22 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Goblet of Fire (2005)


"Lord Voldemort has returned!"

Lewat ‘Harry Potter and the Prisoner of Azkaban’ sutradara Alfonso Cuaron berhasil melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam “perkenalan” tone yang lebih darker ke dalam petualangan Harry Potter dan teman-temannya di dunia sihir, sebuah start yang kini coba diekspansi pada film keempat, menaruh fokus pada isu terkait adolescence dan tentu saja menjadi arena bagi perkenalan dari the one and only, Lord Voldemort. Berikut adalah film keempat dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Goblet of Fire, a good welcome to dark and difficulty.

Ketika sedang menikmati post-match dari pertandingan Quidditch World Cup yang Harry Potter (Daniel Radcliffe) bersama Hermione (Emma Watson), Ron (Rupert Grint) dan juga the Weasleys dihadapkan pada sebuah kepanikan besar akibat terror yang dilancarkan oleh Death Eaters. Meskipun berhasil selamat pada kejadian tersebut Harry melihat Bartemius Crouch Jr. (David Tennant), pria yang sebelumnya hadir di mimpi Harry sedang berdiskusi bersama Peter Pettigrew (Timothy Spall) dan Lord Voldemort. Peristiwa tersebut ternyata merupakan first sign bagi lahirnya bencana besar di dalam dunia sihir yang disaksikan langsung oleh Harry ketika ia menjadi bagian dari Triwizard Tournament.

Bersama dengan Cedric Diggory (Robert Pattinson) secara “ajaib” Harry terpilih mewakili Hogwarts dan menjadi peserta keempat di samping Viktor Krum (Stanislav Ianevski) perwakilan dari Durmstrang Institute, serta Fleur Delacour (Clémence Poésy) perwakilan dari Beauxbatons Academy of Magic. Para peserta harus melewati tiga tantangan yang berbahaya, pertama melindungi telur dari serangan naga berbahaya, tantangan yang kedua yaitu menyelam untuk menyelamatkan rekan mereka, dan yang terakhir masuk ke dalam labirin untuk menemukan Triwizard Cup. Terdapat kejutan besar yang harus Harry saksikan pada tantangan ketiga, salah satunya berasal dari sosok yang sangat ditakuti oleh dunia sihir, Lord Voldemort (Ralph Fiennes). 


Untuk pertama kalinya setelah tiga film berlalu film Harry Potter mendapat rating PG-13, and that’s not for nothing. Screenplay masih ditangani oleh Steve Kloves namun kini perubahan kembali terjadi di bangku sutradara di mana Mike Newell menerima baton dari Alfonso Cuaron, mencoba membawa dunia sihir itu kembali bertumbuh dengan tetap berpijak pada tone yang telah Cuaron hadirkan di Harry Potter and the Prisoner of Azkaban. Di sini Harry dan teman-temannya telah berusia 14 tahun, masa di mana rasa ingin tahu mereka semakin berkembang dengan pesat. Salah satunya tentu saja terhadap lawan jenis, hal yang ditangani dengan baik oleh Mike Newell lewat penggambaran dapat dikatakan understated, dari membawa karakter merasakan cheating and cheated termasuk ketika Harry secara “ajaib” terpilih menjadi perwakilan Hogwarts dan mengubah pertarungan yang seharusnya bersifat tiga arah. 

Masih terdapat berbagai hal “cute” di dalam Harry Potter and the Goblet of Fire namun fokus utama film ini adalah membawa Harry semakin paham bahwa eksistensinya di dunia sihir tidak hanya sekedar sebagai remaja yang belajar sihir di sekolah sihir. Sejak awal Harry telah mendapat status “The Special One” dan di sini ia belajar mengenai status tersebut lewat kemunculan berbagai hal berbahaya di sekitarnya baik secara fisik maupun emotional. Sama sepertinya novelnya script dan eksekusi yang Mike Newell terapkan di sini memiliki misi untuk membawa karakter menjalani proses selanjutnya dari growing up dengan memborbardir mereka menggunakan pain and fear. Alhasil Harry Potter and the Goblet of Fire terasa more violent dipenuhi berbagai destruction, perkenalan karakter penting dan baru juga tercapai dengan baik dan tentu saja dunia sihir itu menjadi semakin luas dan kompleks. 


