01 September 2016

Movie Review: Don't Breathe (2016)


"Now you’re gonna see what I see."

Jika sebuah film baru dapat dikatakan sebagai sebuah film yang bagus jika ia mampu memberikan penontonnya sesuatu yang belum pernah mereka temukan sebelumnya tentu akan sulit menemukan film-film yang masuk ke dalam kategori film bagus. Tidak perlu ribet, gunakan formula klasik dari genre yang hendak digunakan, suntikkan berbagai tweak baik itu pada materi serta ketika melakukan eksekusi, dan ciptakan feel yang dapat membuat penonton merasa bahwa apa yang ia berikan merupakan sesuatu yang segar, maka film tersebut merupakan sebuah film yang bagus. Hal tersebut yang dilakukan oleh film ini, menggunakan formula klasik sebuah home invasion dan menggabungkannya bersama terror di dalam keheningan yang bermain dengan paranoia penontonnya. 'Don’t Breathe': a "right on target" horror thriller experience.

Tinggal di kawasan “kumuh” kota Detroit wanita muda bernama Rocky (Jane Levy) memiliki kehidupan yang kelam, ia harus membiayai hidup adiknya, sang ibu, dan juga teman pria sang ibu. Cara Rocky memperoleh uang untuk menunjang kehidupan keluarganya itu juga sama kelamnya, ia melakukan aksi pencurian yang telah ia susun bersama dua orang pria, Money (Daniel Zovatto) yang merupakan pacar Rocky, dan Alex (Dylan Minnette), yang selalu mencoba bermain aman dan bersih ketika melakukan aksi pencurian, pria muda yang tampak “terpaksa” melakukan aksi pencurian bersama Money dan Rocky terlebih jika menilik latar belakang keluarga tempat ia berasal.

Suatu ketika tiga anak muda ini menemukan target yang begitu "empuk": seorang pria mantan veteran perang yang belum lama ini mendapat santunan berupa dana dalam jumlah yang begitu besar. Tempat tinggal target di daerah pemukiman yang begitu sepi tidak hanya satu-satunya keuntungan bagi Money, Rocky, dan Alex, mereka juga mendapat keuntungan lebih besar karena indera penglihatan dari The Blind Man yang bernama Norman Nordstrom (Stephen Lang) itu tidak lagi berfungsi, ia buta dan harus dituntun oleh anjing peliharaannya ketika beraktifitas di luar rumah. Celakanya misi yang tampak sederhana bagi Rocky dan dua sahabatnya itu justru membawa mereka masuk dan terjebak di dalam sebuah “bencana” besar. 


‘Don't Breathe’ merupakan entri terbaru sangat positif bagi filmography milik Fede Alvarez, ia mampu menghadirkan terror yang lebih baik ketimbang apa yang ia tampilkan di remake Evil Dead tiga tahun lalu, menariknya tanpa menggunakan karakter hantu. Memanfaatkan kondisi sunyi, sepi, dan terpencil di salah satu sudut kota Detroit, lalu masukkan karakter ke dalam sebuah “neraka” ruang sempit, 'Don’t Breathe' berhasil menjadi sebuah “chiller” yang menarik, sebuah home invasion yang mengusung thriller sebagai jualan utama namun tidak mencoba membuat penonton merasakan sensasi lewat presentasi penuh kebisingan di sana-sini. Menggunakan formula klasik dari genre lalu melakukan sedikit tweak dengan memutar dan mempermainkan perspektif antara protagonist dan antagonist, sama seperti judul yang ia gunakan ‘Don’t Breathe’ menyajikan suspense dengan membawa penonton berjalan bersama karakter dipenuhi momen yang membuat mereka “bermain” dengan nafas, memanfaatkan dengan manis ruang sempit cerita dengan menempatkan claustrophobic di panggung utamanya.

Cerita yang ditulis oleh Fede Alvarez bersama dengan Rodo Sayagues sebenarnya tidak special namun ini bekerja dengan baik karena eksekusi yang Fede Alvarez gunakan terasa efektif. Hal terbaik yang mereka lakukan di sektor cerita adalah menciptakan ambiguitas di dalam konflik yang terjadi di antara dua kubu, masing-masing memiliki aksi yang “buruk” sehingga batasan antara protagonist dan antagonis menjadi tidak begitu jelas. Tidak peduli seberapa “bersih” Alex mencoba untuk mengingatkan Money dan Rocky ketika mereka sedang beraksi sebuah aksi pencurian tetap saja bukan sebuah “art” yang elegan untuk meraih uang apalagi di sini sasaran mereka merupakan sosok yang memiliki disability. Di sisi lain ketika penonton semakin menaruh rasa simpati pada apa yang dialami oleh The Blind Man cerita menghadirkan sebuah kejutan yang mampu sedikit memutar arah dari rasa simpati tadi, dan semakin menyeramkan karena fakta tersebut muncul setelah sebelumnya penonton “mendukung” The Blind Man yang tampak tangguh dan sulit untuk ditaklukkan itu. 


