix’ itu dengan cara yang sangat manis. Fokus utamanya masih sama yaitu usaha karakter utama kita, Harry Potter, bersama dengan teman-temannya menemukan Horcrux yang dipercaya memiliki peran penting untuk dapat mengalahkan musuh utama mereka, menghancurkan benda-benda yang merupakan “soul” dari Lord Voldemort. Ini merupakan sebuah penutup yang dicari oleh penonton dari petualangan Harry Potter, seperti membayar lunas perjalanan selama satu dekade itu lewat presentasi yang compelling dan tentu saja dipenuhi dengan berbagai emosi yang sangat mumpuni. Namun sebelum jauh melangkah ke sana mari bahas bagaimana peran Part 1 pada kesuksesan yang diraih Part 2 ini.

Seperti yang disebutkan pada bagian pembuka review ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1’ salah satu dari dua bagian punya potensi untuk menjadi kemasan yang tidak terasa padat. Part 1 mengalami itu namun di sisi lain ketika menilik kualitas yang diberikan oleh Part 2 di sini Part 1 justru terasa seperti unsung hero, ia berhasil mengurangi sedikit beban di sektor cerita yang dimiliki oleh novel Deathly Hallows untuk kemudian menciptakan ruang yang lega bagi Part 2 bermain dengan cerita dan juga karakter. “Bus” yang Harry dan juga Ron serta Herminone tunggu ketika mereka melakukan ekspedisi penuh kontemplasi itu tiba dan sukses menghantar mereka tepat menuju sasaran, apa yang sebelumnya tampil longgar itu langsung dipacu dengan baik oleh David Yates di bagian kedua ini, dari petualangan yang lebih mengandalkan permainan atmosfir di mayoritas durasi berubah menjadi sebuah race with a good pace yang enthralling dan dipenuhi berbagai “BANG” yang memikat. 


Ya, Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 meninggalkan semacam “hutang” sementara Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 hadir untuk membayar lunas hutang tersebut. Bagian pertama memang berhasil mengurangi beban di sektor cerita namun bukan berarti tugas bagian kedua ini lantas menjadi mudah dan ringan. Ini harus berhasil membawa semua set up yang telah dibentuk sejak awal itu untuk mempertemukan penonton dengan klimaks di titik puncak. Hal tersebut berhasil disajikan dengan sangat baik di sini, David Yates dan juga Steve Kloves mencoba membawa penonton langsung menuju konfrontasi antara Harry Potter dan juga Lord Voldemort meskipun tetap menyajikan beberapa informasi baru di sektor cerita. Ini merupakan arena bagi berbagai “konfirmasi” yang selama ini masih menjadi misteri, dari yang sederhana seperti hubungan Ron dan Hermione yang diselesaikan dengan manis lewat first kiss hingga sesuatu yang lebih kompleks terkait koneksi antara Harry Potter dan Severus Snape.

Konfrontasi antara Harry dan juga Voldemort di Forbidden Forest itu memang menjadi salah satu highlights dari film ini, menjadi jalan bagi pertempuran di bagian akhir, namun momen terkait Severus Snape, Lily, dan juga Harry itu merupakan titik di mana cerita Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 yang sejak awal telah dipenuhi emosi akibat tekanan dari Lord Voldemort akhirnya meledak. Meskipun telah tahu apa yang akan terjadi visualisasi yang David Yates hadirkan pada momen tersebut terasa sangat heart wrenching, sebuah “destruction” emosi yang melengkapi berbagai kehancuran fisik lain yang kemudian hadir di Hogwarts. Dari sana jangkar pada elemen dramatic terasa kuat, tidak heran ketika epic battle itu tiba punchs yang dihasilkan berhasil tiba di titik puncak, bersama dengan Steve Kloves di sini David Yates berhasil menyajikan sebuah film penutup yang terasa understated secara konteks cerita namun delightful secara konteks experience. 


