16 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Philosopher's Stone (2001)


"Bless my soul. It's Harry Potter!"

Satu setengah dekade yang lalu tepatnya tanggal 16 November 2001 titik awal dari salah satu film series terbesar yang pernah diciptakan oleh industri perfilman, Harry Potter, lahir. Untuk mencoba merayakan hal tersebut sembari menjadi semacam intro bagi ‘Fantastic Beasts and Where to Find Them’ rorypnm mencoba untuk mereview delapan buah film yang menjadi bagian dari Harry Potter film series. Berikut adalah film pertama, Harry Potter and the Philosopher's Stone (Harry Potter and the Sorcerer's Stone), sebuah pembuka yang faithful and fluffy.

Hogwarts' Headmaster Albus Dumbledore (Richard Harris) bersama wakil kepala sekolah Minerva McGonagall (Maggie Smith) dan juga Hogwarts' Groundskeeper Rubeus Hagrid (Robbie Coltrane) pada suatu malam tiba di sebuah kompleks perumahan di jalan Privet Drive untuk mengantarkan seorang bayi mungil kepada Vernon Dursley (Richard Griffiths) dan juga Petunia Dursley (Fiona Shaw). Bayi mungil tersebut bernama Harry Potter (Daniel Radcliffe), anak yatim piatu yang menjadi sosok yang selamat dari serangan Lord Voldemort. Memiliki bekas luka di keningnya insiden tadi membuat Harry kemudian dikenal sebagai the special one di kalangan para penyihir.

Kini berusia 11 tahun Harry mendapat kesempatan tidak hanya untuk lepas dari perlakuan kasar dari paman dan bibinya tadi namun juga kesempatan untuk menjadi bagian dari sekolah sihir Hogwarts. Di sana ia bertemu dengan banyak sahabat baru di antaranya Ron Weasley (Rupert Grint) dan juga Hermione Granger (Emma Watson) serta di sisi lain juga bertemu dengan kompetitor bernama Draco Malfoy (Tom Felton). Harry merasakan excitement yang besar di tempat barunya tersebut terlebih ketika ia dipercayakan untuk menjadi seeker bagi tim Quidditch Gryffindor. Celakanya excitement tersebut juga membawa Harry bersama dengan Ron dan juga Hermione ke dalam masalah besar. Berawal dari rasa curiga dan ingin tahu yang besar terhadap Severus Snape (Alan Rickman) Harry bertemu dengan sosok yang selama ini telah menantinya, You-Know-Who. 


Seperti salah satu kata yang digunakan pada bagian pembuka tadi sebagai penonton yang juga membaca novel karya J. K. Rowling impresi utama yang tertinggal setelah selesai menyaksikan ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’ adalah ini merupakan penggambaran yang “setia” terhadap sumbernya, a faithful adaptation. Dengan durasi 142 menit sejak berangkat dari sinopsis hingga ketika ia selesai script yang ditulis oleh Steve Kloves terasa seperti upaya yang setia pada "template" untuk menghidupkan tulisan di dalam novel kedalam bentuk presentasi visual yang diarahkan oleh Chris Columbus. Beberapa perubahan kecil memang juga dilakukan namun mayoritas detail yang dimiliki oleh novel juga muncul di dalam film. Itu pada dasarnya merupakan hal yang sangat positif terutama bagi penonton yang juga membaca novelnya namun di sisi lain juga menghasilkan sedikit minus terutama pada kualitas kejutan yang berhasil ditampilkan.

Sutradara (Steven Spielberg initially negotiated to direct the film) serta screenwriter dengan visi yang lebih tinggi mungkin akan mencoba menggunakan dan mengolah materi untuk membentuk sesuatu yang lebih “wow” namun producer melakukan pekerjaan yang tepat tidak hanya pada keputusan menunjuk Chris Columbus sebagai sutradara namun juga menjaga agar film pertama ini tetap setia pada sumber cerita. Karena setia dengan sumber cerita mengikuti Harry berjalan di film ini terasa seperti membaca novel ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’. Banyak hal positif yang lahir dari sana sebut saja pondasi terhadap karakter dan juga konflik yang akan mereka hadapi kelak berhasil dibentuk dengan cara yang efektif, termasuk di dalamnya perkenalan singkat Lord Voldemort dengan kesan berbahaya yang ditampilkan dengan manis. 