Situasi tersebut yang dipermainkan dengan baik oleh Fede Alvarez, anda dibuat meragu sisi mana yang anda harapkan akan selamat walaupun karakter Rocky dilengkapi dengan sedikit latar belakang yang membuat aksinya terasa perlu untuk dilakukan. Penonton perlahan telah berinvestasi pada karakter dan motivasi mereka namun setelah itu tercapai hadir berbagai kejutan yang menciptakan sebuah clash dan “bisnis” yang unik serta menarik. Fede Alvarez melakukan “juicing” yang manis pada konten yang ia miliki tersebut, membuat narasi terasa simple serta tidak mencoba terasa rumit lalu fokus pada proses menarik dan mengulur ketegangan dengan memanfaatkan permainan atmosfir cerita yang terasa ketat berkat kombinasi elemen horror di dalamnya. Hal terbaik yang ‘Don’t Breathe’ punya di sektor ini adalah cara Fede Alvarez memainkan momentum, membuat penonton fall deeper di dalam keheningan yang dingin itu sembari mempermainkan paranoia mereka, there, not there, there, boom, gotcha.

Pencapaian tersebut tidak hanya berkat sektor cerita saja namun juga mendapat kontribusi dari eksekusi di elemen teknis. Elemen teknis ‘Don’t Breathe’ terasa crispy, tidak keras namun juga tidak terlalu lembut, dan yang paling standout dari mereka adalah cinematography yang berada di bawah kendali Pedro Luque. Cinematography di sini terasa manis, mampu memanfaatkan dengan baik ruang bermain untuk menciptakan dan mempertahankan rasa sesak, dari cara ia berperan terhadap punch yang dihasilkan terror serta menciptakan momentum yang membuat penonton merasa terikat dengan berbagai goncangan adrenalin yang disajikan. Penggunaan night vision filter itu juga terasa manis, sama seperti yang diberikan oleh sound department, penggunaan suara dari derit hingga retak seperti yang dihasilkan oleh langkah kaki Money, Rocky, dan Alex yang mencoba untuk tidak terdeteksi keberadaan mereka oleh The Blind Man, terasa efektif dan tidak terasa berlebihan ketika berperan dalam menciptakan atmosfir haunting


‘Don’t Breathe’ merupakan sebuah presentasi thrill yang oke dari Fede Alvarez, memprovokasi penonton dengan pendekatan cinematic stylish dan juga pace yang menarik, namun ia juga memiliki "dosa" yang cukup oke. Trust penonton pada Rocky dan dua temannya yang lalu diputar arahnya tidak terasa mengganggu, sama halnya dengan fakta terkait indera penciuman dari The Blind Man dan sepatu sementara kita tahu bahwa sebelum melakukan aksi pencurian Rocky sebelumnya merokok terlebih dahulu (mungkin asap itu bersifat “membantu”), itu bukan masalah besar. Masalahnya ada di opening scene. Timing ketika masuk studio itu penting, mereka yang sudah pro bahkan akan tahu kapan berbagai iklan itu selesai dan masuk tidak lama sebelum film dimulai, namun meskipun saya menentang budaya terlambat masuk ke dalam studio tapi untuk 'Don’t Breathe' mungkin akan lebih baik jika anda terlambat masuk sekitar dua hingga tiga menit. Mengapa? Karena efek yang dihasilkan oleh opening scene itu cukup besar terhadap kenikmatan ‘Don’t Breathe’ secara overall.

Dampak yang ia hasilkan memang tidak bersifat merusak namun thrill yang dihasilkan ‘Don’t Breathe’ sulit untuk terasa maksimal ketika “fakta” tersebut terlintas di pikiran, tidak peduli seberapa kuat dan memikat para pemeran menampilkan karakter mereka. Kinerja akting ‘Don’t Breathe’ sendiri cukup manis. Hal terbaik yang dilakukan oleh Jane Levy adalah ia berhasil membuat kepentingan di balik tindak kriminal yang mereka lakukan itu menarik simpati penonton, sempat menginginkan Rocky berhasil sehingga dapat hidup bahagia. Cara Jane Levy  menampilkan rasa cemas dan takut lewat ekpresi wajah juga terasa baik, sama seperti yang dilakukan Dylan Minnette pada karakter Alex. Tapi bintang utamanya di sini adalah Stephen Lang, memiliki line yang minim tidak lantas menghalanginya untuk menebar ancaman yang menakutkan, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh karakternya berhasil ia bentuk dengan baik sehingga The Blind Man konsisten menebar intimidasi dan kegelisahan. 


Overall, ‘Don’t Breathe’ merupakan film yang memuaskan. Sinopsis miliknya memang tampak dangkal namun kesan simple yang terus berlanjut pada eksekusi yang Fede Alvarez terapkan justru mampu menciptakan sebuah sajian home invasion action thriller yang menghibur. Mempermainkan dan memeras paranoia penonton dengan menggunakan terror yang bermain-main di dalam keheningan penuh kegelisahan yang menarik, disokong dengan elemen teknis yang terasa crispy serta kinerja akting yang terasa mumpuni, Fede Alvarez tidak mencoba membawa ‘Don’t Breathe’ untuk tampak “pintar”, ini simple dan silly namun bersama dengan suspense, terror, dan provokasi hal tersebut tampil dalam pace, fokus, dan momentum yang manis dan sukses menyajikan sebuah "fright experience" yang terasa simple namun tepat sasaran.










2 comments :

  1. adegan paling menyeram kan bagi saya yakni saat adegan mati lampu itu...horor banget rasanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Visualisasinya manis memang, tenang tapi creepy.

      Delete