12 July 2016

Review: The Purge: Election Year (2016)


"We have one goal right now: Survival."

Absen tahun lalu dan memilih tahun 2016 untuk kembali menyapa penontonnya merupakan sebuah strategi yang sangat cerdik dari franchise perpaduan social sci-fi, action, dan horror ‘The Purge’. Tema yang dibawa kali ini memiliki momen yang sangat pas, pemilihan umum Presiden Amerika Serikat 2016, sejak awal telah begitu panas dengan perdebatan yang melibatkan kekerasan hingga rasis dari salah satu “badut” yang mencoba maju menjadi kandidat. Dengan budget yang tidak berbeda jauh dari dua pendahulunya tentu saja mudah bagi The Purge: Election Year untuk kembali mencetak keuntungan finansial yang besar, namun pertanyaannya adalah bagaimana kualitas yang film ini hasilkan, masih “sama” saja, lebih jelek, atau lebih segar dan menarik? Donald Trump will love this one.    

Lolos dari “perayaan” serupa dua tahun lalu Leo Barnes (Frank Grillo) kini bekerja sebagai kepala keamanan bagi senator Charlene Roan (Elizabeth Mitchell). Roan yang mencalonkan diri sebagai presiden tidak suka dan setuju dengan 'the Purge' yang ia anggap rasis dan berjanji untuk menghapus “ritual” rutin tersebut jika ia terpilih. Edwidge Owens (Kyle Secor), anggota the New Founding Fathers yang juga rival Roan dalam pemilihan Presiden bersedia untuk mempertahankan status quo. Dianggap sebagai ancaman Roan menjadi sasaran ketika the Purge berlangsung, dengan perlindungan dari Barnes mencoba melarikan diri dari tim yang ditugaskan untuk menangkap Roan.  



Hal terbaik dari ‘The Purge: Election Year’ adalah kemampuan sutradara dan screenwriter James DeMonaco dalam memperluas “dunia” yang telah ia ciptakan di dua film sebelumnya. Tidak buruk adalah kata paling tepat untuk menggambarkan bagian awal film ini, narasi terasa cukup lincah dan di sana kita bisa rasakan alur cerita yang berkembang dengan cukup baik dari The Purge: Anarchy. Di bagian awal ‘The Purge: Election Year’ juga berhasil menciptakan kesan bahwa ia punya materi gemuk yang tampak oke dan ingin ia eksplorasi dengan tetap mempertahankan rasa provokatif. Hal-hal tersebut semakin lengkap karena ia juga berhasil membuat penonton klik dengan setting baru yang kini tidak lagi sebatas invasi sederhana, pertumpahan darah dan aksi kekerasan kini ditemani dengan berbagai unsur politik. Celakanya grafik franchise The Purge ternyata masih sama saja, semakin rumit penerusnya maka semakin kecil tingkat kengerian yang dihasilkan.



Sinopsis oke, konsep cerita masuk akal, dan meskipun konflik terasa lemah bukan berarti mereka punya potensi di titik nol, yang jadi masalah adalah fokus The Purge: Election Year kini terpecah menjadi dua. Niat James DeMonaco memang baik ketika mencoba untuk menampilkan cerita yang lebih “berisi” dan mencoba berbicara tentang kondisi di dunia nyata tapi koneksi antara hal tersebut dengan “perayaan” yang jelas masih menjadi daya tarik utama bagi penonton di sini terasa kurang menarik. Cerita dan “pesta” menciptakan kombinasi yang kurang nendang, plot terasa seperti berongga dan kurang padat sementara “pesta” lebih terasa seperti sebuah kebisingan yang menyokong dari belakang. Hal tersebut tidak hanya membuat konteks awal franchise The Purge tentang “nastiness” simple namun menyenangkan dengan cara eksploitatif tidak mampu menghasilkan gema yang mengguncang seperti dua film pertama.



The Purge: Election Year terasa kurang asyik bukan karena ia tampil "bodoh," justru stupid menjadi bagian dari hal menarik di dua film sebelumnya, tapi karena James DeMonaco yang mencoba sedikit menggerus rasa stupid tapi celakanya juga ikut menggerus fun. Konflik ‘The Purge: Election Year’ sebenarnya bukan hanya menarik saja tapi cakupannya juga luas namun James DeMonaco kurang oke dalam mengolah elemen dramatis dengan elemen eksploitatif. Banyak isu dari politik hingga sosial yang bisa dibakar di sini namun ketika di awal mencoba bermain serius sayangnya setelah itu ia bermain dangkal dan terlalu “murah.” Kondisinya mungkin akan lebih baik jika aksi perlawanan kelas bawah dibentuk lebih menarik dan feel mengancam dari situasi politik dapat ditampilkan lebih kuat dan menarik, sayangnya itu tidak terjadi. Situasi catch and run di sini seperti tidak memiliki konsekuensi besar yang menakutkan, kesan mengerikan dan situasi yang menegangkan memang ada namun tidak konsisten menekan.



Mencoba membawa “perayaan” yang ia ciptakan tiga tahun lalu untuk naik satu tingkat sayangnya James DeMonaco justru membawa The Purge kehilangan pesona utamanya yang semakin memudar. Kali ini menggabungkan kekacauan eksplotatif dengan unsur politik, revolusi, hingga patriotisme, DeMonaco kurang oke dalam menciptakan kombinasi dramatis dan anarkis yang terasa klik dan konsisten menarik. Shaky cam bersama kinerja yang akting yang overacting, ‘The Purge: Election Year’ memang kembali berhasil menghadirkan sebuah kepanikan yang kali ini digabung bersama unsur satir terhadap politik dan sosial namun sayangnya tidak memiliki gema yang kuat dan tingkat kengerian yang sama menariknya seperti dua film pendahulunya. Segmented.













2 comments :

  1. nonton di mana min? kan di bioskop gak ada :( pengen nonton padahal :(

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete