29 November 2016

Review: Manchester by the Sea (2016)


"I don't have anything big to say."

Ada alasan kenapa manusia disebut sebagai makhluk sosial, karena kita butuh orang-orang di sekitar kita untuk dapat menjadi sosok yang lebih dan lebih baik lagi. Ya, memang tidak semuanya positif namun dari sana manusia dapat berkaca untuk kemudian memahami makna dari dirinya dan kehidupan, bukan tidak mungkin bahkan dapat digunakan untuk mengalahkan setan batin dan menyelamatkannya dari jurang “kematian”. Hal tersebut coba ditampilkan oleh film ini, Manchester by the Sea, sebuah proses healing lewat examination terhadap kesedihan with genuine bittersweet, emotion, and sweet sorrow. Heartbreaking and heartwarming, it’s an emotion crescendo, a wondrous drama.

Lee Chandler (Casey Affleck) kini menetap di Massachusetts dan bekerja sebagai janitor, seorang antisocial yang melepas penat di sebuah local bar untuk kemudian kembali ke apartement. Dia pria yang tidak tertarik pada orang lain, work and drinks adalah bagian dari rutinitas Lee Chandler. Suatu ketika berita datang terkait saudaranya Joe Chandler (Kyle Chandler) yang membuat Lee harus kembali ke kampung halamannya untuk mengurus keponakannya, Patrick (Lucas Hedges), remaja yang keras tapi sensitif. Harus berhadapan dengan tragedy itu Lee juga kembali berurusan dengan mantan istrinya, Randi (Michelle Williams).  

First of all, Lee Chandler adalah karakter yang menarik, sejak awal sukses membuat penonton merasakan seperti ada beban begitu berat yang setiap hari ia pikul di punggungnya. Dia pria yang terluka, ketika menjalani kesehariannya itu tidak terlalu eksplisit tapi ketika kamu tatap matanya seperti terdapat manusia yang sedang menangis di sana. Dari situ lalu muncul rasa penasaran, siapa sebenarnya Lee Chandler, apa yang telah terjadi pada Lee Chandler, seberapa berat “kesulitan” yang ia hadapi sehingga membuatnya tampak seperti pria with a dead soul seperti itu? Hal tersebut Kenneth Lonergan gunakan untuk membuat kamu learn about our main character, bergerak lambat dan sistematis sesuai prosedur yang telah tersusun membuat that "self-hate man" menguasai sepenuhnya kontrol cerita. Dengan cepat fokus kamu akan terkunci padanya dan setelah itu dari sana kemudian Lonergan mulai mengurai jawaban dari berbagai pertanyaan tadi. 


Cerita berlangsung di musim dingin tapi kesedihan yang karakter rasakan terasa jauh lebih “dingin”. Dingin inside out celakanya Lonergan tetap pada sistem yang ia gunakan sejak awal yaitu memberikan banyak waktu bagi setiap scene untuk bermain leluasa, ia tidak mencoba memacu mereka termasuk juga karakter untuk segera mencapai target dari tugas yang masing-masing mereka punya. Hasilnya penonton seperti pendengar yang mendengarkan “confession” dari Lee Chandler tentang kesedihan yang ia rasakan. Karena sejak awal telah tertarik dan merasakan kesedihan yang Lee Chandler rasakan pada akhirnya tanpa kamu sadari rasa sedih Lee Chandler itu tadi telah “membengkak” semakin besar, his history unfolds but his emotion also becomes more and more swollen. Memang terdapat humor di dalam cerita tapi Lonergan delicately menjaga agar heartbreak tetap mendominasi hingga ketika waktu yang tepat itu muncul ia tampilkan “snap” yang kuat. 


Seperti ada sambaran petir pada momen ketika point utama itu terungkap karena sebelumnya berbagai “ache” yang Lonergan gunakan telah punya intensity yang padat. Screenplay merupakan salah satu kekuatan yang menonjol dari ‘Manchester by the Sea’, sinopsis di atas tadi memang sederhana tapi setelah itu cerita menolak untuk go easy. Tidak ada sentimentalitas yang berlebihan di sini melainkan eksplorasi pada depression, grief, guilt, and realism, sama seperti yang ia dulu lakukan di ‘Margaret’ Lonergan tempatkan penonton sebagai obserever pada cerita yang reveal itself. Past and present berhasil ia gabungkan dengan tensi yang sangat menawan. Lonergan cermat membuat agar kesedihan yang terus membengkak itu tidak terasa monoton, ia piawai dalam menyeimbangkan hal itu dengan happy times yang Lee miliki, beberapa humor hadir tidak hanya untuk membuat storytelling sejenak lega tapi di sisi lain ia juga ikut mempertajam duka. 