Dan dampaknya cukup signifikan. Setelah tiga buah film yang berfokus pada mystery-solving yang mencoba membentuk atau membangun latar belakang berbahaya yang dimiliki oleh Harry Potter, di sini kita menyaksikan karakter lebih condong bermain dengan emosi meskipun dikelilingi berbagai adegan aksi. Mike Newell dan tim di belakangnya melakukan pekerjaan yang cukup baik dalam mengemas hal-hal cute dan lucu di dalam cerita contohnya seperti dialog yang menampilkan dengan baik transisi Harry dan karakter lain dari teenager untuk semakin dekat menuju adult. Tidak heran emosi yang dihasilkan berada satu level di atas emosi yang pada tiga film pertama terlebih dengan penggambaran yang lebih mengandalkan character-driven yang membawa petualangan itu bergerak stabil dari satu plot point menuju plot point lainnya. Script berhasil membuat cerita yang “gemuk” itu terasa ramping dan clear, ringkas namun tidak kehilangan “heart” yang dimiliki oleh cerita.

Harry Potter and the Goblet of Fire memiliki dramatisasi yang efektif, sebuah examination terhadap dark side yang dimiliki Harry tanpa menggerus kualitas elemen fun yang telah eksis sejak film pertama seperti hal-hal fun di sekolah yang di sini berkembang dengan menyuntikkan teenage romance. Di sisi lain imajinasi penonton juga dibawa untuk bertemu pada elemen yang lebih scary seperti fakta bahwa kini Harry semakin dekat menuju sebuah jurang gelap yang sangat berbahaya. Lebih action-oriented ketimbang para pendahulunya Harry Potter and the Goblet of Fire dipenuhi dengan berbagai action sequences yang cukup oke sebagai build-up menuju battle di bagian sebelum penghujung, terdapat magic yang oke di sana serta kualitas fantasi yang dihasilkan juga terasa mumpuni. Kuantitas dan kualitas emosi di dalam cerita turut membantu “image” dari berbagai sekuens tersebut, doesn’t quite pay off namun terbantu koneksi yang dimiliki antara karakter (Harry Potter) dan penonton yang dengan mudah dibawa untuk berada di belakangnya.  


Namun dengan segala kelebihan itu sayangnya film ini tidak berhasil duduk sejajar dengan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, itu diakibatkan oleh pace yang dimiliki oleh cerita. It’s compelling but not so exciting, presentasi cerita film ini terasa padat tapi tidak konsisten membuat setiap moment menghadirkan punch yang memikat, meskipun tidak pernah terasa terlalu berlarut-larut ketika bermain dengan materi harus diakui alur cerita terasa draggy di beberapa bagian. Seandainya momen ketika Harry dan Voldemort tidak dikemas dengan baik seperti yang Mike Newell lakukan di sini mungkin makna dari “perjuangan” yang Harry lalui sebelum sampai di sana akan terasa kurang nendang. Untung saja baik dari konteks cerita maupun visual penggambaran pada proses “perkenalan” Voldemort itu meninggalkan punch yang memorable. Minus kecil lainnya yang terasa notable dari film ini adalah CGI pada Quidditch World Cup.

Presentasi yang terasa kurang exciting di beberapa bagian itu untung saja tidak terjadi pada divisi cast. Daniel Radcliffe, Emma Watson, dan Rupert Grint tampak more and more comfortable pada karakter yang mereka perankan, Daniel cukup impresif membentuk emosi terhadap “tekanan” yang semakin kompleks yang harus Harry hadapi sementara Emma dan Rupert still fun to watch terutama pada perselisihan yang childish itu. Adult actors kembali menjalankan tugas mereka dengan baik, dari Michael Gambon, Maggie Smith, Alan Rickman, and Gary Oldman sementara itu newcomers berhasil klik dengan manis pada peran mereka masing-masing, seperti David Tennant lewat kontribusi singkat namun berkesan serta Brendan Gleeson yang berperan sebagai Professor Alastor Moody. Last but not least tentu saja Ralph Fiennes, sebuah perkenalan yang a bit low key and brief namun berhasil memanfaatkan kesempatan itu untuk menghadirkan sebuah first full appearance yang unforgettable. 


Overall, Harry Potter and the Goblet of Fire adalah film yang memuaskan. Jika di film sebelumnya petualangan Harry Potter berhasil di enriched di film ini hal tersebut berhasil di enhances dengan baik oleh Mike Newell, menggunakan ground work tiga film sebelumnya untuk melanjutkan examination terhadap the dark side yang terdapat di dalam dunia sihir dan tentu saja kehidupan Harry Potter. Dengan script yang berhasil dikompres dengan mumpuni dari salah satu J.K. Rowling’s longest books ini merupakan presentasi yang faithful to its source, meskipun terasa kurang exciting di beberapa bagian secara overall tetap berhasil menjadi sebuah kelanjutan yang understated dengan dramatisasi yang efektif. Not quite as great as Prisoner of Azkaban, but surely it’s a good welcome to dark and difficulty for what happens next in the story. 












0 komentar :

Post a Comment