10 November 2016

Review: The Girl With All The Gifts [2016]


"What am I?"

Ketika berbicara tentang zombie movies yang kini lebih populer ketimbang vampires kita tidak bisa mengesampingkan salah satu fakta bahwa formula yang mereka gunakan serupa namun tak sama, manusia terjebak kemudian zombie muncul dan setelah itu manusia lari, masuk ke dalam mode aksi kejar layaknya tom and jerry di mana satu persatu karakter kemudian tumbang. ‘The Girl with All the Gifts’ juga menggunakan dasar dari formula itu namun menyajikan sebuah petualangan yang menarik dan intens tanpa mengumbar berbagai “kehebohan” yang berlebihan. It's a calm but edgy zombie horror drama.

Sepuluh tahun pasca zombie apocalypse wanita bernama Helen Justineau (Gemma Arterton) bersama beberapa manusia lain seperti scientist Dr. Caroline Caldwell (Glenn Close) dan Sergeant Eddie Parks (Paddy Considine) hidup di dalam sebuah pangkalan militer yang terisolasi. Di sana mereka berusaha menemukan cara untuk menyelamatkan dunia dari bencana tersebut, dari berusaha menciptakan vaksin yang melibatkan para tahanan berusia muda. Salah satu dari tahanan tersebut bernama Melanie (Sennia Nanua), remaja yang tampak friendly dan normal namun memiliki “keistimewaan” yang extremely deadly dan diyakini dapat digunakan untuk menyelamatkan dunia.  


Dari sinopsis di atas tadi mungkin akan muncul pertanyaan sederhana, “so, jadi ceritanya adalah seorang anak istimewa digunakan untuk menyelamatkan dunia?” Sekilas itu tepat namun ketika kamu melangkah keluar dari setengah jam pertama durasi kamu hal sederhana tadi mungkin tidak lagi menjadi bagian dari pikiran kamu. Sutradara Colm McCarthy terampil dalam menciptakan kesan misterius baik itu pada karakter maupun cerita, script yang ditulis langsung oleh penulis novel yang menjadi dasar cerita, M.R. Carey, berhasil Colm McCarthy gunakan untuk membuat penonton semakin tertarik pada karakter dan mulai menaruh rasa curiga pada mereka. Hal tersebut terjadi karena narasi sendiri hanya menyajikan satu fakta besar di awal, yaitu bencana dan zombie, namun setelah itu usaha karakter untuk dapat menyelamatkan diri dunia dan menyelamatkan diri mereka pada khususnya berbalut berbagai pertanyaan. 


Itu sebuah setting yang baik dan perlahan McCarthy bentuk menjadi tampak lebih kompleks. Karakter Melanie sejak kemunculannya sudah sukses mengikat atensi penonton dan semakin lama remaja yang tampak normal itu menunjukkan pada kita bahwa dia merupakan sebuah kotak Pandora, berisikan berbagai misteri dan mungkin saja bahaya yang membuat excitement yang dihasilkan cerita terasa oke. McCarthy memang tidak lupa memanfaatkan setting zombie apocalypse yang ia punya untuk menghadirkan berbagai momen yang terasa cukup intens ketika dinding pembatas antara aman dan bahaya itu dibuka, namun menarikan bagian di mana berbagai infected people itu hadir bukan highlight dari film ini. Hal paling menarik dari ‘The Girl with All the Gifts’ justru terletak pada elemen drama yang ia punya, dari permainan science, myth, hingga interaksi antara karakter terutama antara dokter dan Melanie. 


Karena sejak awal tidak sepenuhnya yakin pada masing-masing karakter di dalam cerita interaksi yang mereka lakukan sering menghasilkan berbagai “gesekan” yang menarik. Hal tersebut tetap eksis ketika cerita mulai masuk ke mode zombie road movie, different views di antara karakter menghasilkan pertanyaan siapa yang akan mati dan siapa yang akan selamat bersanding dengan baik bersama rasa penasaran pada apa yang akan terjadi ketika “ledakan” muncul di antara mereka. Tidak selalu terasa kuat memang namun hal tersebut membuat daya cengkeram dari ‘The Girl with All the Gifts’ terasa cukup konsisten hingga akhir apalagi dengan ditemani feel dari zombie apocalypse yang cukup oke, seperti setting misalnya yang terasa seperti ‘28 Days Later’ atau ‘I Am Legend’, atmosfir cerita juga oke terutama pada perpaduan antara harapan dan bahaya yang duduk berdampingan. 


Satu-satunya hal yang tidak begitu kuat dari ‘The Girl with All the Gifts’ bukan berasal dari performa akting yang terasa understated itu tapi dari punch di bagian akhir yang terasa biasa, not disappoints tapi terasa kurang nendang. Begitupula dengan paruh akhir di mana humor terasa sedikit lebih mendominasi. Selebihnya ‘The Girl with All the Gifts’ berhasil menjadi perpaduan drama, horror, dan terror yang terasa memuaskan, sebuah post-apocalyptic zombie yang berhasil menggabungkan drama dan horror menjadi perpaduan thrill dan moral-philosophical yang terasa oke. Segmented. 











0 komentar :

Post a Comment