08 June 2016

Review: Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows [2016]


"Keep the team unified and you shall always succeed."

Penggunaan CGI dalam film blockbuster perlahan mulai sama seperti basic melody dan tipikal builds up yang digunakan di Electonic Music Dance, all sounds the same, all feels the same. Pemain di industri harus semakin cermat dalam menggunakan CGI, mereka harus menciptakan sebuah gebrakan yang luar biasa dari segi kualitas jika murni ingin “menjual” CGI, atau melakukan cara sederhana dengan menciptakan kombinasi antara CGI dan cerita yang saling melengkapi satu sama lain. Dua hal tersebut kurang berhasil dilakukan dengan baik oleh film ini, Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, another forgettable boom-boom-bang-bang project from the producer of Transformers.

Satu tahun setelah pertempuran mereka melawan The Shredder (Brian Tee) dan Eric Sacks, Leonardo (Pete Ploszek), Raphael (Alan Ritchson), Michelangelo (Noel Fisher), dan Donatello (Jeremy Howard) masih menyembunyikan identitas asli mereka dan mempersilahkan Vern Fenwick (Will Arnett) untuk mengambil kredit atas kesuksesan yang mereka raih. The Shredder ternyata sedang menyusun rencana untuk lepas dari tahanan pemerintah, dibantu ilmuwan Dr. Baxter Stockman (Tyler Perry) proses transfer antar penjara yang dikomandoi prison officer Casey Jones (Stephen Amell) ia gunakan untuk mewujudkan rencananya tersebut. Celakanya ketika TMNT mencoba menghalangi rencana tersebut proses teleportasi yang dilakukan oleh Stockman membawa Shredder bertemu dengan panglima perang alien, Krang (Brad Garrett).



First of all, review ini akan dinilai dari sudut pandang penonton dewasa. Mengapa? Karena dua tahun lalu ketika selesai menyaksikan Teenage Mutant Ninja Turtles ada seorang rekan yang berujar bahwa film tersebut dibuat untuk anak-anak bahkan untuk penonton usia dini. No, itu gila, meskipun PG-rated film tersebut tidak memenuhi standar film keluarga yang ramah. Hal tersebut kembali terjadi di Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, ketika di bagian awal kita sudah dibawa untuk menyaksikan sex appeal Megan Fox lengkap dengan pakaian sekolah ala Jepang, dari sana penonton paham di mana target utama yang diincar oleh film ini. Sayangnya meskipun menetapkan target dengan begitu meyakinkan sayangnya film ini tidak tampil sama meyakinkannya ketika membawa penontonnya bergembira bersama, memanfaatkan karakter untuk menyajikan berbagai aksi gila tanpa diiringi konsistensi daya tarik yang mumpuni.



Itu alasan mengapa di awal saya menyebut ini sebagai kemasan terbaru yang akan begitu mudah terlupakan, karena seperti film pertama di mana TMNT di bawa berseluncur di gunung bersalju jika seminggu lagi mencoba mengingat kembali tentang TMNT 2 maka saya hanya akan bisa menjawab adegan berseluncur di udara. Selebihnya? Sebuah paket action-adventure yang miskin pesona dan jiwa meskipun memiliki ide yang menarik. Isu tentang proses menerima dan upaya meruntuhkan perbedaan antara TMNT dan manusia itu sebenarnya punya potensi besar, tapi sayangnya ketimbang dimanfaatkan itu hanya jadi pemanis yang terlupakan karena sutradara Dave Green (Earth to Echo) serta writer Josh Appelbaum dan André Nemec lebih fokus pada bagaimana membentuk berbagai set di mana akan digunakan untuk membuat penonton terpukau lewat tampilan visual.



Saya bukan kelas hardcore ketika berbicara sumber utama materi film ini, comic book Teenage Mutant Ninja Turtles, namun sepertinya akan lebih menarik jika busur cerita dikembangkan sedikit lebih jauh saja sehingga TMNT: Out of the Shadows punya kepentingan yang menarik yang eksis di pusat cerita. Secara kualitas sinopsis standar tapi cerita terasa sedikit lebih menarik dari film pertama, karakter juga masing-masing punya momen yang menarik, tapi TMNT: Out of the Shadows tidak berhasil membentuk setup yang kuat untuk menopang berbagai ide yang ia punya, proses penerimaan, dendam pribadi, adegan kejar-kejaran, mondar - mandir bersama Krang, hingga hal sepele semakin teamwork, mereka perlahan semakin terasa kurang menarik akibat tidak dirakit dengan irama yang pas. Di jaman ketika CGI perlahan menjadi sesuatu yang normal diterapkan dalam hiburan visual sepenuhnya mengandalkan CGI yang hadir tanpa gebrakan luar biasa untuk terus hidup bukan sebuah kebijakan yang sehat, hal yang dilakukan oleh film ini.



Lantas apakah TMNT: Out of the Shadows adalah sebuah hiburan yang buruk? Tidak, tapi jika dibandingkan dengan ini tidak memberikan sebuah lompatan besar dari kualitas film pertamanya. Jika kamu penonton yang mudah dipuaskan oleh CGI maka film ini akan menjadi kue yang sangat nikmat, TMNT: Out of the Shadows tidak pernah terasa “mati” hingga akhir berkat kualitas motion capture serta CGI yang mengesankan, interaksi antara karakter animasi kura-kura (mereka bukan penyu?) dengan karakter  manusia dieksekusi dengan baik, meskipun sayangnya karakter manusia terasa datar, hanya Laura Linney dan Stephen Amell (Arrow) yang tampil mumpuni. Dialog juga punya peran mengapa pesona karakter tidak maksimal, mereka tumpul, bahkan sulit untuk merasakan sebuah ancaman serius dan berbahaya dari karakter antagonis, sebuah proses merakit yang dilakukan Krang tidak pernah mampu mengintimidasi.



Membawa berbagai topik yang menarik untuk menyokong tujuan utama mereka yang masih sama yaitu menyajikan pesta visual gerak cepat, Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows terasa terlalu biasa, kemasan boom-boom-bang-bang yang kurang mampu meninggalkan impresi yang kuat dan membekas, sama seperti film pertamanya. Ketika menyajikan momen lucu TMNT: Out of the Shadows tampil tidak terlalu buruk, namun ketika ia mencoba mendorong materi yang lebih serius sebagai penyeimbang kombinasi yang tercipta terasa kaku. Tidak segar, terlalu terburu-buru, kerap kali terasa canggung, Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows gagal memaksimalkan potensi yang ia miliki untuk membawa waralaba ini naik satu tingkat lebih tinggi. Segmented.

















Cowritten with rory pinem

0 komentar :

Post a Comment