Berarti sejak awal hingga akhir ‘Manchester by the Sea´ berisikan duka? Mungkin iya, meskipun hadir tawa tapi setelah selesai bertugas mereka tetap berakhir ke sisi cerita yang berisikan duka. Perlahan tapi pasti “bangunan” itu semakin tinggi alasan mengapa di awal tadi saya mengatakan ini sebuah emotion crescendo, semuanya tampak sederhana tapi ada emosi yang terasa semakin berlapis dan semakin kompleks di dalam cerita. Menciptakan drama seperti itu tidak mudah tapi di sini Lonergan tampilkan konten yang berat seperti kapal yang berlayar mulus di lautan, dengan cinematography dan score serta editing yang oke menciptakan character study berisikan berbagai “serangan” emosi dalam kadar yang pas, menghadirkan emosi dengan punch yang menawan meskipun sesekali memasukkan wit and humor sebagai pemanis, terasa compelling and crushing namun juga bittersweet and rewarding

 

Lonergan juga patut berterima kasih pada jajaran cast yang berhasil menampilkan karakter mereka dengan sangat baik. Lonergan menemukan main man yang sangat tepat pada Casey Affleck yang di sini secara resmi berhasil menunjukkan bahwa ia dapat berdiri sejajar dengan kakaknya Ben Affleck. Awalnya Lee Chandler mungkin akan terasa monoton tapi seperti cerita ia menunjukkan kesedihan yang terus melebar dan meluas secara subtle. Penonton hanyut di dalam perjuangan Lee Chandler karena Affleck berhasil membuat Lee tenggelam di dalam amarah dan kesedihan. Banyak “gerak” dari pria yang introvert itu seperti punya power yang siap menghancurkan apapun yang ada di depannya, ia menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri sehingga terjerat dalam penderitaan dan rasa bersalah. Casey Affleck tampilkan itu secara akurat, dia membuat Lee terlihat seperti real person bukan karakter di dalam cerita, and for that he deserve all the accolades. 


Pemeran pendukung di Manchester by the Sea berhasil menjadi supporter yang baik bagi Casey Affleck. Hubungan antara Lee dan Patrick digunakan untuk mengeksplorasi kesedihan dengan sedikit humor, Lucas Hedges berhasil menjadi partner yang oke di bagian itu. Kyle Chandler juga tampil baik, waktu yang ia punya memang tidak banyak tapi ia menjalankan peran Joe dengan baik dan benar, sama seperti Gretchen Mol. Last but not least adalah Michelle Williams. Jika dijelaskan secara singkat sebagai Randi ia menyajikan sebuah performances yang terasa sangat “rich”, and yes that encounter and talking in the street seriously electrifying. Itu sebuah raw coneversation sebenarnya namun uniknya di sana Lee dan Randi seperti dicambuk oleh situasi di dalam kehidupan mereka, terdapat rasa sesal dan emosi yang powerful di sana karena sikap atau tindakan yang pernah mereka lakukan.  


Tidak pernah terasa mencoba tampak “flashy” sejak awal hingga akhir ‘Manchester by the Sea’ merupakan sebuah drama yang berkisah tentang tragedi yang mempengaruhi banyak pihak, kesedihan bersama pain, sorrow, serta gejolak batin, lalu kemudian bertemu dengan acceptance. Terkesan sederhana tapi itu tampil seperti sebuah balon yang terus ditiup secara perlahan, dari kasih sayang lalu hurting and rebuild semua berhasil Kenneth Lonergan tampilkan dalam komposisi yang pas, dari emosi, humor, ache, even humanity and life. Karena kepedihan yang ia tampilkan terasa nyata membuat ‘Manchester by the Sea’ not for the faint-hearted, sebuah heartbreaking and heartwarming melodrama yang terasa affecting, engrossing, and rewarding, a stunning emotion crescendo. Segmented.












0 komentar :

Post a Comment