Seperti yang disebutkan pada bagian pembuka tadi bahwa apa yang membuat Harry Potter film series terasa special adalah ia membawa penonton merasa ikut bertumbuh bersama konflik dan juga karakter, tentu saja bukan dari sudut pandang mereka yang pertama kali menonton dengan cara melakukan marathon pada delapan film Harry Potter film series. Happiness and pain, mereka tumbuh bersama karakter, di sini hal tersebut dibungkus serta diselesaikan dengan baik. Penonton dapat merasakan kepuasan ketika Harry berhasil mengalahkan Voldemort, meskipun sama seperti novelnya bagian tersebut tidak meninggalkan klimaks yang sangat luar biasa. Namun itu bukan hal yang terasa mengganggu karena dari sana David Yates dan juga Steve Kloves menunjukkan bahwa mereka berpegang teguh pada esensi utama dari petualangan Harry di dunia sihir, bahwa ini bukan tentang hasil akhir namun merupakan sebuah petualangan yang menekankan proses, bukan tentang destinasi namun tentang journey.

David Yates dan juga Steve Kloves menghadirkan beberapa perubahan kecil dari novel di film ini, seperti momen heroism Neville Longbottom yang dikemas ramping, namun mereka berhasil menjaga agar main events tetap terasa utuh. Dengan kualitas visual yang mumpuni termasuk elemen teknis lainnya seperti cinematography, score, editing, hingga design, pertarungan antara good versus evil itu berhasil disajikan sebagai kombinasi love, life, and death yang terasa poignant namun di sisi lain juga menjadi something to cherished. It’s the spirits we talk about here, bagaimana perjuangan dari setiap karakter yang mengalami perubahan serta maturation untuk berusaha mengalahkan kegelapan, sebuah juxtaposition antara suka dan juga duka. Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 tidak hanya berhasil “mengikat” petualangan selama satu dekade saja namun juga membawa hal-hal tersebut menghasilkan resonance yang menawan. 


Dan mari jangan lupakan peran dari kinerja cast dalam menghidupkan karakter-karakter dari novel karya J. K. Rowling itu ke dalam layar lebar. Divisi casting melakukan pekerjaan yang sangat baik tidak hanya dalam memilih tiga pemeran utama saja namun juga pada pemeran karakter pendukung. Daniel Radcliffe tumbuh dengan baik bersama Harry Potter, seorang remaja nerdy yang perlahan menunjukkan bahwa ia pahlawan yang dapat diandalkan dunia sihir. Rupert Grint sejak awal telah ditugaskan untuk membuat Ron Weasley sebagai “comedian” yang loveable di trio utama, itu ia lakukan dengan baik di delapan film. Last but not least adalah Emma Watson, di beberapa film sedikit redup, di beberapa film justru berhasil tampil menonjol, ia membuat Hermione Granger menjadi karakter yang paling dependable di antara trio utama ketika berurusan dengan emosi dan tentu saja, study. Dan hard to mention kinerja dari aktor dan aktris pendukung lainnya, dari Michael Gambon, Gary Oldman, Alan Rickman, Maggie Smith, Ralph Fiennes, Brendan Gleeson, Jason Isaacs, Helena Bonham Carter, David Thewlis, Emma Thompson, Timothy Spall, Julie Walters, hingga anggota lain dari "The Big Seven" yaitu Tom Felton, Matthew Lewis, Evanna Lynch dan Bonnie Wright, mereka fit dengan sangat baik pada karakter mereka masing-masing. 


Overall, Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 adalah film yang memuaskan. It's been a bumpy road untuk Harry Potter film series namun di sini itu ditutup dengan manis and high note. Merupakan film berdurasi terpendek di dalam series ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2’ berhasil menjadi penutup yang simple dan memorable, tidak hanya sekedar menjadi destinasi akhir dari petualangan satu dekade saja namun juga menjadi arena di mana excitement dan emotion yang selama ini konsisten menemani perjalanan Harry dan teman-temannya itu berkumpul menjadi satu, menciptakan ledakan yang dipenuhi joy and sorrow, a closure with a good manner climax. Cinematic adventures dari Harry Potter berakhir di sini, berbagai argument mungkin telah hadir namun satu hal yang pasti ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2’ merupakan salah satu film terbaik di dalam Harry Potter film series. Such a lovely cherry on top. Always.










0 komentar :

Post a Comment