31 October 2016

Review: Things to Come [2016]


Ketika kamu bertemu dengan kegagalan dan kemudian dirundung rasa sedih serta menyesal apa yang biasanya kamu lakukan? Banyak opsi memang, salah satunya memikirkan hal-hal aneh seperti berharap agar kamu dapat memutar kembali waktu untuk mundur dan menghindar dari kesalahan yang kamu lakukan. Secara logika tidak ada reset button di dalam kehidupan nyata, itu mengapa mereka mengatakan yesterday is a memory dan yang harus kamu lakukan selanjutnya adalah melangkah maju, hadapi tidak peduli seberapa berat rintangan yang menantimu. Hal tersebut terkesan "berat", right? Film ini menggambarkan hal tersebut dengan cara yang tidak berat, Things to Come ( L'Avenir), a story about dealing with the evils of human existence.

Nathalie Chazeaux (Isabelle Huppert) merupakan seorang professor filsafat yang sangat mencintai pekerjaannya, her daily life sangat teratur dari mengurus keluarga hingga menulis buku filsafat. Suatu ketika suami Nathalie mengatakan bahwa dia akan tinggal dengan wanita lain dan membuat kehidupan Nathalie seketika menjadi berubah. Nathalie belajar bahwa ia kini berhadapan dengan kebebasan, dari sana Nathalie berusaha untuk mencoba menemukan kembali hidupnya, reinvent her life.  


Sinopsis di atas memang sangat sederhana namun jangan disangka apa yang Mia Hansen-Løve (All Is Forgiven, The Father of My Children, Goodbye First Love, Eden) coba tampilkan di sini sama sederhananya. Cara penyampaian yang Mia gunakan di sini memang tidak rumit tapi cerita menyimpan berbagai hal menarik tentang manusia dan hidup yang berhasil merangsang pikiran penonton untuk coba mengeksplorasi mereka secara lebih mendalam. Karakter utama kita adalah seorang guru philosophy, punya semangat yang tinggi ketika mengajar tentu menandakan dia juga punya semangat yang tinggi pula tentang filsafat, tentang fenomena kehidupan dan pemikiran manusia. Suatu ketika ia justru masuk ke dalam masalah yang memiliki kaitan dengan filsafat, and boom dari sana muncul sebuah studi karakter dengan berisikan emosi dan ideologis yang menarik. 


Mungkin sepintas terkesan berat tapi seperti yang ia lakukan di film-filmnya terdahulu Mia Hansen-Løve berhasil mengemas masalah tadi tanpa menciptakan kerumitan yang terasa membebani penonton.  Di sini ia mendorong agar sebuah kotak Pandora yang selama ini mungkin tidak pernah Nathalie terlalu pedulikan, ia buka dan kemudian bertemu dengan berbagai “evils” yang hidup di bumi. Pertanyaan menarik yang muncul dari sana adalah bagaimana guru filsafat itu akan mengatasi fenomena kehidupan tersebut? Itu sebuah krisis yang menarik dan dikemas oleh Mia Hansen-Løve dengan keunikan yang menjadi ciri khasnya, menggabungkan kompleksitas dan kontradiksi bersama sensitifitas dengan cara yang elegan. Mia Hansen-Løve juga berhasil menyuntikkan emosi yang lembut ke dalam karakter dan cerita sehingga menyaksikan Nathalie “beraksi” seperti sedang mengamati guru mempraktekkan materi pelajaran langsung kepada muridnya. 


Materi cerita yang dimiliki Things to Come ( L'Avenir) sangat berpotensi besar untuk terasa menggurui tapi dengan situasi seperti tadi menariknya tidak ada kesan “menggurui” dari film ini. Seperti studi karakter pada umumnya kita dibawa mengamati karakter yang di sini berhadapan dengan sebuah heartbreaking truthfulness ditemani oleh seorang pria dan seekor kucing. Apa yang dibicarakan di sini adalah tentang kesempatan baru dengan menggunakan sebuah “tragedy” tanpa menciptakan kesan sebagai sebuah depressing drama. Nathalie hidup di dalam sebuah comfortable environment dan sekarang ia bertemu dengan sebuah track baru yang menghasilkan sebuah kontemplasi batin, dikemas dengan lembut tanpa dramatisasi yang berlebihan. Dari sana kita melihat kontras yang terdapat pada ketika Nathalie mengajar dan krisis dalam kehidupannya yang pada akhirnya berujung pada tujuan yang ingin dicapai oleh Mia Hansen-Løve, perbedaan between philosophy and real life. 


Film ini merupakan penggambaran yang manis pada bagaimana filsafat dan mungkin berbagai studi dan ilmu lainnya dapat membantu kamu memahami situasi dalam hidup, tapi pada akhirnya mereka bukan manual yang komprehensif. Di tangan anak yang orangtuanya both philosophy ini proses “dealing” itu dikemas secara tepat sasaran, sebuah kebangkitan pada kehidupan karakter utama yang berisikan berbagai ironi dan simpati yang menarik. Hal tersebut berhasil dicapai oleh Things to Come ( L'Avenir) dengan baik juga berkat karakter utama kita yang memiliki pesona sosok dewasa yang hangat. Nathalie adalah mature woman dengan intellectual and happy life, di tangan Isabelle Huppert ia tidak hanya berhasil terus mengikat perhatian penonton saja tapi membuat mereka semakin dan semakin tertarik untuk mengamatinya secara lebih jauh, itu karena ia berhasil menggambarkan problemanya dengan cara yang ringan dan understandable. 


So, apakah reset button benar-benar tidak eksis di dalam kehidupan setiap manusia? Ya, ada, meskipun dengan kemampuan terbatas. Things to Come ( L'Avenir) menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan tiga fase dalam kehidupan: past, present, and future, bertemu dengan karakter utama yang berhadapan dengan berbagai “evils” di dalam kehidupan. Sejak awal Things to Come membawa ide yang menarik dan itu berhasil distimulasi dengan baik oleh Mia Hansen-Løve, bercerita tentang suka dan duka dengan cara yang natural, menaruh kesedihan sebagai fokus utama sembari menyelimutinya dengan berbagai humor yang tepat guna. Sekilas Things to Come terkesan rumit, faktanya ia membawa isu yang rumit, namun dengan eksekusi yang tidak rumit ia berhasil menjadi sebuah thoughtful drama tentang life crisis yang menyenangkan dan menambah panjang daftar film memorable dari Mia Hansen-Løve. Mia Hansen-Løve is, love. Segmented.












0 komentar :

Post a Comment