29 June 2016

Review: The Neon Demon (2016)


"You’re a dangerous girl."

Setelah berhasil meraih atensi penonton luas lewat sebuah kemarahan yang dikemas ramping, Drive, lalu kemudian memperoleh track sedikit menurun lewat Only God Forgives, sutradara Nicolas Winding Refn kembali mencoba bermain nakal dengan sinematik ekstrim di fitur terbarunya ini, The Neon Demon. Ini seperti usaha yang "lebih gila" dan sedikit lebih besar, mencoba menampilkan berbagai ide lewat obsesi seksual dan dunia modelling dalam sebuah psychological horror yang abstrak. Apakah ini melanjutkan baton dari Drive, atau baton dari Only God Forgives? Sadistic "pleasure" under the guise of art, The Neon Demon is an underbaked, flimsy, but glossy nonsense. It's like "confused Malick" have fun at discotheque.

Jesse (Elle Fanning) adalah permata baru di dunia modelling, meskipun dikelilingi competitor yang mencoba memperbaiki diri mereka dengan operasi plastic Jesse tetap berhasil standout dan meraih perhatian fotografer serta desaigner. Menjadi pusat perhatian dan sosok favorit berkat kualitasnya yang alami perlahan tidak hanya memberikan Jesse popularitas namun juga bahaya, banyak pihak di dalam industri yang “dangkal” itu rela mencoba melakukan berbagai cara untuk memanfaatkan, mengambil keuntungan, dan merusak karir Jesse, termasuk dengan melakukan konspirasi hingga tindak kekerasan. 



Nicolas Winding Refn gemar membuat penonton bertanya-tanya dengan menghadirkan ambiguitas, dan di sini kembali ia tampilkan lewat karakter Jesse. Kita dibuat mempertanyakan seperti apa Jesse sebenarnya, apakah dia wanita polos atau justru serigala berbulu domba? Lebih sering tampil pasif dan seperti tidak memiliki motivasi kita juga tidak tahu latar belakang Jesse, sama seperti karakter Ryan Gosling di Drive di sini Jesse seperti tidak di set untuk diamati secara mendalam, dia datang, menjalankan tugas, dan pulang. Kondisi tersebut meninggalkan keraguan bagi penonton, apa yang coba The Neon Demon capai? Hal tersebut semakin kacau karena di balik “kesederhanaan” cerita yang tampil sejak sinopsis hingga akhir Nicolas Winding Refn menggoda kita dengan berbagai hal seperti misteri misalnya, ada pula sedikit rasa satir di dalam naskah, kemudian cara ia bermain tipis di antara horror dan thriller dengan menjual absurditas.



Ya, The Neon Demon adalah kemasan absurd yang bergerak condong kearah gila. Dengan mencampur rasa Antonioni, Stanley Kubrick, David Lynch serta David Cronenberg film ini membawa kita menatap karakter yang senang menatap sambil ditemani dengan ketegangan. Refn terus mencoba membuat agar The Neon Demon tidak pernah berhenti berdegup kencang, dari sesi foto berlumuran darah hingga memunculkan singa secara tiba-tiba, ini penuh dengan WTF moments. Anehnya itu tidak tampil buruk, tidak pula luarbiasa tapi The Neon Demon punya ketegangan sinematik yang terasa oke dan membantu kecemasan serta bahaya di dalam cerita tidak sepenuhnya mati. Saya suka cara Refn memanfaatkan elemen teknis, eksekusinya kuat, bukan hanya setting dengan pencahayaan mewah yang ia gunakan tapi sinematografi dan score dengan rasa electronic mampu mempertahankan kesan menggoda dan kegelisahan dari cerita yang dangkal dan "menjengkelkan" itu.



Di balik eksekusi dengan estetika yang mengkilap dipenuhi gambar indah The Neon Demon pada dasarnya merupakan film yang cukup rapuh di bagian awal dan perlahan runtuh. Niat yang ingin Refn lakukan jelas, unsur satir di script sudah lebih dari cukup untuk membantu, tapi di sini Refn tenggelam terlalu jauh di dalam fantasinya. Di Bronson, Drive, hingga Only God Forgive ia masih mampu menyeimbangkan plot bersama usaha artsy dengan baik, tapi di sini terlalu eksploitatif sehingga terasa manipulatif. Tidak heran ini terasa gila, mencoba untuk memberikan pengalaman yang mendebarkan tapi ia tidak mencoba membuat agar penonton terikat dan berinvestasi pada karakter serta cerita. Di sini Refn seperti ingin agar kamu membayangkan bagaimana jika karakter merupakan kamu di kehidupan nyata, tapi dengan pengembangan karakter yang sangat kecil upaya mengeksplorasi sisi buruk dan indah dari kehidupan itu hanya selalu bermain di batas antara zona aman dan bahaya. 



The Neon Demon memang merupakan karya yang indah secara visual tapi ia lebih sering tampak kosong akibat perlahan mulai tampak dirancang secara sengaja sejak awal. Berbagai gimmicks sesekali mampu memunculkan ketegangan tapi mereka tidak berlangsung lama karena rasa peduli pada Jesse sejak awal tidak pernah tumbuh besar. Seandainya Jesse yang merupakan target dari rasa iri dan nafsu itu dapat dibekali materi yang lebih “masak” mungkin hasil akhir akan sedikit lebih baik, bukannya justru sepanjang film tampak seperti boneka bernyawa untuk menampilkan berbagai materi ofensif dan taboo terhadap wanita tanpa pesona yang menarik. Refn ingin mengeksplorasi keindahan wanita namun berakhir menjadi wujud kebencian terhadap wanita. Ya, The Neon Demon punya alur cerita tapi yang Refn lakukan di sini adalah mengeksploitasi wanita dalam bentuk kesenangan visual ketimbang membawa cerita dan karakter bergerak maju untuk menampilkan keindahan dari wanita. 



Meskipun punya kinerja cast yang mumpuni terutama dari Elle Fanning, Bella Heathcote, dan Abbey Lee, The Neon Demon tidak pernah mampu mencapai level enganging di elemen cerita, hanya di elemen visual. The Neon Demon menjadi contoh bahwa tetap harus ada substance yang menarik untuk dapat menciptakan sebuah kemasan yang stylish dan artsy. Seandainya Refn memberikan cerita dan karakter busur yang lebih kuat The Neon Demon dapat menjadi petualangan menegangkan yang mengeksplorasi "keindahan" dengan visual yang menawan, namun dengan informasi terbatas dan menggoda menggunakan ambiguitas yang kemudian dihidangkan setengah masak The Neon Demon berakhir sebagai omong kosong yang indah di mata namun terasa hampa. Segmented.














Thanks to rory pinem

3 comments :

  1. Mungkin sutradaranya lebih milih visual storytelling sama banyak adegan yang mengandung metafora yang bikin penonton gak ngerti dan gak fokus ke ceritanya apalagi bagian ending nya yang bikin bingung lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Btw nontonnya dimana?emang di Indonesia tayang?

      Delete
    2. Penulis review (riringina) tidak berdomisili di Indonesia. :)

      Delete