Hal tersebut juga menghasilkan dampak kumulatif di bagian akhir di mana penonton dibuat tertarik dan kemudian terikat dengan daya tarik maupun pesona yang dimiliki setiap karakter di dalam cerita. Sangat mudah untuk jatuh hati pada Harry di film ini terutama jika menilik kondisi yatim piatu yang ia miliki serta status the special one yang ia sandang. Sama halnya dengan karakter lain seperti Ron dan juga Hermione, chemistry di antara mereka sebagai sahabat dan serta tim juga terbentuk dengan cara yang simple dan efektif. Transformasi dari buku menjadi film itu juga ditangani dengan baik oleh Chris Columbus ketika membentuk elemen lain yang lebih luas, seperti berbagai tata cara atau aturan maupun sistem yang terdapat di Hogwarts, dari sistem berkirim pesan dan hadiah hingga permainan Quidditch. Cara Chris membentuk dan menjaga atmosfir sihir di dalam Hogwarts juga terasa oke, penonton dibuat terpana dengan berbagai magic namun juga dapat merasakan sesuatu yang haunting di dalam sekolah berbentuk castle itu.

Hal lain yang juga berada di level well done di ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’ adalah kualitas humor yang ia miliki. Screenplay yang terasa understated karena sejak awal telah setia itu berhasil memastikan berbagai humor memiliki kesempatan tampil yang “mudah” untuk membuat penonton tersenyum, sama seperti kemampuannya dalam membuat penonton ikut larut di dalam imajinasi fantasi itu berbagai usaha komedi dihadirkan dalam kadar yang pas dan bersifat tepat guna. Hal tersebut harus diakui sangat membantu excitement yang ditampilkan cerita pada 45 menit pertama karena pada bagian tersebut cerita yang masih mencoba membentuk karakter belum menyajikan “track” yang benar-benar terasa menarik. Dapat dikatakan hal tersebut akan meninggalkan dampak yang cukup signifikan terhadap penonton yang terlebih dahulu telah membaca novelnya karena dengan demikian otomatis mereka akan lebih sulit untuk “dikejutkan” oleh berbagai upaya menghadirkan kesan “wow” di bagian tersebut. 


Seperti yang disebutkan di awal tadi terdapat nilai minus dari eksekusi yang setia pada novel di ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’, yaitu in the end it’s not a “monumental” one. There’s a lot of magic here namun hanya beberapa di antara mereka yang menghasilkan punch yang kuat. Namun hal tersebut harus diakui tidak terasa begitu mengganggu terlebih jika penonton telah merasa terikat di dalam alur yang tidak hanya punya power hypnotic yang tinggi pada sektor cerita saja namun juga pada elemen teknis. Dari sets, kostum, special effects, mereka terasa outstanding untuk ukuran tahun di awal millennium, a lovely treat for the eyes terutama pada momen pertandingan Quiddich. Kualitas imajinatif yang dihasilkan sangat kuat dan believable, dari momen di Platform 9 ¾ hingga pertarungan antara Harry dan You-Know-Who. Elemen teknis lainnya seperti cinematography juga melakukan pekerjaan yang baik termasuk pula score dari John Williams yang terasa gorgeous and magical.

Kinerja pada aktor dan aktris juga memiliki kontribusi dalam membuat ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’ menjadi sebuah start yang manis bagi Harry Potter film series. Fokus kita tentu saja diarahkan pada Harry Potter dan Daniel Radcliffe does a decent job bringing the characters to life. Bukan sebuah kinerja akting yang kuat memang namun untuk ukuran newcomers itu terasa impesif, sama halnya dengan Rupert Grint and the lovely one, Emma Watson. Di sisi lain adult actors tidak mendapat kesempatan tampil yang sama besarnya seperti child actors namun mereka mampu membuat kemunculan dari karakter mereka di dalam layar meninggalkan kesan yang kuat dan tentu saja juga menjalankan tugas mereka dengan baik. 


Overall, Harry Potter and the Philosopher's Stone adalah film yang memuaskan. Ketika melakukan rewatch saya masih dapat merasakan “magic” seperti yang saya rasakan dahulu meskipun dengan penggunaan point of view dari adult audience tidak semua dari mereka menghasilkan punch yang kuat. Chris Columbus tetap berpegang teguh pada template yang dimiliki oleh novel dan itu membantunya dalam membentuk perkenalan ini menjadi terasa efektif dan tepat sasaran, lent some gravitas even thought not a “monumental” one. Felt rushed namun dengan cerita yang hypnotic and easy to follow serta elemen teknis yang mumpuni dalam menyajikan visual feast Harry Potter and the Philosopher's Stone merupakan sebuah sajian fantasi yang understated dan imaginatif, sebuah start dari a gorgeous adventure yang terasa faithful and fluffy.











5 comments :

  1. Replies
    1. kan udah jelas di akhir dia bilang "rewatch" makanya di baca baik2, jgn langsung komen :p :p

      Delete
    2. ya bang... jangan marah bang...
      ampun...

      Delete
    3. emang kalau nonton Harry Potter enak di rewatch...

      lebih kerasa harry nya..
      mksdnya dunia sihir nya...

      Delete